Gardaanimalia.com – Daftar panjang konflik antara manusia dan harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae) tentu memberikan tanda tanya pada kita semua. Sampai kapan?
Seperti yang kita ketahui, predator wahid dalam ekosistem ini adalah ‘penduduk’ asli pulau sumatera. Kucing agung ini mendiami hutan rendah hingga hutan pegunungan.
Namun, ternyata hal itu juga berarti bahwa lokasi pertikaian manusia dan satwa malang tersebut terjadi tidak hanya di satu daerah tertentu saja.
Berdasarkan data dari Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh, pada tahun 2020 konflik antara manusia dan harimau sumatera mencapai 39 kasus.
Konflik terjadi di beberapa daerah seperti Aceh Singkil, Subulussalam, Aceh Besar, Aceh Tamiang, Aceh Tenggara, Aceh Selatan, Bener Meriah, Aceh Timur, Nagan Raya, Aceh Tengah, hingga Aceh Utara.
Pada tahun yang sama, seekor harimau ditemukan mati akibat racun di Desa Kapa Seusak, Kecamatan Trumon Timur, Kabupaten Aceh Selatan.
Sedangkan per maret 2021, konflik yang terjadi sudah mencapai 18 kasus. Data tersebut hanya menggambarkan konflik yang terjadi di Aceh, dan belum termasuk daerah lain.
Di Provinsi Riau misalnya, tepat di Bukit Batu, Desa Tanjung Leban, Kecamatan Bandar Laksamana, Kabupaten Bengkalis, ditemukan seekor harimau mati mengenaskan akibat jerat pemburu pada Minggu (17/10).
Mari kita coba untuk menguraikan benang kusut yang menjadi penyebab bentrokan tahunan antara harimau sumatera dan manusia. Berikut momok menakutkan bagi harimau:
Kerusakan Hutan
Laju kerusakan hutan di Aceh mencapai 41 hektar per hari. Berdasarkan data dari Yayasan Hutan, Alam dan Lingkungan Aceh (HAkA), luas tutupan hutan Aceh pada tahun 2017 masih seluas 3.019.432. Sedangkan pada tahun 2019 luas tutupan hutan Aceh menurun drastis hingga 2.989.212 hektar.
“Kerusakan hutan tahun 2019 sekitar 15.140 hektar. Lebih luas ketimbang tahun sebelumnya 15.071 hektar,” jelas Agung Dwinurcahya, Manager Geographic Information System (GIS) Yayasan Hutan Alam Lingkungan Aceh (HAkA), dilansir dari Kompas.
Daerah jelajah harimau jantan dewasa yang mencapai 250 km persegi tentu akan terganggu dengan kerusakan hutan akbar tersebut.
Sayangnya, habitat yang rusak dan daerah jelajah yang semakin menyempit tidak mengurangi insting hewani sang harimau untuk terus berjalan mengitari teritori yang memang dimiliki. Sehingga, singgungan dengan manusia tentu tidak dapat terelakkan.
Jerat serta Perburuan Liar
Pada tahun 2017-2018, perburuan liar di Aceh tercatat sebanyak 1.342 kasus. Jumlah tersebut belum termasuk dengan kasus yang tidak diketahui maupun gagal diungkap.
Lain daripada itu, jumlah perangkap dalam dua tahun tersebut ada 1648 buah. “Terhitung 2014-2018, tim telah memusnahkan 5.529 jerat yang dipasang pemburu untuk menyakiti landak, trenggiling, hingga gajah, harimau dan badak sumatera,” beber Dedy Yansyah, Koordinator Tim Perlindungan Satwa Liar Forum Konservasi Leuser (FKL), dilansir dari Mongabay.
Tidak seperti manusia yang bisa memahami rambu peringatan “Awas ada hewan buas, dilarang mendekat,” harimau sumatera tidak bisa membekali diri untuk mengenali daerah rawan jerat.
Kebutuhan pakan untuk kelangsungan hidupnya adalah naluri yang tidak bisa dilawan oleh harimau itu sendiri.
Sehingga harimau cenderung akan menyambangi lokasi manapun dengan harapan dapat menemukan mangsa, tanpa tahu bahwa daerah tersebut rupanya adalah tempat manusia untuk berburu hewan liar lainnya yang penuh dengan jerat.
Konklusi
Hendra Gunawan, Profesor Riset dan pengajar di Intitut Pertanian Bogor (IPB), mencoba menjelaskan fenomena tersebut. Menurutnya, harimau adalah predator puncak di dalam ekosistem. Oleh karena itu, daerah jelajahnya merupakan yang paling luas di antara satwa liar lainnya.
“Sehingga, jelajahnya bisa lintas kabupaten atau provinsi. Meski satwa tidak mengenal batas-batas wilayah, mereka hanya mengenal batas wilayah sendiri atau teritori,” papar Hendra dikutip dari Mongabay.
“Saat ini hutan sudah banyak terfragmentasi jalan, pemukiman, pertanian, perkebunan, pertambangan, jaringan kanal irigasi, atau SUTET. Akibatnya, harimau akan menyeberang jalan, melewati pemukiman atau masuk perkebunan. Satwa liar pada umumnya memiliki jalur jelajah tetap dan rutin dijelajahi jika tidak ada gangguan,” imbuh Hendra.
Terakhir, tingkat perburuan liar yang tinggi ditilik dari kasus dan jumlah jerat yang ditemukan mengindikasikan bahwa pakan alami harimau jelas menurun.
Dinamika populasi satwa pemangsa mengikuti mangsanya, ketika mangsa sedikit maka pemangsa menurun populasinya, ketika populasi mangsa meningkat maka populasi pemangsa juga meningkat.
“Poin pentingnya, jika habitat harimau rusak, peluang terjadinya konflik dengan manusia terbuka,” pungkas Hendra yang juga merupakan Peneliti Ahli Utama Konservasi Keanekaragaman Hayati Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan KLHK ini.
Jadi, sampai kapan?
Sampai kerusakan hutan dapat terkendali.
Sampai seluruh jerat jahat dan perburuan liar sudah bisa kita tangani.