Gardaanimalia.com – Kakawin Nitisastra, pedoman kebijaksanaan hidup, mengajarkan bahwa harimau dan hutan adalah saudara. Jika seseorang memiliki niat buruk ketika masuk hutan, harimau akan mengadangnya.
Sebaliknya, jika seseorang ingin memburu harimau, hutan akan mengelabuinya. Namun, jika keduanya terpisah, hutan akan ditebangi dan harimau akan dibasmi oleh manusia.
Kutipan tersebut dicatat oleh Sir Thomas Stamford Raffles dalam bukunya The History of Java (1830). Ketika itu, Jawa masih dirimbuni belantara keramat yang dihuni oleh orang-orang sakti, dhanyang penghuni beringin dan trembesi, serta harimau-harimau suci.[1]Raffles, T.S. 1830. The History of Java. London: John Murray, 2 volume.
Raffles tidak tahu kalau catatannya menjadi salah satu rekaman terakhir kesakralan harimau jawa. Tidak lama setelah bukunya terbit, Belanda membuka hutan, mempekerjakan pemburu harimau, dan menunggangi upacara kerajaan yang melumat jumlah kucing besar di Pulau Jawa.
Hari ini, mitos dan magi telah mati di tanah Jawa, begitu pula dengan harimau-harimau penjaganya. Harimau jawa dinyatakan punah pada 1979 setelah individu terakhirnya di Taman Nasional Meru Betiri, Jawa Timur tidak pernah muncul lagi.
Kepunahan harimau jawa adalah kisah pergeseran budaya, eksploitasi sumber daya, dan politik penguasa. Kita akan melihat bagaimana ruh leluhur dan raja-raja lampau menjaga hutan dan harimau tetap lestari.
Kita juga akan melihat bagaimana lumatnya populasi harimau berkorelasi dengan tekanan pemerintah Hindia Belanda kepada pribumi.
Terakhir, kita akan melirik bagaimana pola yang serupa terjadi hari ini di Sumatra, satu-satunya lokasi yang masih mampu menaungi harimau Nusantara.
Penjaga Rimba, Saudara Manusia
Satu hari, Prabu Siliwangi, Raja Agung Pajajaran, lebur dengan Hutan Sancang dan menjadi harimau putih.
Keputusan itu diambilnya agar dia tak perlu berkonflik dengan anaknya (atau sepupunya, tergantung referensi), Raden Kian Santang yang meminta sang raja untuk memeluk Islam.
Konon, harimau jelmaan Prabu Siliwangi itu masih menjaga Leuweung Sancang sampai saat ini.[2]Wessing, R. 1993. “A Change in the Forest: Myth and History in West Java. Journal of Southeast Asian Studies. 24(1): 1-17.
Legenda yang sama bergaung di seluruh penjuru Jawa. Dari Ujung Kulon sampai Blambangan, terdapat kisah-kisah mengenai penjagaan hutan Jawa oleh harimau suci.
Akademisi Robert Wessing mengutarakan, masyarakat masa lalu percaya bahwa harimau adalah perwujudan ruh leluhur yang menjaga dan mengawasi perilaku seluruh warga desa.
Oleh karena itu, warga menghormati harimau dengan sebutan Mbah, Kiai, dan Datuk–layaknya mereka menghormati sang leluhur.[3]Wessing, R. 1995. “The Last Tiger in East Java: Symbolic Continuity in Ecological Change”. Asian Folklore Studies. 54(2): 191-218.
Umumnya, yang dimaksud leluhur adalah para pendiri desa. Mereka dianggap sakti karena tidak sembarang orang boleh membuka hutan dan membangun perkampungan.
Hutan dibuka hanya atas seizin alam. Hutan yang terlarang tidak bisa dimasuki orang bahkan untuk sekadar mengumpulkan rotan.
Pada mitos lain, Wessing merekam sebuah kisah yang mengatakan bahwa manusia dan harimau adalah saudara. Keduanya lahir dari ibu yang sama. Menentukan wilayah hutan larangan merupakan semacam penghormatan kepada saudara kandung manusia.
Keyakinan ini berlanjut sampai Islam menguasai Nusantara. Wessing mencatat, dalam satu bentuk akulturasi antara kepercayaan lokal dan Islam, terdapat kisah bahwa harimau dan buaya adalah keturunan Sayyidina Ali, sepupu dan menantu Nabi Muhammad.
Kepercayaan, adat, dan budaya lokal mungkin berubah. Namun, sampai kisaran abad ke-16 penghormatan terhadap harimau–yang juga berarti penghormatan terhadap hutan–masih terjaga betul.
Begitulah bagaimana dahulu masyarakat mendirikan peradaban: sesuatu yang berpijak di atas adab, dan salah satu adab itu adalah pemanfaatan lahan yang secukupnya, sementara sebagian besar diserahkan kepada penguasaan alam.
Entah ruh leluhur itu memang ada atau tidak, banyak kawasan lindung di Jawa saat ini merupakan lanjutan dari perlindungan mitos.
Sebut saja Taman Nasional Gunung Baluran yang dikawal harimau bernama Kyai Kasur, atau Taman Nasional Alas Purwo yang dihuni puluhan macan penjaga, atau Cagar Alam Leuweung Sancang tempat Prabu Siliwangi menjelma harimau putih.
Rampog Macan dan Tanam Paksa
Luruhnya kesakralan harimau jawa barangkali dimulai dengan ekspansi Kesultanan Mataram memasuki abad ke-17.
Sejarawan Peter Boomgaard berpendapat, saat itu Kesultanan Mataram yang baru saja lahir membutuhkan upcara yang spektakuler untuk mengukuhkan dirinya sebagai penguasa Jawa.[4]Boomgaard, P. 1994. “Death to the tiger! The development of tiger and leopard rituals in Java, 1605-1906”. South East Asia Research. 2(2): 141-175.
Salah satu catatan pertama pembasmian harimau massal beririsan dengan periode ini, yaitu pada 1620, ketika 200 ekor harimau diburu untuk kepentingan upacara.
Upacara tersebut adalah pertarungan antara harimau dan banteng. Harimau menyimbolkan kekuatan alam yang perlu ditundukkan, sementara banteng merepresentasikan kekuatan Mataram.
Hampir setiap waktu harimau kalah oleh banteng, bukti bagi para sultan terhadap superioritas Mataram di hadapan musuh-musuhnya.
Acara kemudian dilanjutkan dengan rampog macan. Di tengah alun-alun, seekor harimau atau macan tutul ditempatkan di tengah lingkaran yang dikelilingi oleh lapis demi lapis prajurit pembawa tombak.
Sang harimau yang panik lama-lama memaksa diri untuk melompati barikade prajurit, hanya untuk tertusuk oleh tombak-tombak runcing. Darah alam tumpah, masyarakat sumringah.
Rampog macan menjadi ciri kerajaan Jawa bahkan sampai Mataram pecah menjadi beberapa kerajaan yang lebih kecil. Saking digemarinya upacara tersebut, Kesultanan sampai memiliki pemburu harimau dan rusa profesional yang disebut sebagai tuwa-buru.
Ini adalah pergeseran ekstrem dari sudut pandang masyarakat mula yang melihat harimau sebagai perwujudan ruh leluhur penjaga alam.
Wessing mencatat, kerajaan justru memandang harimau sebagai representasi keliaran alam maupun sifat sultan yang harus ditaklukkan.
Sabung harimau-banteng dan rampog macan bukan sekadar upacara ritual, ia juga instrumen politik untuk menguasai sumber daya. Hal ini jadi sangat kentara memasuki tahun 1830, ketika Belanda mulai menerapkan Sistem Tanam Paksa.
Untuk menggenjot ekspor, pemerintah Hindia Belanda tidak hanya memaksa pribumi menanam tumbuhan industri. Mereka juga membuka hutan-hutan non-produktif yang pada waktu itu mencakup seluruh hutan non-jati.
Wessing mencatat, dampak ekologi dari Sistem Tanam Paksa “berlipat ganda lebih besar dari gabungan seluruh pengaruh masyarakat Jawa sebelumnya”.
Tak mengejutkan, ketika rimba dibabat, harimau jawa mulai menyergap. Pertama-tama, mereka menerkam ternak ketika jumlah rusa di hutan berkurang signifikan. Kemudian, konflik langsung dengan warga tidak terhindari seiring dengan meluasnya perkebunan.
Sampai saat ini, citra harimau sebagai penerkam ternak dan warga desa abadi dalam macanan, permainan papan tradisional seperti catur yang memiliki pion macan dan uwong (orang).
Jika pemain macan berhasil menerkam uwong, maka macan menang. Sebaliknya, jika uwong berhasil mengepung macan, maka uwong menang. Pada versi lain, Raffles mencatat permainan macanan dengan pion yang terdiri dari harimau dan sapi ternak.[5]Raffles, T.S. 1830. The History of Java. London: John Murray, 2 volume.
Pembabatan hutan oleh Sistem Tanam Paksa juga mengubah perspektif masyarakat desa terhadap harimau. Bukan lagi sebagai saudara spiritual, harimau malah dituduh sebagai jelmaan orang-orang jahat yang menuntut ilmu pesugihan. Berkembanglah folklor tentang sosok siluman harimau dan harimau jadi-jadian.
Rampog macan pun ada di masa kejayaannya selama Sistem Tanam Paksa. Melimpahnya penangkapan harimau membuat upacara ini bisa berjalan lancar.
Rampog macan saat itu tidak hanya dilaksanakan atas kehendak raja. Bupati-bupati daerah dan pejabat Hindia Belanda bisa memesan acara rampog macan mereka sendiri sebagai prestise ketika menyambut tamu-tamu terhormat.
Bersamaan dengan menyempitnya hutan, populasi harimau pun berangsur kandas. Boomgaard memperkirakan, pada periode 1830 sampai 1860, rata-rata 1.250 ekor harimau dibunuh setiap tahunnya. Jumlah ini jatuh menjadi 400 ekor per tahun pada 1900.
Susutnya populasi harimau membuat para penguasa makin sulit melaksanakan rampog macan. Pada akhir abad ke-19, ritual ini sudah hampir tidak pernah dilakukan lagi.
Upacara terakhir yang tercatat diselenggarakan pada 1906 di Kediri, Jawa Timur. Setelah itu, pemerintah Hindia Belanda melarang kegiatan rampog macan.
Akhir Kisah Harimau Jawa
Walaupun sudah mendapatkan perlindungan hukum, jumlah harimau jawa tidak pernah pulih ke kondisi semula. Ini karena hutan tetap ditebangi, bahkan setelah Belanda hengkang dari Indonesia.
Pada kisaran 1950 sampai 1970, banyak hutan primer diubah menjadi hutan jati untuk menggenjot perekonomian negara.
Pada 1960, harimau jawa hanya tinggal di petak-petak hutan seperti Ujung Kulon, Leuweung Sancang, Meru Betiri, dan Baluran.
Jumlahnya semakin sedikit ketika berbagai konflik sipil terjadi pada transisi Orde Lama dan Orde Baru. Para masyarakat sipil bersenjata kabur ke dalam hutan dan mulai memburu harimau untuk bertahan hidup.
Pada 1975, populasi penduduk Jawa sudah mencapai angka 85 juta jiwa, sementara hanya delapan persen dari luas tutupan lahan pulau yang masih berupa hutan alam.
Pada 1976, akademisi Seidensticker dan timnya menemui sisa terakhir harimau jawa: tiga buah tapak kaki di Taman Nasional Meru Betiri. Namun, tidak ada indikasi kalau harimau di kawasan hutan tersebut bereproduksi.[6]Seidensticker, J. 1987. “Bearing Witness: Observations on the Extinction of Panthera tigris balica and Panthera tigris sondaica” dalam Tigers of The World: The Biologi, Biopolitics, Management, … Continue reading
Beberapa tahun setelahnya, harimau jawa dinyatakan punah.
Apa yang di Jawa, Juga ada di Sumatra
Hari ini, pola eksploitasi yang sama terjadi di Sumatra, pulau di mana kerabat harimau jawa masih bergerilya dalam hutan belantara. Seperti lanskap Jawa 150 tahun silam, hutan rimba Sumatra tengah berganti menjadi perkebunan.
Beruntung, Sumatra memiliki dua taman nasional raksasa yang sudah hampir 100 tahun menjadi rumah terakhir harimau, yaitu Taman Nasional Gunung Leuser dan Taman Nasional Kerinci Seblat.
Per 1939, Sumatra memiliki luasan kawasan lindung terluas di Nusantara, yaitu 1.300.000 hektare. Lebih besar dari total kawasan lindung di seluruh tempat lainnya di Nusantara yang hanya mencapai 1.140.000 hektare.[7]Boomgaard, P. 1999. “Oriental Nature, its Friends and its Enemies: Conservation of Nature in Late-Colonial Indonesia, 1889-1949”. Environmental and History. 5(3): 257-292.
Meskipun begitu, konflik dengan warga desa tetap tidak terhindarkan. Terakhir, pada Maret 2023 lalu seekor harimau di Aceh mati diracun warga karena ia dongkol kambingnya jadi mangsa. Interaksi negatif seperti ini hampir selalu terjadi di daerah dengan hutan yang susut.
Ini identik dengan catatan-catatan konflik di Jawa. Penerkaman ternak yang berujung pada pembunuhan harimau dengan racun pernah dilaporkan Kerkhoven pada 1879 di sebuah desa dengan hutan padat yang sudah hampir kandas.
Penyerangan manusia oleh harimau juga sempat dilaporkan pada 1966, yang ternyata terjadi di perkebunan tebu dengan jumlah pakan harimau yang jarang.[8]Wessing, R. 1995. “The Last Tiger in East Java: Symbolic Continuity in Ecological Change”. Asian Folklore Studies. 54(2): 191-218.
Perburuan harimau untuk memasok permintaan kaum elit juga terjadi di Sumatra, mirip dengan gairah para bupati dan pejabat tinggi Hindia Belanda untuk menyaksikan rampog macan sebagai simbol royalitas.
Bedanya, yang terjadi di Sumatra saat ini adalah perburuan ilegal yang menyuplai bagian-bagian tubuh harimau dengan harga mencapai ratusan juta rupiah.
Apa yang dihadapi harimau sumatera hari ini serupa dengan yang dihadapi harimau jawa satu abad silam. Yang berbeda hanya aktornya saja.
Di masa lalu ada ekspansionisme imperial dan kolonial, hari ini ada ekspansionisme industri dan korporasi. Dua-duanya menghasilkan hal yang sama: tak ada lagi penjaga hutan, tak ada lagi hutan yang dijaga.
Referensi
Nice post. I learn something totally new and challenging on websites