Menjarah
Menjarah
Menjarah
Opini

Dari Antroposentrisme Menuju Bio-Ekosentrisme

1771
×

Dari Antroposentrisme Menuju Bio-Ekosentrisme

Share this article
Burung, salah satu satwa liar. | Foto: Joestrakerphotography/Pixabay
Burung, salah satu satwa liar. | Foto: Joestrakerphotography/Pixabay

Gardaanimalia.com – Memilih menjaga kelestarian alam adalah pilihan yang bijak dan sesuai dengan kampanye pemikiran-pemikiran modern saat ini.

Kita sepakat bahwa bidang ilmu filsafat adalah ibu kandung dari seluruh ilmu pengetahuan, perkembangan filsafat modern saat ini salah satunya berfokus pada bidang ilmu lingkungan.

pariwara
usap untuk melanjutkan

Ilmu lingkungan bukan menjadi hal bias ketika menjadi topik bahasan diskusi seminar atau forum-forum non- dan ilmiah lainnya.

Meminjam istilah Rocki Gerung dalam banyak forum mengatakan bahwa “Zaman sekarang, orang tidak ngobrol tentang environmental ethics adalah sebuah kemunduran. Nggak keren”.

Perkataan ini tentunya bukan tanpa alasan, dalam perkembangan ilmu pengetahuan, etika lingkungan datang memberikan paradigma baru tentang alam dengan merujuk pada situasi alam dan mengkritisi pemikiran manusia itu sendiri.

Eksistensi paradigma hasil kritik yang radikal environmental ethics terhadap paradgima lama (antroposentrisme) adalah bahwa manusia sebagai bagian dari organisme yang sangat bergantung dengan lingkungan dan memiliki kepedulian terhadap ekologi (biosentrisme dan ekosentrisme).

Kritikan tersebut tentunya bukan hasil dari emosional belaka yang hanya bertujuan untuk melawan paradigma lama. Bio-ekosentrisme lahir untuk mensubtitusi paradigma lama yang terlalu egosentris terhadap keadaan lingkungan.

Etika lingkungan memiliki fokus perhatian pada bagaimana perilaku manusia seharusnya terhadap lingkungan. Dalam hal yang berkaitan dengan perilaku manusia terhadap lingkungan, etika lingkungan memiliki 5 teori salah satunya adalah antroposentrisme yang memposisikan lingkungan hidup sebagai pemenuh kebutuhan manusia (objek).

Cara pandang ini menyebabkan manusia menguras alam demi memenuhi kepentingan dan kehidupannya tanpa memberi perhatian kepada kelestarian alam.

Manifestasi dari paradigma ini adalah orientasi dari paham ekonomi kapitalis sehingga memengaruhi manusia terhadap sumber kekayaan alam dan menyebabkan kerusakan ekologi.

(Yaitu) dengan produk eksploitasi, deforestasi, desertifikasi, perburuan liar, dan mengubah sistem iklim.[1]Keraf, Sonny. Krisis Dan Bencana Bencana Lingkungan Hidup Global. Yogyakarta: Kanisius, 2010. Sehingga tidak berlebihan jika paradigma ini, merupakan biang keladi dari kerusakan alam dari dimensi ekologinya.

Sebagai terjemahan dari turunan kerusakan ekologi adalah terjadinya bencana alam dengan jenis hidrometerologi yaitu bencana alam yang terjadi akibat angin, curah hujan, temperatur dan kelembaban.

Selama periode 2020 dan 2021, total data yang dirangkum oleh BNPB bencana secara umum bencana alam terjadi sebanyak 2.925 dan 3.034 kejadian selama periode tersebut.[2]https://www.bnpb.go.id/berita/sebanyak-2-925-bencana-alam-terjadi-pada-2020-di-tanah-air-bencana-hidrometeorologi-mendominasi

Secara terperinci kejadian bencana di dominasi jenis hidrometerologi dengan penambahan 96% kejadian. Tentu, ini bukan angka yang kecil untuk di sepelekan, karena secara tidak langsung kita dihadapkan pada situasi cuaca yang ekstrim dan dampak bencana alamnya.

Baru-baru ini, menurut laporan BMKG terjadi kenaikan suhu optimum dari tahun 2020 sampai 2021 sebanyak 0,4 derajat celcius.[3]https://www.bmkg.go.id/iklim/?p=ekstrem-perubahan-iklim

Kenaikan suhu sebanyak 0,4 derajat sudah menambah hampir 100% kejadian bencana secara umum, bagaimana jadinya kalau penambahan suhu optimumnya sampai 1 derajat celcius?

Ilustrasi perbandingan egosentris dan ecosentris. | Foto: Darachcroft
Ilustrasi perbandingan egosentris dan ecosentris. | Foto: Darachcroft

Kerusakan Ekologi terhadap Habitat dan Evolusi Satwa Liar

Selain bencana alam, kerusakan ekologi juga berhubungan dengan kondisi habitat dan evolusi satwa liar. Beralih fungsinya hutan menjadi lahan pertanian dan perkebunan berkontribusi terhadap pengurangan luasan hutan sebagai habitat satwa liar.

Berkurangnya habitat satwa liar tersebut kemudian menjadi salah satu pemicu dan penyebab terjadinya konflik antara satwa liar dan manusia.

Data BBTNGL mencatat selama 2021 telah terjadi kasus konfilk antar satwa liar dengan manusia sebanyak 136 kali yang didominasi kasus konflik manusia dengan harimau.[4]https://gunungleuser.or.id/?s=Konflik+harimau

Menurut sebuah penelitian, perkembangan evolusi manusia terjadi bersamaan dengan perubahan iklim bumi jutaan tahun silam.

Seperti di kutip dari Phys pada 9 Juli 2021, peneliti mengungkapkan bahwa telah terjadi perubahan fisik pada manusia yang diakibatkan oleh iklim.

Hasil penelitian menemukan bahwa terdapat tubuh manusia yang lebih kecil di daerah yang panas dan sebaliknya ketika pada iklim yang lebih dingin. Hal ini membuktikan bahwa perubahan iklim memiliki pengaruh terhadap evolusi organisme.[5]https://phys.org/news/2021-07-climate-size-bodies-extent-brains.html

Secara alami organisme akan melakukan evolusi baik secara lengkap maupun tidak untuk menyesuaikan diri dengan keadaan lingkungannya.

Hal ini lazim terjadi dari sudut pandang evolusi organik yaitu sebuah kajian evolusi tumbuhan dan hewan yang beradaptasi dengan lingkungan yang melibatkan spesialisasi dan kompleksitas morfologinya.

Mengutip dari Vice Indonesia, para peneliti telah lama mengamati dampak perubahan iklim pada satwa liar. Hasil temuannya mengungkap bahwa suhu yang lebih panas dapat menyusutkan ukuran spesies tertentu, menyebabkan infertilitas dan bahkan kematian.

Selain itu, peneliti pun membongkar fenomena allen’s rule atau perubahan morfologi pada beberapa spesies terjadi pada berbagai hewan dan skala geogenik.[6]https://www.vice.com/id/article/wx59p4/ilmuwan-sebut-beberapa-hewan-mulai-berubah-bentuk-akibat-perubahan-iklim Di mana juga disadari bahwa perubahan morfologi dapat terjadi akibat habitat, pola makan, dan faktor ekologi lainnya.

Namun, variabel perubahan iklim dapat dijadikan acuan karena pengamatan hewan yang dilakukan tersebut berasal berbagai jenis satwa dengan pola makan dan habitat yang berbeda.

Lebih tegas, bahwa yang terpenting bukanlah tentang variabel lain itu akan tetapi apakah hewan liar tersebut mampu bertahan dengan perubahan yang ekstrim dan dapat melakukan evolusi dengan cepat?

Karena jika hal itu hanya akan menyebabkan infertilitas dan bahkan kematian, tentu ini akan mengurangi jumlah populasi dan spesies satwa tertentu.

Situasi ini sangat mengkhawatirkan untuk keberlangsungan hidup seluruh organisme di muka bumi ini, sehingga perlu tindakan nyata dari segala pihak terutama pemangku kebijakan.

Pun, harus ada dukungan dari masyarakat luas berupa upaya untuk mengubah pola hidup dengan mulai berbenah paradigma menjadi bio dan ekosentrisme.

Memang benar, jika manusia hanya dihadapkan pada dua pilihan saja maka yang akan terjadi adalah manusia tersebut seperti layaknya robot.

Untuk itu, perlu membuka ruang untuk beberapa pilihan lainnya agar lebih banyak pertimbangan. Sehingga manusia dapat memilih secara leluasa dan rasional. Minimal tiga pilihan.

Pada situasi saat ini, meskipun terbatas dua pilihan (menjaga atau mengabaikan alam), namun menurut hemat saya, menjaga lingkungan demi keberlangsungan hidup alam semesta adalah pilihan yang harus cepat kita ambil.

Secara nilai budaya dan melalui proses yang panjang, manusia mampu melahirkan pemikiran atas kesadaran ruang dan waktu -terkemas dalam banyak bentuk.

Seperti kata “setiap masa ada orangnya, setiap orang ada masanya” hal ini merupakan pepatah yang bermuatan atas kesadaran ruang dan waktu.

Pepatah ini mengirimkan pesan bagi manusia agar memahami bahwa apapun yang ada di alam raya ini bukan hanya hak bagi manusia yang hidup saat ini, akan tetapi juga menjadi hak untuk manusia yang hidup di masa yang akan datang.

Maka kita (manusia) perlu menjaga konsistensi keseimbangan alam (ekologi) agar manusia-manusia, anak keturunan kita juga menikmati apa yang telah disediakan oleh alam.

0 0 votes
Article Rating

Referensi[+]

Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments
Seekor harimau (Panthera tigris) sedang beristirahat di kandangnya di Medan Zoo. | Foto: Dok. Wildlife Whisperer of Sumatra
Opini

Gardaanimalia.com – Wali Kota Medan Bobby Nasution punya rahasia. Rahasia itu berhubungan dengan keputusannya menutup Medan Zoo pasca-insiden…