Liputan Khusus

Seri Macan Tutul Jawa: Riwayat para Kucing Besar Tanah Jawa

14 Mei 2025|By Irvan Sjafari
Featured image for Seri Macan Tutul Jawa: Riwayat para Kucing Besar Tanah Jawa

Gardaanimalia.com - Bagaimana ceritanya macan tutul sampai ada di Jawa?

Pada 2016, tim peneliti internasional dari Jerman dan Indonesia mengungkapkan bahwa macan tutul Jawa jelas berbeda dari macan tutul asia (Panthera pardus) dan mungkin menjejak di Jawa sekitar 600.000 tahun yang lalu melalui jembatan darat dari daratan Asia, seperti dilansir di Science Daily edisi 4 Mei 2016.

Penelitian yang dipublikasikan dalam jurnal ilmiah Journal of Zoology ini menyoroti kebutuhan mendesak akan upaya konservasi terpadu untuk melestarikan macan tutul jawa dari kepunahan.

Ilmuwan dari Institut Leibniz Jerman untuk Penelitian Kebun Binatang dan Satwa Liar (IZW), Tierpark Berlin (Jerman), Taman Safari Indonesia, Universitas Potsdam (Jerman) dan Conservation International Indonesia (Indonesia) bekerja sama dengan erat untuk menjawab pertanyaan, apakah macan tutul jawa merupakan subspesies terpisah dari macan tutul? Pertanyaan ini perlu dijawab agar dapat meningkatkan kebutuhan dari upaya meningkatkan kelangsungan hidup macan tutul  melalui tindakan konservasi aktif.

Hasilnya menunjukkan bahwa macan tutul jawa bercabang dari macan tutul asia daratan pada Pleistosen Tengah sekitar 600.000 tahun yang lalu dan telah mencapai tingkat kekhasan genetik yang jelas-jelas membenarkan klasifikasi macan tutul jawa sebagai subspesies (Panthera pardus melas) dari macan tutul (Panthera pardus).

Macan tutul kemungkinan bermigrasi dari Asia daratan ke Jawa selama periode panjang permukaan laut rendah melalui jembatan darat Malaya-Jawa yang melewati pulau Sumatra. Ini mungkin salah satu alasan mengapa macan tutul ada di Asia daratan dan di Jawa saat ini, tetapi tidak ada di Sumatra atau Kalimantan.

Namun, fosil menunjukkan bahwa macan tutul setidaknya hidup di beberapa bagian Sumatra selama Pleistosen.

"Kami berasumsi bahwa macan tutul punah di pulau ini (Sumatra) setelah letusan besar Gunung Berapi Toba sekitar 74.000 tahun yang lalu. Di Jawa, dampak letusan ini kecil, sehingga macan tutul dapat bertahan hidup di sana," jelas Andreas Wilting, ilmuwan di IZW dan penulis utama penelitian tersebut.

Para ilmuwan merekonstruksi sejarah evolusi macan tutul Jawa menggunakan DNA mitokondria yang diurutkan dari spesimen macan tutul museum dari Jawa dan membandingkan informasi genetik ini dengan urutan macan tutul dari daratan Asia dan Afrika.

Distribusi historis potensial direkonstruksi menggunakan model distribusi spesies dengan data lingkungan dari Glasial Maksimum Terakhir dan Holosen Tengah.

Macan tutul jawa adalah kucing besar terakhir yang masih berkeliaran di Jawa setelah macan dahan sunda (Neofelis diardi, saat ini di Indonesia hanya ada di Sumatra dan Kalimantan) yang punah pada kala Holosen, dan harimau jawa yang punah pada awal 1980-an. 

Karena mengalami tekanan antropogenik seperti penggundulan hutan, subspesies ini telah berkurang secara signifikan dan sekarang terdaftar sebagai terancam punah (endangered) dalam Daftar Merah Spesies Terancam IUCN.

Masa Lalu para Predator


Ritual Rampogan Macan di Kediri, Jawa Timur. Ritual ini dilakukan dengan memburu harimau jawa menggunakan tombak. | Foto: Java Private Tour

Pada masa lalu, terutama pada masa kerajaan hingga kolonial, membunuh harimau dan macan tutul menjadi ritual menguji kesaktian para prajurit Mataram untuk menunjukkan kehebatan mereka.  

Menurut Peter Boomgard dalam bukunya Frontiers of Fear: Tigers and People in Malay World (2001) ritual ini disebut ritual adu tusuk harimau. 

Ritual ini dikaitkan dengan upaya melindungi desa dari harimau yang ditengarai merampok dan memangsa manusia. 

Tradisi ini melibatkan pertarungan antara manusia dan harimau, dengan manusia hanya bersenjatakan tombak.

Diperkirakan, tradisi ini berasal dari abad ke-16, pada masa pemerintahan Kerajaan Singasari dan Majapahit.

Dalam The Java Private Tour disebut tradisi ini disebut Rampogan Sima atau Rampogan Macan. 

Rampogan Sima dilakukan oleh orang banyak yang berlomba-lomba membunuh harimau dengan tombak.

Kata “Sima” dalam tradisi ini berarti kucing besar, yang merujuk pada harimau jawa.

Orang yang melawan harimau akan mengenakan pakaian adat Jawa dan bersenjata tombak. 

Harimau akan dilepaskan dari kandang dan orang tersebut harus membunuhnya untuk memenangkan hadiah. Seekor harimau bisa dihargai 10 hingga 50 gulden.

Tradisi gladiator di tanah Jawa berakhir pada awal abad ke-20. Pemerintah kolonial Belanda melarang tradisi ini pada 1900, dengan alasan kekhawatiran tentang kekejaman terhadap hewan. 

Demi kepentingan perkebunan hortikultura, pemerintah Kolonial Belanda memberikan kontribusi besar untuk kepunahan harimau di Taman Nasional Meru Betiri, Besuki Jawa Timur. 

"Sampai akhir abad ke-18 sebagian besar Besuki ditutupi oleh hutan lebat. Namun, setelah ditemukannya tembakau Na Oogst pada tahun 1850-an, kondisinya berubah drastis,” ucap sejarawan lingkungan. Nawiyanto dari Universitas Jember seperti dikutip dari The Jakarta Post 16 November 2009.

Irvan Sjafari

Irvan Sjafari

Belum ada deskripsi

Related Articles