Peristiwa kematian satwa kunci seperti gajah dan harimau di sejumlah area konsesi hingga saat ini masih banyak terjadi. Termasuk yang belum lama ini ditemukan di salah satu area konsesi PT Arara Abadi. Di area konsesi milik anak perusahaan Sinarmas Group itu, seekor Harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae) ditemukan mati akibat terjerat tali sling di hutan konsesi milik mereka, pada Senin (18/5/2020).
Peristiwa itu ternyata bukan kali pertama. Sejak 2019, setidaknya tercatat empat peristiwa satwa dilindungi ditemukan mati maupun terluka akibat terkena jerat di area konsesi yang sama. Pada November 2019 misalnya, seekor Gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus) ditemukan mati di Distrik Duri II konsesi PT Arara Abadi, Desa Tasik Serai, Talang Muandau, Kabupaten Bengkalis, Riau. Kematian satwa dilindungi itu memunculkan reaksi Kepala Bidang Konservasi Sumber Daya Alam (KSDA) Wilayah II Balai Besar KSDA Riau. Kepala BBKSDA Riau kala itu menyebut, PT Arara Abadi Sinarmas Group wajib bertanggung jawab atas kematian Gajah sumatera di area konsesinya.
Tidak berhenti di situ, kenyataan pahit pun terus menimpa dunia konservasi satwa liar. Pada awal 2020 atau tepatnya di penghujung Januari, kejadian serupa terulang kembali. Saat itu, seekor anak Gajah sumatera ditemukan terluka akibat terkena jerat atau perangkap di area konsesi Hutan Tanaman Industri (HTI) PT Arara Abadi.
Kepala BBKSDA Riau mengungkapkan, area konsesi milik PT Arara Abadi merupakan bagian dari wilayah jelajah bagi Gajah sumatera. Berdasarkan hasil survei dan monitoring, jumlah populasi gajah liar saat ini diperkirakan 40 ekor dan sebagian besar populasinya berada di wilayah konsesi PT Arara Abadi. Kendati sudah berulang kali temuan kasus serupa di area konsesi milik PT Arara Abadi, tak lantas membuat perusahaan itu bertanggung jawab dan berbenah agar kejadian serupa tidak terulang.
Peristiwa Tragis yang Berulang
Kematian satwa di area konsesi perusahaan tidak hanya satu atau dua kali, melainkan sudah puluhan peristiwa seperti itu terjadi. Pasalnya, pemicu utamanya adalah habitat satwa-satwa ini terus menyusut seiring dengan pembukaan kawasan hutan untuk perkebunan dan hutan tanaman industri oleh banyak perusahaan. Alhasil, seringkali kawanan satwa ini memasuki area konsesi perusahaan bahkan pemukiman. Akibat itu, konflik satwa dengan manusia juga meningkat dan tidak terelakkan. Di samping itu, lalainya perusahaan dalam melakukan pengawasan di wilayah konsesinya juga memudahkan para pemburu untuk memasang perangkap perburuan.
Kematian satwa-satwa ini terus menggerus populasi satwa-satwa yang terancam punah, khususnya gajah sumatera dan Harimau sumatera. Hal ini memunculkan reaksi dari sejumlah kalangan baik pemerintahan maupun pegiat konservasi satwa liar. Salah satunya Asri Auzar, Wakil Ketua DPRD Riau. Mengenai peristiwa kematian harimau sumatera di area konsesi PT RAPP pada April 2020 lalu, Asri dengan tegas mengatakan, seluruh pihak yang punya hak konsesi, baik HTI maupun Perkebunan, wajib menjaga fauna-fauna langka di dalamnya. Jika kejadian ditemukan pristiwa itu maka perusahaan harus menunjukkan tanggung jawabnya.
Di samping itu, Asri juga menambahkan, bagi perusahaan yang mempunyai hak konsesi agar memberikan lahannya bagi habitat satwa-satwa kunci dan tidak menghabiskan semua lahan untuk produksi tanpa memberikan ruang untuk menjaga keberlangsungan satwa-satwa liar.
Namun sayang, praktik di lapangan ditemukan banyak perusahaan tidak menyediakan lahan untuk habitat satwa-satwa liar, melainkan membabat habis hutan untuk dijadikan lahan perusahaan berproduksi. Akhirnya, habitat satwa menyusut sehingga menyebabkan satwa tersingkir keluar dari habitatnya untuk bertahan hidup.
Menjadi sebuah ironi, hingga saat ini banyak ditemukan perusahaan yang justru tidak mau bertanggung jawab atas kejadian kematian satwa liar di area lahan konsesinya. Mereka beranggapan bahwa matinya satwa-satwa ini bukanlah diakibatkan dari kegiatan perusahaan, melainkan akibat perangkap yang bukan dipasang oleh perusahaan. Sehingga perusahaan merasa tidak memiliki kewajiban untuk bertanggung jawab. Padahal kejadian semacam ini seharusnya juga menjadi tanggung jawab perusahaan, terlebih kematian satwa ini terjadi di area lahan konsesi yang menjadi tanggung jawab perusahaan sebagai pemegang izin konsesi.
Kematian satwa liar akan berdampak pada kepunahan satwa yang juga akan memicu kerusakan lingkungan dan ekosistem. Kerusakan lingkungan dan ekosistem tentu akan membawa kerugian besar bagi negara dan terutama bagi kelangsungan hidup manusia.
Tanggung Jawab Perusahaan atas Kematian Satwa di Area Konsesi
Kematian tragis satwa liar dilindungi menyisakan kenyataan pahit terkait keberadaannya. Terlebih jenis harimau dan gajah termasuk dalam daftar merah satwa yang terancam punah. Tentu, peristiwa seperti yang terjadi di area konsesi PT Arara Abadi menambah daftar hitam yang mempercepat kepunahan harimau sumatera dan gajah di Indonesia. Banyak pemberitaan menduga jerat yang ada di area sejumlah konsesi perusahaan sengaja dipasang para pemburu yang melakoni kegiatan perburuan dan perdagangan satwa liar.
Aparat penegak hukum sudah melakukan penyelidikan terkait kasus kejahatan seperti itu. Tetapi kebanyakan penyelidikan terbatas hanya untuk menemukan pelaku pemburu. Padahal secara normatif yuridis, perusahaan pemegang konsesi di kawasan hutan juga memiliki kewajiban untuk menjaga keberlangsungan lingkungan dan ekosistem, serta mencegah kerusakan lingkungan dan ekosistem. Sejauh ini, terkait kasus kematian satwa-satwa yang dilindungi di area konsesi perusahaan, tidak banyak upaya untuk “menggugat” pertanggungjawaban perusahaan pemegang izin konsesi.
Kaitan dengan perlindungan terhadap keberadaan satwa liar secara khusus, Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 telah mengatur kewajiban bagi setiap orang termasuk badan usaha untuk menjaga fungsi perlindungan wilayah termasuk keberlangsungan kehidupan satwa liar. Kewajiban itu tertuang dalam Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 “Setiap pemegang hak atas tanah dan hak pengusahaan di perairan dalam wilayah sistem penyangga kehidupan wajib menjaga kelangsungan fungsi perlindungan wilayah tersebut.”
Artinya, pemegang hak atas tanah dalam hal ini adalah perusahaan memiliki tanggung jawab untuk melindungi kawasan wilayah di dalam area konsesinya. Termasuk jika diketahui bahwa wilayah di dalam area konsesinya merupakan daerah jelajah bagi satwa-satwa liar seperti Gajah sumatera dan Harimau sumatera. Maka seharusnya, perusahaan perlu melakukan penjagaan dan pengawasan ketat sehingga tindak kejahatan terhadap satwa seperti perburuan dapat dicegah dan diminimalisir.
Selain Undang-Undang No. 5 Tahun 1990, perusahaan dalam penyelenggaraan kegiatan usaha juga terikat pada Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH). Terkait upaya perlindungan wilayah dan penanggulangan kerusakan lingkungan secara jelas diatur di dalam Pasal 68, bahwa setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan berkewajiban: a). memberikan informasi yang terkait dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup secara benar, akurat, terbuka, dan tepat waktu; b). menjaga keberlanjutan fungsi lingkungan hidup; dan c). menaati ketentuan tentang baku mutu lingkungan hidup dan/atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup. Sedangkan, terhadap orang atau badan usaha yang melakukan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan, sebagaimana Pasal 54 UUPPLH mewajibkan melakukan pemulihan fungsi lingkungan hidup.
Lebih lanjut di dalam Pasal 87 ayat (1) UUPPLH mengatur pertanggungjawaban bagi badan usaha yang melakukan perbuatan melanggar hukum berupa pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup, yang dinyatakan bahwa:
“Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang melakukan perbuatan melanggar hukum berupa pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup yang menimbulkan kerugian pada oranglain atau lingkungan hidup wajib membayar ganti rugi dan/atau melakukan tindakan tertentu.”
Merujuk pada aturan di dalam Pasal 87 ayat (1) UUPPLH ada syarat terkait perbuatan tersebut adalah perbuatan melanggar hukum berupa pencemaran atau perusakan lingkungan sehingga dari perbuatan itu menimbulkan kerugian pada orang lain atau lingkungan hidup.
Menurut Moegni Djojodirjo, unsur perbuatan melanggar hukum (PMH) yaitu perbuatan yang bertentangan dengan hak orang lain atau bertentangan dengan kewajiban hukumnya atau kesusilaan atau keharusan dalam pergaulan dalam masyarakat, perbuatan mengandung kesalahan (baik kesengajaan maupun kelalaian), menimbulkan kerugian, dan adanya hubungan kausalitas antara perbuatan yang dilakukan dengan kerugian yang ditimbulkan. Sedang menurut Galligan, kewajiban hukum dimaknai sebagai kewajiban untuk bertindak secara patut dan hati-hati.
Dalam konteks kematian gajah dan Harimau sumatera di lahan konsesi perusahaan, perusahaan dinilai telah melakukan perbuatan melanggar hukum. Pertama, sebagai pemegang hak atas tanah atau konsesi, perusahaan memiliki kewajiban salah satunya untuk tetap menjaga keberlanjutan fungsi lingkungan hidup (Pasal 68 UUPPLH). Sementara kelestarian satwa-satwa liar ini erat kaitannya dengan keseimbangan ekosistem yang tentu juga terkait dengan keberlanjutan fungsi lingkungan hidup. Jika satwa-satwa liar ini punah, sudah pasti berimbas pula pada keseimbangan ekosistem dan lingkungan. Karena itu, menjaga lingkungan hidup tidak bisa dilepaskan dengan menjaga kelestarian satwa-satwa liar. Seperti yang diketahui, jika mendasarkan pada hasil survei dan monitoring, sebagian besar populasi gajah berada di area konsesi wilayah konsesi PT Arara Abadi dan merupakan bagian dari wilayah jelajah bagi Gajah sumatera. Jika dikaitkan dengan prinsip kewajiban hukum untuk bertindak secara patut dan hati-hati, seharusnya perusahaan mengambil tindakan lebih intensif untuk melakukan penjagaan kawasan. Terlebih, kawasan konsesi perusahaan sering kali dibobol pemburu yang berakibat pada terlukanya atau matinya satwa-satwa liar terancam punah ini. Seharusnya peristiwa-peristiwa tersebut dijadikan bahan evaluasi bagi perusahaan untuk bertindak hati-hati dan melaksanakan kewajiban hukumnya dalam menjaga fungsi lingkungan hidup termasuk menjaga keberadaan satwa-satwa liar yang ada di wilayah konsesinya.
Kedua, perusahaan telah lalai dalam melakukan pengawasan sehingga pemburu mudah masuk menembus area konsesi dan memasang jerat. Akibatnya dalam kurun waktu yang singkat (kurang dari 1 tahun), terjadi empat kali peristiwa yang mengakibatkan gajah dan harimau sumatera terluka bahkan mati. Peristiwa kematian satwa-satwa liar dilindungi ini tak lepas dari kelalaian perusahaan untuk melakukan pengawasan dan penjagaan di area konsesinya dari tindak kejahatan terhadap satwa. Banyaknya jerat atau perangkap yang dipasang pemburu di area konsesi lahan perusahaan mengisyaratkan kelemahan perusahaan untuk memperketat penjagaan terhadap kawasannya sehingga perusahaan “kecolongan” dan pemburu dapat leluasa masuk di kawasan perusahaan untuk berburu. Jika perusahaan tidak lalai dalam memperketat penjagaan di kawasannya dari akses pemburu, perburuan terhadap satwa-satwa liar ini tentu dapat dicegah. Gajah sumatera dan Harimau sumatera tidak harus terluka bahkan meregang nyawa akibat terperangkap jerat pemburu.
Ketiga, perbuatan perusahaan dapat dikategorikan sebagai perbuatan perusakan lingkungan sebab perusahaan telah melakukan pembiaran atas kematian satwa-satwa liar di lahan konsesinya akibat perburuan dan perdagangan satwa ilegal. Hilangnya satwa liar dapat dikategorikan sebagai perbuatan perusakan lingkungan yang menimbulkan kerugian lingkungan hidup. Eksploitasi terhadap sumber daya satwa liar memiliki dampak kerugian yang berakibat pada menurunnya jumlah populasi, terlebih jika tingkat eksploitasi tidak berkelanjutan, di mana laju eksploitasi lebih tinggi dibandingkan dengan kemampuan sumber daya alam untuk meregenerasi dan/atau mereproduksi jenisnya sendiri.
Kasus kematian satwa-satwa liar dilindungi ini tak lepas dari kejahatan perburuan dan perdagangan satwa ilegal. Hal ini jika dikaitkan dengan kematian gajah dan harimau sumatera yang terjadi di area konsesi perusahaan, maka sudah seharusnya perusahaan turut bertangungjawab atas kejadian tersebut. Sebab perburuan ilegal mengakibatkan hilangnya satwa liar maupun rusaknya ekosistem yang menimbulkan kerugian lingkungan hidup.
Sebagaimana kewajiban setiap pemegang usaha untuk menjaga keberlangsungan lingkungan hidup di wilayah izin konsesinya, maka dalam kasus kematian gajah dan Harimau sumatera, perusahaan telah melakukan perbuatan melanggar hukum yang berakibat pada perusakan lingkungan sehingga menimbulkan kerugian pada lingkungan hidup. Oleh karenanya, perusahaan juga berkewajiban untuk bertanggung jawab membayar ganti kerugian dan melakukan tindakan pemulihan lingkungan hidup.