[caption id="attachment_6357" align="aligncenter" width="809"] Singa afrika yang diselundupkan. Foto: Liputan6.com/M Syukur[/caption]
Gardaanimalia.com - Pada 1992, Indonesia sudah memiliki UU No. 16/1992 tentang Karantina Hewan, Ikan, dan Tumbuhan. Namun UU ini di dalam kontennya masih memiliki banyak kekurangan dan dirasa tidak lagi sesuai dengan tantangan globalisasi. Pada 18 Oktober 2019 DPR RI akhirnya mengesahkan UU Karantina Hewan yang baru melalui UU No. 21 /2019.
Undang-undang ini menggantikan UU No. 16 /1992 tentang Karantina Hewan, Ikan, dan Tumbuhan yang sudah hidup lebih dari seperempat abad lamanya. Revisi UU Karantina Karantina Hewan, Ikan, dan Tumbuhan dilakukan karena UU No. 16/1992 belum mengatur secara komprehensif, sistematik, dan holistik mengenai pengawasan dan/atau pengendalian keamanan pangan dan mutu pangan.
Terbitnya UU No. 21/2019 tidak hanya sebagai upaya pencegahan masuknya hama dan penyakit hewan, ikan, dan organisme pengganggu tumbuhan baru ke wilayah Indonesia tetapi juga untuk mencegah penyebarannya dari satu area ke area lain. Ini juga menjadi langkah untuk mencegah keluarnya hama dan penyakit hewan tertentu dari wilayah Indonesia. Lebih dari itu, ini merupakan upaya menjaga keamanan pakan dan mutu pakan, produk rekayasa genetik sumber daya genetik, agensia hayati, yang sebelumnya tidak diatur di dalam UU No. 16/1992.
[caption id="attachment_6356" align="aligncenter" width="700"]
Singa yang diselendupkan. Foto: Detik.com[/caption]
Garda Animalia mencoba untuk memperbandingkan beberapa hal yang dinilai cukup substansial dalam perubahan di dalam UU No. 21 /2019 tentang Karantina Hewan, Ikan, dan Tumbuhan yang baru.
Pertama, subjek hukum disebutkan secara tegas di dalam UU No. 21/2019. Pasal 1 angka 33 UU No. 21/2009 menyebutkan “Setiap orang adalah orang perseorangan atau korporasi, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum.”
UU No. 21/2009 memperluas subjek hukum yang sebelumnya. Jika di dalam UU No. 16/1992, subjek hukum yang ditetapkan hanya orang dan badan hukum sedangkan korporasi yang tidak berbadan hukum tidak secara eksplisit diatur. Selain itu, UU No. 21/2019 juga memperluas siapa saja yang dapat dikenai pertanggungjawaban pidana yang tidak hanya terbatas pada pelaku yang membawa media pembawa saja tetapi juga pemilik media pembawa. Hal ini diatur di dalam Pasal 1 angka 34 UU No. 21/2019 “Pemilik Media Pembawa yang selanjutnya disebut Pemilik adalah Setiap Orang yang memiliki Media Pembawa dan/atau yang bertanggung jawab atas pemasukan, pengeluaran, atau transit Media Pembawa.” Perluasan subjek hukum memberikan peluang baik dalam penegakkan hukum.
Baca juga: Fakta Tragis di Balik Tren Pelepasan Burung untuk Acara Peresmian
Kedua, ruang lingkup penyelenggaraan karantina juga diperluas. Jika di dalam UU No. 16/1992 ruang lingkup penyelenggaraan karantina meliputi persyaratan karantina; tindakan karantina; kawasan karantina; jenis hama dan penyakit, organisme pengganggu, dan media pembawa; serta tempat pemasukan dan pengeluaran.
Dalam UU No. 21/2019 ruang lingkup penyelenggaraan karantina menjadi lebih luas meliputi penyelenggaraan Karantina; tingkat pelindungan negara berdasarkan analisis risiko; jenis HPHK, HPIK, OPTK, dan Media Pembawa; persyaratan Karantina; tindakan Karantina; dokumen Karantina; pengawasan dan/atau pengendalian Keamanan Pangan dan Mutu Pangan, Keamanan Pakan dan Mutu Pakan, PRG, SDG, Agensia Hayati, Jenis Asing Invasif, Tumbuhan dan Satwa Liar, serta Tumbuhan dan Satwa Langka; Kawasan Karantina; ketertelusuran; sistem informasi Karantina; jasa Karantina; fungsi intelijen, kepolisian khusus, dan penyidikan; kerja sama perkarantinaan; dan pendanaan.
Salah satu ruang lingkup penyelenggaran karantina yang diatur di dalam UU No. 21/2019 adalah ketertelusuran praktik karantina. Saat ini, khususnya di sektor perikanan, mayoritas negara pengimpor produk perikanan meminta ketertelusuran asal ikan dari pra produksi, pengolahan, distribusi hingga diterima oleh konsumen (traceability).
Perubahan paradigma pengelolaan karantina dari karantina sebagai agen yang pasif menjadi agen yang aktif seiring dengan perubahan paradigma kebijakan perdagangan ke arah penghapusan hambatan perdagangan yang tidak ada kaitannya dengan sistem tarif atau bea masuk (non tariff barrier).
Penghapusan hambatan non-tarif ini akan sangat membuka peluang bagi Indonesia untuk menjadi pasar berbagai macam produk luar negeri. Ketertelusuran praktik karantina menjadi tindakan preventif dan kuratif dalam mengontrol lalu lintas perdagangan.
Ketiga, perubahan dalam ketentuan pidana, untuk lebih jelasnya, perbandingan ketentuan pidana bisa dilihat di dalam tabel di bawah ini:
UU No. 16/1992 | UU No. 21/2019 |
Ketentuan pidana diatur di dalam Pasal 31 Pasal 31 (1) Barangsiapa dengan sengaja melakukan pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 9, Pasal 21, dan Pasal 25, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 150.000.000.- (seratus lima puluh juta rupiah). (2) Barangsiapa karena kelalaiannya melakukan pelanggaran terhadap ketentuanketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 9, Pasal 21, dan Pasal 25, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah). Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), adalah kejahatan dan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), adalah pelanggaran. | Ketentuan pidana diatur di dalam Pasal 86-91 Setiap Orang yang: a. memasukkan Media Pembawa dengan tidak melengkapi sertifikat kesehatan dari negara asal bagi Hewan, Produk Hewan, Ikan, Produk lkan, Tumbuhan, dan/atau Produk Tumbuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) huruf a; b. memasukkan Media Pembawa tidak melalui Tempat Pemasukan yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) huruf b; c. tidak melaporkan atau tidak menyerahkan Media Pembawa kepada Pejabat Karantina di Tempat Pemasukan yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat untuk keperluan tindakan Karantina dan pengawasan dan/atau pengendalian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) huruf c; dan/atau d. mentransitkan Media Pembawa tidak menyertakan sertifikat kesehatan dari negara transit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling banyak Rp10.000.000.00,00 (sepuluh miliar rupiah). Pasal 87 Setiap Orang yang: a. mengeluarkan Media Pembawa dengan tidak melengkapi sertifikat kesehatan bagi Hewan, Produk Hewan, Ikan, Produk Ikan, Tumbuhan, dan/atau Produk Tumbuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) huruf a; b. mengeluarkan Media Pembawa tidak melalui Tempat Pengeluaran yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) huruf b; dan/atau c. tidak melaporkan atau tidak menyerahkan Media Pembawa kepada Pejabat Karantina di Tempat Pengeluaran yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat untuk keperluan tindakan Karantina dan pengawasan dan/atau pengendalian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) huruf c dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). Pasal 88 Setiap Orang yang: a. memasukkan atau mengeluarkan Media Pembawa dari suatu Area ke Area lain di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang tidak melengkapi sertifikat kesehatan dari Tempat Pengeluaran yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat bagi Hewan, Produk Hewan, Ikan, Produk Ikan, Tumbuhan, danf atau Produk Tumbuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1) huruf a; b. memasukkan dan/atau mengeluarkan tidak melalui Tempat Pemasukan dan Tempat Pengeluaran yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1) huruf b; c. tidak melaporkan atau tidak menyerahkan Media Pembawa kepada Pejabat Karantina di Tempat Pemasukan dan Tempat Pengeluaran yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat untuk keperluan tindakan Karantina dan pengawasan dan/atau pengendalian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1) huruf c; dan/atau d. mentransitkan Media Pembawa tidak menyertakan surat keterangan Transit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan pidana denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah). Pasal 89 Pemilik yang tidak menanggung segala biaya yang timbul dalam pelaksanaan pemusnahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan pidana denda paling banyak Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah). Pasal 90 Setiap penanggungjawab alat angkut yang tidak melaksanakan pemusnahan Media Pembawa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan pidana denda paling banyak Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah). Pasal 91 Setiap orang yang tanpa izin membuka, melepas, memutuskan, membuang, atau merusak segel Karantina sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). |
Kasus Serupa Namun Putusan Berbeda
[caption id="attachment_6355" align="aligncenter" width="747"]