Gardaanimalia.com – Meski kuliner satwa liar sudah banyak mendapat kecaman, nyatanya hingga saat ini masih banyak masyarakat yang tetap mengonsumsi satwa liar. Dengan alasan tradisi, ingin mendapatkan khasiat yang sebenarnya belum teruji secara ilmiah, atau ada pula yang hanya untuk coba-coba, praktik konsumsi satwa liar termasuk satwa dilindungi belum dapat dihentikan sepenuhnya hingga saat ini. Bahkan, di Indonesia, ada Pasar Tomohon yang dikenal sebagai tempat kuliner ekstrem.
Garda Animalia telah merangkum beberapa jenis satwa dilindungi yang hingga kini masih dikonsumsi.
1. Penyu
Indonesia merupakan rumah bagi enam dari tujuh spesies penyu yang hampir punah di dunia. Keenam spesies tersebut dalam status terancam punah menurut IUCN. Pemerintah sudah melarang penangkapan, pembunuhan, maupun perdagangan penyu. Namun pada praktiknya, masih ada saja masyarakat yang menangkap atau bahkan mengonsumsi penyu. Mengutip dari laman Liputan 6, di Kendari, masyarakat di pinggir pantai masih ada yang mengolah dan memakan daging penyu hijau. Di Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, Ambon, dan Irian Jaya, masakan khas dari bahan daging penyu dikenal dengan nama Tuturuga.
Bahkan, kuliner berbahan daging penyu menjadi bagian dari makanan khas. Menu tersebut biasa disebut sebagai dangkot. Selain dijadikan dangkot, daging penyu juga biasa dimasak menjadi sate. Yang membuat lebih bergidik adalah proses pemisahan daging penyu dari cangkangnya.
Tak hanya di Sulawesi, penyu juga menjadi santapan di berbagai daerah lain di Indonesia. Pada awal tahun 2020 silam, restoran di daerah Jimbaran, Bali, digerebek polisi karena menjual dan menyajikan daging penyu hijau yang sudah jelas dilindungi. Pada waktu penggeledahan, petugas menemukan 12 ekor penyu hijau dalam keadaan hidup yang siap untuk dipotong dan dimasak.
2. Rusa
Mungkin hingga saat ini masih ada masyarakat yang belum mengetahui bahwa ada empat jenis rusa yang dilindungi di Indonesia. Rusa tersebut antara lai kijang, rusa sambar, rusa timor, dan rusa bawean. Populasi keempat jenis rusa tersebut terus menurun di alam karena adanya perburuan yang berlebihan. Nasib satwa yang satu ini juga tidak lebih baik dari penyu. Meski statusnya dilindungi, masih ada saja masyarakat yang memburu, membunuh, memperdagangkan, hingga mengonsumsi daging rusa.
Mengutip dari laman Mongabay, daging segar rusa sambar masih bisa dijumpai di pasar. Ada pula warung-warung yang menjual daging rusa yang sudah diolah dalam bentuk dendeng. Masyarakat biasa memasang jerat untuk menangkap rusa tersebut.
Baca juga: Melihat Parahnya Kerusakan Lautan Lewat Seaspiracy
Pada akhir tahun 2020 silam, anggota Polres Manggarai Barat, Flores, Nusa Tenggara Timur, menggagalkan penyelundupan daging rusa dilindungi. Dalam operasi ini, 300 kilogram daging rusa ditemukan. Sebagaimana diberitakan oleh iNews, ratusan kilogram daging rusa tersebut diduga didapatkan dari hasil perburuan ilegal di Taman Nasional Komodo. Menurut pengakuan pelaku, daging tersebut rencananya akan dijual ke pelanggannya yang ada di Bima dengan harga Rp 120 ribu per kilogramnya.
3. Anoa
Sulawesi Tenggara memiliki julukan sebagai Bumi Anoa karena dulu di daerah tersebut ada banyak sekali anoa. Mirisnya, saat ini kondisi sudah berbanding terbalik. Sangat sulit menemui anoa meski di Bumi Anoa sekalipun.
Satwa endemik Pulau Sulawesi ini mengalami penurunan populasi akibat konservasi hutan menjadi perkebunan atau pertambangan. Jumlah masyarakat yang terus bertambah dan membuka hutan untuk pemukiman telah merusak habitat Anoa sehingga menyebabkan Anoa menjadi semakin langka. Ditambah lagi dengan perburuan ilegal dalam jumlah yang besar untuk keperluan kuliner satwa liar.
Benny E Purnama, Kepala Seksi Pengelolaan Taman Nasional (SPTN) Wilayah II Balai TNRAW, mengatakan bahwa pada tahun 2019 silam hanya ada 19 anoa yang tersisa di Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai. Balai Besar Taman Nasional Lore Lindu (TNLL) di Sulawesi Tengah juga memiliki catatan yang senada di mana populasi anoa saat ini semakin langka.
Menurut Jusman, Kepala Balai Besar TNLL, populasi anoa semakin berkurang karena masih ada banyak masyarakat yang memburu satwa tersebut untuk kebutuhan sehari-hari dan ada juga yang menjual dagingnya. Masyarakat tetap mengonsumsi satwa dilindungi ini karena dianggap dagingnya dianggap mirip dan sejenis dengan sapi.
4. Ikan Belida
Karena penangkapan yang berlebihan serta kerusakan habitan, populasi ikan belida mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Tahun ini akhirnya, ikan yang sering dikonsumsi masyarakat ini masuk dalam jenis ikan yang dilindungi menurut oleh Keputusan Menteri Kelautan Dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2021 tentang Jenis Ikan yang Dilindungi.
Ikan belida ini sebenarnya juga masuk dalam jenis ikan yang sangat banyak ditangkap untuk dikonsumsi. Di Sumatera Selatan misalnya, ikan ini sering digunakan sebagai bahan dasar pembuatan pempek. Sedangkan di Kalimantan, khususnya di Kalimantan Barat, ikan belida sering ditangkap untuk diolah menjadi kerupuk basah.
Kuliner satwa liar dan satwa dilindungi ini sebenarnya tidak hanya membahayakan bagi ekosistem tetapi juga masyarakat. Daging satwa mengandung berbagai bakteri dan parasit yang dapat membahayakan kesehatan. Daging hewan liar tersebut tidak diawasi oleh UU Peternakan RI sehingga tidak terjamin apakah layak dimakan atau tidak. Terdapat sejumlah penyakit zoonosis yang dapat ditularkan pada manusia.
Keseimbangan ekosistem juga menjadi terganggu apabila praktik ini terus dilanjutkan. Karena setiap  jenis satwa memiliki fungsi masing-masing dalam menjaga keseimbangan dan kelestarian alam.