Gardaanimalia.com – Segerombolan orang dengan baju tarzan berlari masuk ke hamparan ladang jagung dan mulai menyebar, berhamburan ke mana-mana.
Mereka meringkuk di kegelapan, berharap agar tingginya tumbuhan bisa menyembunyikan tubuh dan bayangannya.
Namun, rombongan simpanse dan bonobo yang sudah mahir menunggangi kuda dengan mudah bisa menemukan orang-orang hutan itu.
Para kera kemudian menangkap manusia dalam jebakan jaring dan jerat yang sudah mereka siapkan sebelumnya.
Kelak, manusia yang tertangkap akan digiring dalam metropolis kera untuk dijadikan suplai budak, peliharaan, dan objek eksperimen.
Untung kita tidak hidup dalam narasi Arthur P. Jacobs dalam film ternamanya, Planet of the Apes (1968), ketika otak kera berkembang pesat menjadi makhluk super cerdas, sedangkan manusia mengalami kemunduran peradaban dan dijadikan kacung kera.
Kita hidup di planet sebaliknya, planet of the humans, di mana manusia adalah makhluk yang paling superior dan kera yang ditindas.
Monyet dan kera dikejar, ditangkap, dan diburu untuk dijual sebagai peliharaan eksotis, penjaja hiburan lampu merah, maupun bahan uji laboratorium.
Belum lama, sebuah lembaga advokator kesejahteraan primata, Action for Primates mengangkat suatu video dalam akun Instagram mereka.[1]Wicaksana, R. 2022. LSM Dunia Kecam Kera Indonesia Ditangkap Brutal untuk Uji Coba di Amerika, China. VoA Indonesia.
Dalam video tersebut, sekumpulan monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) berlarian dengan panik dikejar oleh manusia.
Namun sia-sia, karena manusia pasti bagai raksasa bagi mereka. Seekor monyet diinjak punggungnya dan dilipat kedua tangannya agar mudah dibungkus ke dalam karung seakan-akan dia mainan plastik.
Seekor monyet lainnya dipisahkan paksa dari anak yang sedang digendongnya, lalu dimasukkan ke dalam kerangkeng bambu sempit bersama beberapa monyet dewasa lainnya.
Adegan-adegan ini benar-benar serupa dengan apa yang ditunjukkan Planet of the Apes. Yang berbeda hanya siapa yang jadi tokoh antagonisnya.
Ah iya, adegan ini diliput di Indonesia.
Perjalanan tragis monyet-monyet ini masih jauh dari selesai. Menurut keterangan Action for Primates, mereka akan dikirim ke Amerika Serikat dan Tiongkok untuk disuntik dengan berbagai zat kimiawi eksperimental.
Tidak sedikit dari mereka yang akan mati dalam hitungan bulan, bahkan minggu, setelah menjadi bahan eksperimen.
Kemaslahatan Manusia vs. Keselamatan Hewan
Kenapa kita menyuntik monyet dengan cairan-cairan mematikan? Jelas bukan untuk usil semata.
Sebelum pil, obat batuk sirup, vaksin, serta berbagai kosmetik tertempel di kulit dan masuk ke tubuh kita, mereka perlu melewati rangkaian uji coba terlebih dahulu. Apakah zat kimia di dalamnya akan menyembuhkan atau justru malah jadi racun?
Tentu repot kalau obat oles jerawat yang kita gunakan sehari-hari malah mengundang iritasi atau bahkan kanker kulit. Maka, sebelum ‘kanker’ terlanjur dijual di apotek dan minimarket terdekat, obat jerawat itu perlu dites dahulu efeknya.
Salah satu caranya adalah dengan memakai hewan sebagai objek uji coba. Tiga hewan yang sering dipakai adalah tikus, kelinci, dan monyet.
Kegiatan ini sudah bertubi-tubi dikecam oleh berbagai pihak, terkhusus lembaga-lembaga pendukung kelestarian hewan.
Ini bukan hal yang mengejutkan karena, jika kita berselancar pada laman-laman internet dan mengetik kata animal testing, tidak sulit menyebut kegiatan ini sebagai tindakan keji.
Lihatlah bagaimana kulit kelinci berubah hitam, mata mereka berdarah merah, dan kepala monyet terkelupas hingga otak mereka terlihat.
Sebuah film animasi singkat oleh Taika Waititi berjudul Save Ralph (2021) menggambarkan kekejaman ini dengan sangat polos, tapi fasih.
Namun, advokasi penolakan hewan sebagai objek uji coba laboratorium sangat sulit dilakukan. Mengapa?
Belum ada metode yang bisa menggantikan kompleksitas makhluk hidup.[2]Stanford Medicine. Why Animal Research? Serumit apa pun kita memodelkan jantung manusia pada komputer tercanggih hari ini, jantung monyet tetap lebih akurat.
Banyak obat-obatan krusial, termasuk vaksin COVID-19 masih bergantung pada uji coba hewan.[3]NIAID Now. 2021. The Important Role of Animal Research in mRNA COVID-19 Vaccine Development. National Institute of Allergy and Infectious Disease. Lagipula, para peneliti sudah menekankan bahwa kehidupan hewan yang digunakan pada uji coba laboratorium harus sejahtera.
Kalau hewan-hewan ini stres, mereka tidak akan menunjukkan respon yang dapat dipercaya ketika disuntik zat kimia.
Di satu sisi, kita paham betul kalau uji coba hewan sangat membuka potensi kejahatan dan pelanggaran atas kesejahteraan hewan.
Namun, di sisi lain metode ini telah menyelamatkan jutaan jiwa. Belakangan, teknologi yang lebih maju sedang dipromosikan untuk menggantikan kebutuhan hewan sepenuhnya sebagai bahan uji laboratorium.[4]Smith, J. 2020. Can Biotechnology Reduce Animal Testing in Medicine? Labiotech.eu.
Ini adalah perkembangan yang baik. Namun, sampai teknologi itu menjadi terjangkau, hewan barangkali akan selalu ada di meja-meja laboratorium.
Yang Perlu Diberantas, Irresponsible Animal Testing
Uji coba hewan merupakan isu yang rumit. Kompleksitas yang ada di dalamnya banyak yang berada di zona abu-abu, di mana pihak pro dan kontranya keduanya memiliki argumen yang kuat.
Tapi, dalam kegiatan ini, ada bagian yang kita semua bisa sepakati merupakan hal yang perlu ditentang. Kalau kita melihat bisnis sawit yang isunya sama-sama pelik, ada yang disebut dengan irresponsible palm oil industry.
Yaitu kegiatan yang jelas merusak lingkungan tanpa bisa dikompromi seperti membakar hutan dan lahan gambut. Pada kegiatan uji coba hewan juga ada hal yang serupa, kita sebut saja irresponsible animal testing.
Mari kembali ke video awal. Monyet dilipat, monyet diinjak, monyet dilempar.
Bagaimana bisa monyet-monyet itu dianggap sejahtera kalau tubuh mereka dilipat sedemikian rupa, lalu dilempar begitu saja ke dalam karung dan kerangkeng bambu?
Kalau proses penangkapannya saja sekeji itu, bagaimana publik bisa yakin kalau mereka akan diurus dengan baik selama perjalanan jauh ke Amerika Serikat dan Tiongkok hingga sampai ke meja-meja laboratorium milik perusahaan privat pemesan monyet-monyet itu?
Lewat video seperti inilah trust issue publik terbangun. Jangan kaget kalau belakangan publik sudah tidak percaya dengan janji-janji pemerintah menangani isu kesejahteraan hewan.
Bad apples–apel yang kebetulan busuk, kalau kata pihak kepolisian Amerika Serikat ketika ditanya tentang aksi satuan kepolisian mereka yang terkenal brutal.
Kalau dalam kamus politik kita, oknum. Barangkali yang tertangkap kamera pihak Action for Primates cuma oknum saja. Sangat bisa jadi.
Tapi, kalau ada apel yang busuk, apakah kita cuma akan membuang satu apel itu saja atau perlukah kita mengecek apel-apel yang lain? Jangan-jangan semua apelnya busuk? Atau malah si pohonnya sendiri yang sebenarnya busuk?
Toh, yang juga awalnya mengusulkan penambahan kuota ekspor monyet untuk keperluan biomedis adalah Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA), badan yang tentunya berada di bawah naungan pemerintah.[5]Pradana, W.E. 2022. Jogja Akan Ekspor 1500 Monyet Ekor Panjang untuk Riset Biomedis. Kumparan.
Maka, bukankah pemerintah juga yang mestinya melakukan fungsi pengawasan terhadap kegiatan penangkapan monyet ini, walaupun eksekusinya dilakukan oleh pihak swasta? Tapi di mana mereka ketika video ini diliput?
Fakta bahwa suatu LSM harus menyelundupkan kamera tersembunyi seperti seorang agen pada sebuah misi rahasia menunjukkan luputnya fungsi pemerintah dalam melakukan perlindungan dan pengamanan di lapangan.[6]Balai Konservasi Sumber Daya Alam. 2007. Fungsi Organisasi.
Ini bukan hanya tentang rasa kasihan terhadap monyet. Ini adalah pertanyaan tentang seberapa serius pemerintah menanggapi masalah kelestarian hewan sebagai bagian tidak terpisahkan dari isu lingkungan.
Kalau kita mau berpikir positif, kasus ini sekadar menunjukkan kecerobohan pemerintah dalam melakukan fungsi perlindungan sumber daya alam hayati, terkhusus perihal kasus ekspor hewan untuk keperluan biomedis.
Bad apples–kebetulan yang terliput adalah kasus busuk ketika pemerintah kebetulan sedang lalai. Tapi, seburuk-buruknya, kasus ini merupakan gambaran ketidakpedulian pemerintah terhadap isu kelestarian hewan secara keseluruhan.
Kematian Satu Orang adalah Tragedi, Kematian Seribu Monyet adalah Statistik
Salah satu pakar yang banyak memberi komentar tentang ekspor monyet ini adalah Guru Besar Fakultas Kedokteran Hewan (FKH) Universitas Gadjah Mada, Pudji Astuti.[7]Pradana, W.E. 2022. Pakar: Ekspor Biomedis Tak Segampang Itu. Kumparan.
Beliau mendukung rencana kegiatan ekspor monyet untuk keperluan uji biomedis. Alasannya, jumlah monyet ekor panjang yang ada di sekitar DIY sudah melebihi populasi aman.
Semakin banyak populasi monyet, semakin tinggi kemungkinan konflik dengan manusia. Misalnya, di Kabupaten Bantul dan Gunung Kidul dilaporkan frekuensi monyet yang berseteru dengan masyarakat setempat belakangan meningkat.
IUCN mengkategorikan monyet ekor panjang ke dalam spesies rentan (vulnerable).[8]Eudey, A., Kumar, A., Singh, M., Boonratana, R. 2021. Macaca fascicularis The IUCN Red List of Threatened Species. Namun, dia bukan spesies yang dilindungi dalam perundang-undangan.
Di Indonesia, populasi monyet ekor panjang masih terhitung banyak. Maka, dia tidak masuk ke dalam daftar hewan dilindungi dan otomatis tidak mendapat privilese dari menjadi hewan dilindungi.
Padahal kita sering melihat kalau monyet ekor panjang diperlakukan secara kasar, baik sebagai tawanan topeng monyet pinggir jalan maupun diburu seperti pada video yang sedang kita bahas.
Kita telah masuk ke dalam diskusi pada tingkatan lebih tinggi dan skala lebih spesifik mengenai kesejahteraan hewan.
Apakah suatu spesies dikatakan sejahtera cukup karena populasinya stabil? Apakah kesejahteraan sama dengan jumlah individu di habitat?
Kalau para monyet ekor panjang diperlakukan semena-mena oleh manusia tapi populasinya di alam masih melimpah, apakah kita tidak perlu melakukan tindakan tertentu?
Lantas kenapa kita tidak sekalian menggelar sayembara perburuan monyet kalau jumlahnya sekarang sedang melebihi batas?
Hewan bukanlah data yang takarannya cukup dihitung lewat angka. Mereka adalah organisme kompleks yang punya kesadaran sendiri. Mereka punya motivasi dan punya ketakutan, walaupun dalam bentuk yang lebih sederhana ketimbang manusia.
Semua hewan, dilindungi atau tidak, wajib diperlakukan dengan terhormat. Mereka juga punya hak yang bahkan diatur dalam peraturan pemerintah.
Peraturan pemerintah? Silakan lirik Peraturan Pemerintah Nomor 95 Tahun 2012 tentang Kesehatan Masyarakat Veteriner dan Kesejahteraan Hewan, lalu tengok Pasal 83 Ayat 2.[9]Republik Indonesia. 2012. Peraturan Pemerintah No. 95 Tahun 2012 tentang Kesehatan Masyarakat Veteriner dan Kesejahteraan Hewan. Jakarta: Presiden Republik Indonesia.
Di sana tercantum lima hak hewan yang mengacu pada Five Freedoms (Lima Kebebasan), semacam deklarasi internasional yang menekankan lima poin kebebasan bagi hewan.[10]American Humane. 2016. Five Freedoms: the gold standard of animal welfare.
Lima poin ini adalah kebebasan dari lapar dan haus (freedom from hunger and thirst), kebebasan dari ketidaknyamanan (freedom from discomfort), kebebasan dari rasa sakit, luka, dan penyakit (freedom from pain, injury, and disease), kebebasan untuk mengekspresikan perilaku alami dan normal (freedom to express normal and natural behavior), dan kebebasan dari rasa takut dan stres (freedom from fear and distress).
Pada ayat selanjutnya, ditekankan bahwa kelima prinsip ini wajib dipatuhi ketika sedang–salah satunya–melakukan kegiatan penangkapan dan penanganan.
Ada dua hal yang bisa kita ambil dari kasus ini. Pertama, kegiatan penangkapan monyet yang tertangkap video bukan hanya kejam, tetapi melanggar hukum.
Kedua, kita perlu memikirkan ulang pemahaman kita tentang kesejahteraan hewan. Dia bukan hanya perihal jumlah, tapi tentang hak-hak yang dimiliki setiap individu hewan.
Referensi