Gardaanimalia.com – Di Desa Cipaganti, Kabupaten Garut, Jawa Barat, masyarakat belajar untuk hidup berdampingan dengan satwa liar.
Desa Cipaganti terletak di bawah kaki Gunung Papandayan, di ketinggian kurang lebih 1.300 meter di atas permukaan laut (mdpl).
Dengan suhu rata-rata 18 derajat celsius, mayoritas warga Desa Cipaganti hidup dari budi daya tanaman sayur-mayur dan juga kopi. Kontur wilayah yang cenderung tidak rata juga menciptakan topografi perkebunan yang unik.
Hal unik lainnya dari desa ini adalah keberadaan satwa liar, yakni kukang jawa (Nycticebus javanicus). Mamalia ini tinggal di area talun–sebutan untuk kebun sayuran dan pepohonan kayu berbagai jenis–di sekitar desa.
Berkat dampingan lembaga konservasi kukang Little Fireface Project (LFP) yang ada sejak 2011, terciptalah beragam solusi untuk mendukung masyarakat dan kukang berbagi ruang hidup.
Lembaga amal non-profit berbasis penelitian ini pun hadir guna menginisiasi studi jangka panjang terhadap primata kukang jawa yang berstatus sangat terancam punah (critically endangered).
Loris Bridge: Jembatan Karet untuk Kukang
Selain kegiatan utama pengamatan individu kukang jawa, LFP juga menginisiasi pembuatan jembatan satwa liar atau artificial wildlife bridge.[1]Nekaris, K.A.I.; Handby, V.; Campera, M.; Birot, H.; Hedger, K.; Eaton, J.; Imron, M.A. Implementing and Monitoring the Use of Artificial Canopy Bridges by Mammals and Birds in an Indonesian … Continue reading
Jembatan ini dibuat guna meningkatkan interkoneksi habitat untuk hewan arboreal, seperti kukang, di dalam lanskap yang terfragmentasi.
Hewan arboreal adalah hewan yang menjadikan pohon sebagai habitat utama mereka. Tak hanya itu, mereka juga memanfaatkan pohon untuk mencari makan dan melindungi diri di antara ranting-rantingnya.
Selain hewan arboreal, kukang merupakan hewan teritorial dengan wilayah jelajah yang cukup besar, yaitu seluas 9 hektare untuk kukang jantan dan 4,5 hektare untuk kukang betina.[2]The Evolution of Social Organisation in Lorisiformes March 2020. DOI:10.1017/9781108676526.012. In book: Evolution, Ecology and Conservation of Lorises and Pottos (pp.129-137 Kukang juga menandai wilayah jelajahnya dengan cara scent marking dari genitalnya.
Akan tetapi, pengamatan tim LFP menunjukkan beberapa individu kukang turun ke tanah guna berpindah tempat di wilayah jelajahnya, terutama di area perkebunan warga.
Sebagai hewan arboreal, hal ini menjadi pertanda bahwa habitat mereka sudah terfragmentasi, yang kemudian memaksa mereka untuk turun ke tanah. Kondisi ini lantas membuat kukang menjadi rentan diserang oleh satwa lain atau bahkan manusia.
Untuk mengatasi masalah ini, LFP kemudian berinisiatif membuat artificial wildlife bridge, yaitu loris bridge dan waterline.
Loris bridge atau jembatan kukang dibuat menggantung setinggi 2-6 meter dari atas tanah,[3]Nekaris, K.A.I.; Handby, V.; Campera, M.; Birot, H.; Hedger, K.; Eaton, J.; Imron, M.A. Implementing and Monitoring the Use of Artificial Canopy Bridges by Mammals and Birds in an Indonesian … Continue reading tetapi ada juga yang dipasang setinggi 8 meter.
Loris bridge akan diikat pada pohon yang dinilai cukup kuat untuk menahan jembatan yang terbuat dari karet tersebut.
Jembatan ini dibuat di beberapa titik di habitat kukang yang terfragmentasi oleh perkebunan warga. Kamera jebak (camera trap) juga diletakkan di kedua ujung jembatan agar dapat memantau pergerakan kukang yang melintasinya.
Waterline: Win-Win Solution untuk Satwa dan Warga
Selain loris bridge, jembatan kukang yang dibangun LFP juga tersedia dalam bentuk waterline.
Seperti namanya, waterline merupakan pipa karet yang tidak hanya berfungsi sebagai jembatan kukang, tetapi juga untuk mengalirkan air ke kebun-kebun warga.
Karena fungsinya untuk mengalirkan air, waterline cenderung lebih kokoh dan stabil dibandingkan loris bridge. Sifat inilah yang kemudian membuat waterline “populer” tidak hanya di kalangan kukang, tetapi juga banyak satwa lain.
Berdasarkan hasil pemantauan kamera jebak (camera trap) dari Juli 2017 hingga Desember 2019, waterline tercatat digunakan sebanyak 1.097 kali oleh kukang jawa.
Tak hanya itu, musang palem jawa (Paradoxurus musangus javanicus) juga tercatat melewati waterline sebanyak 938 kali.
Selain sebagai jembatan satwa, waterline juga menjadi win-win solution untuk warga di Desa Cipaganti. Dengan memanfaatkan mata air yang berada di dataran yang lebih tinggi, waterline mengairi kebun-kebun warga secara bergantian.
Pembagian jadwal pengairan dan perawatan pun diserahkan langsung kepada warga dengan harapan menumbuhkan rasa kepemilikan dan tanggung jawab bersama.
Mengenal Fragmentasi Habitat
Kerusakan habitat dan fragmentasi habitat merupakan salah satu penyebab utama menurunnya keanekaragaman hayati di dunia. Meski begitu, perlu diketahui bahwa ada perbedaan mendasar antara kerusakan habitat dengan fragmentasi habitat.
Kerusakan habitat biasanya akan mengarah pada kerusakan yang terjadi di habitat terfragmentasi yang masih tersisa.
Adapun fragmentasi yang dimaksud mengacu pada terbaginya suatu habitat menjadi area-area lebih kecil dan terisolasi. Terbagi atau terpisahnya suatu habitat disebabkan alih fungsi lahan oleh manusia.
Sebuah sintesis dari eksperimen jangka panjang (35 tahun) mengenai fragmentasi habitat di lima benua mengungkapkan bahwa fragmentasi habitat mengurangi keanekaragaman hayati sebesar 13-75 persen dan mengganggu fungsi ekosistem utama.[4]Nick M. Haddad et al. Habitat fragmentation and its lasting impact on Earth’s ecosystems.Sci. Adv.1,e1500052(2015).DOI:10.1126/sciadv.1500052
Untuk memahami konsep fragmentasi habitat, kita bisa membayangkan habitat kukang jawa atau gajah sumatra yang ruang hidupnya terfragmentasi akibat perubahan tutupan lahan menjadi perkebunan atau jalan tol, misalnya.
Ancaman Fragmentasi Habitat bagi Keanekaragaman Hayati
Satwa yang habitatnya terfragmentasi menjadi area-area kecil yang terisolasi akan mengalami kesulitan bertahan hidup karena beberapa alasan.
Pertama, sumber makanan menjadi terbatas. Satwa juga akan “dipaksa” untuk berbagi sumber daya dengan satwa lain dalam wilayah yang terisolasi dan sempit.
Kedua, habitat yang terfragmentasi bisa membatasi ruang jelajah dan menghambat proses berkembang biak satwa tersebut. Mamalia besar seperti gajah dan harimau sumatera, misalnya, membutuhkan wilayah jelajah yang tidak kecil.
Gajah sumatra diperkirakan memiliki cakupan wilayah jelajah seluas 56 ribu hektare[5]Sabri, Erwanda T. B., et al. “Pola Pergerakan dan Wilayah Jelajah Gajah Sumatra (Elephas Maximus Sumatranus) Dengan Menggunakan GPS Radio Collar Di Sebelah Utara Taman Nasional Tesso Nilo, … Continue reading, sedangkan harimau sumatera seluas 11 ribu hektare.[6]Leuserconservation.org
Ketiga, habitat yang terisolasi satu sama lain juga bisa memicu hilangnya keragaman genetik dalam suatu spesies.[7]Nature.scot Dalam jangka panjang, hal ini akan menyebabkan suatu populasi menjadi lebih rentan punah apabila terjadi bencana alam atau wabah di area tersebut (suatu risiko yang juga dihadapi oleh badak sumatera di Ujung Kulon).
Terakhir, wilayah jelajah yang terfragmentasi akan mendorong satwa liar masuk ke wilayah manusia yang dulunya merupakan habitat mereka.
Beberapa satwa seperti gajah memiliki ingatan yang kuat terhadap rute jelajah mereka. Alhasil, mereka cenderung melewati rute yang sama sekalipun areanya sudah beralih fungsi menjadi perkebunan atau permukiman.
Akibatnya, bisa ditebak dan sudah sering terjadi: konflik antara manusia dan satwa.
Pentingnya Jembatan Satwa atau Animal Corridor sebagai Konektivitas Habitat
Di Desa Cipaganti, sebanyak 20 jembatan satwa sudah terpasang dengan spesifikasi 12 loris bridge dan 8 waterline.
Kedua jenis jembatan ini menghubungkan daerah jelajah (home range) kukang dari wilayah yang sudah ada kukang ke wilayah yang belum ada kukang.
Selain kukang jawa, jembatan satwa ini terbukti bermanfaat bagi satwa lain yang tinggal di area yang sama. Hasil monitor oleh LFP selama lebih dari 2 tahun mencatat bahwa setidaknya ada 19 spesies lain yang turut menggunakan jembatan satwa.
Konsep jembatan satwa ini bisa dibilang merupakan success story atau kisah sukses dalam menghubungkan habitat satwa arboreal yang bisa direplika di daerah-daerah lain dengan kondisi serupa.
Mengapa konektivitas habitat penting?
Karena satwa butuh berpindah guna bertahan hidup. Dalam kasus habitat yang terfragmentasi, kita harus bisa memastikan bahwa satwa dapat tetap berpindah dengan cara yang aman karena melindungi habitat yang terisolasi saja tidak cukup.[8]Wcanosara.org. Habitat Fragmentation 101.
Cara paling umum yang bisa ditempuh guna menciptakan konektivitas habitat, yaitu dengan membangun koridor satwa.
Koridor ini bisa dibuat dalam berbagai bentuk, mulai dari jalur khusus yang melintasi jalan tol, jembatan antarpohon untuk primata seperti kukang, atau pun bentuk lain menyesuaikan jenis satwa yang akan melintas.
Beragam Bentuk Koridor Satwa
Konsep koridor satwa sendiri bukan merupakan hal baru dan sudah diterapkan di banyak negara. Di Taman Nasional Banff Kanada, misalnya, ada perlintasan khusus satwa liar di atas dan di bawah jalan tol TransCanada yang membelah habitat hewan besar, seperti beruang grizzly dan rusa.
Koridor satwa penting bukan hanya bagi satwa besar, melainkan satwa kecil sekalipun. Di Taman Nasional Christmas Island Australia, tersedia jembatan penyeberangan yang dirancang untuk kepiting.
Jembatan ini menghubungkan jalur migrasi kepiting menuju laut dengan melintasi berbagai lanskap buatan manusia, mulai dari jalan, lapangan golf, sampai pantai.
Pembuatan dan implementasi jembatan satwa seperti yang ditemui di Desa Cipaganti dan banyak tempat lain sejatinya menjadi pengingat tentang masalah besar lainnya yang dihadapi dunia konservasi, yaitu fragmentasi habitat.
Maka dari itu, membangun koridor satwa hendaknya menjadi salah satu agenda wajib untuk pembangunan yang dalam pelaksanaannya membelah habitat kritis satwa dilindungi.
Referensi