Gardaanimalia.com – Ngon gajah bek ta meu plung-plung, ngon rimueng bek ta meuseunda. Sebuah potongan hadih maja atau nasihat masyarakat Aceh. Artinya, “jangan berlari dengan gajah dan jangan bercanda dengan harimau.”
Makna kata jangan bercanda dengan harimau bukan hanya tentang bercanda secara langsung ketika bertemu harimau di hutan, tetapi juga pantangan untuk sebut nama harimau jika bukan karena hal penting.
Bagi masyarakat Aceh, tindakan tersebut merupakan sebuah penghormatan terhadap harimau sumatera. Masyarakat meyakini, harimau tidak akan mengganggu manusia, jika manusia tidak berbuat salah–bukan hanya kepada harimau, tetapi juga alam dan sesama manusia.
Keyakinan masyarakat Aceh tersebut diperkuat melalui kejadian demi kejadian konflik yang melibatkan harimau dan manusia.
Pada 2019 misalnya, seorang warga Desa Pasir Mas, Kecamatan Batang Tuaka, Kabupaten Indragiri Hilir, Riau dilaporkan meninggal dunia akibat diterkam harimau sumatera pada saat mencari kayu. Belakangan diketahui bahwa warga tersebut adalah pembalak liar di kawasan hutan, di mana harimau itu tinggal.
Dalam sebuah artikel yang dimuat Mongabay.id, Syamsuar, masyarakat Pasie Lembang, Kecamatan Kluet Selatan, Kabupaten Aceh Selatan, Provinsi Aceh mengatakan, “Nenek moyang masyarakat Aceh tidak pernah membunuh hewan yang tidak dapat dimakan, lain halnya ketika hewan tersebut sudah menggangu. Bahkan, ular yang masuk ke rumah saja itu dilarang dibunuh, tetapi hanya diusir atau dipindahkan.”
Masih mengkutip artikel yang sama. Hal serupa disampaikan Rajuddin (60), warga Desa Bukit Juara, Kecamatan Idi Rayeuk, Kabupaten Aceh Timur. Harimau memiliki fungsi yang sangat penting yaitu memangsa babi hutan. Karena dengan begitulah keseimbangan ekosistem hutan tidak akan terganggu.
Namun sekarang situasi telah berbeda, hutan perlahan dialihfungsikan, dan babi sering merusak perkebunan. “Adakalanya saat menjaga durian, saya rindu masa kecil. Dulu, saat sedang menjaga, saya dan kakek saya kadang mendengar suara harimau yang rupanya itu secara tidak langsung juga menjaga kebun kami,” ujar Rajuddin.
Menurut Rajuddin, kakeknya dan masyarakat Aceh pada zaman dulu, tidak pernah berpikir bahwa harimau adalah ancaman, apalagi sebagai satwa yang harus diburu. “Nenek moyang masyarakat Aceh menganggap harimau sebagai sahabat, sebagai teman dan sangat menghormatinya.”
Di sisi lainnya, Jasman, Kepala Desa Malelang Jaya, Kecamatan Terangun, Kabupaten Gayo Lues, juga mengungkapkan kisah yang senada. Ujarnya, masyarakat Gayo yang tinggal di dataran tinggi Aceh menganggap harimau adalah bagian dari kehidupan mereka.
“Sejauh ini kami hidup berdampingan dengan satwa liar. Kami menyakini harimau tidak akan menyakiti siapapun jika tidak diganggu.”
Lebih jauh, Jasman menceritakan, kadang kala ada harimau berkunjung ke dekat kebun masyarakat. Tetapi, ia tidak menyerang warga, melainkan hanya anjing dan babi hutan.
Masyarakat Malelang Jaya pun tidak pernah melakukan perburuan harimau. Sebab satwa terancam punah ini merupakan kekayaan hutan Terangun dan Malelang Jaya. “Harimau adalah kekayaan hutan kami, tidak boleh diganggu. Bahkan, saat ada harimau terluka, kami akan lapor ke pihak terkait,” tambahnya.
Penuturan masyarakat Aceh tentang kearifan lokal yang menghormati harimau tidak hanya sampai pada Jasman. Tetapi ada juga Dailani, masyarakat Malelang Jaya, Kabupaten Gayo Lues, menceritakan kisah yang hampir sama.
Ketika di hutan atau saat melakukan perjalanan, Dailani tidak pernah diganggu oleh harimau. Ia ingat betul kenangannya saat masa remaja, ketika bersama orangtuanya berangkat ke Kabupaten Aceh Barat Daya berjalan kaki, melewati belantara hutan.
“Tempat kami istirahat di malam hari sempat dilalui harimau. Kata Ayah saya, harimau itu melindungi kami, keberadaannya diketahui dari suara dan jejaknya,” tutur Dailani.
Sebut Harimau dengan Dia, Diyau, atau Hangtuo
Tak jauh berbeda dengan masyarakat Aceh, masyarakat Kerinci juga memiliki keyakinan tentang penghormatan kepada harimau. Sehingga pantang bagi siapapun masuk ke dalam hutan, kemudian menyebut harimau dengan perkataan harimau saja.
Karena harimau harus disebut layaknya manusia, semacam dio, diyau, atau hangtuo. Penghormatan ini karena masyarakat menganggap harimau lah yang lebih dulu tinggal di wilayah Kerinci jauh sebelum manusia datang dan turut menempati wilayah tersebut.
Apabila masyarakat melihat harimau sumatera masuk ke pemukiman, maka ini dianggap sebagai pertanda bahwa ada larangan adat dan/atau hukum moral yang telah dilanggar oleh masyarakat yang tinggal di pemukiman tersebut.
Karena harimau sumatera punya peran penting sebagai penjaga kedamaian di tanah Kerinci. Masyarakat yang diwakili oleh pemangku adat setempat, sering kali mengadakan ritual dan memberikan sesajian kepada sang raja hutan.
Bahkan lebih dari itu, saat masyarakat menemukan harimau mati, mereka akan gelar tarian yang disebut Ngagah Harimau. Tarian ini ditujukan untuk menghibur roh harimau dan dipentaskan sebagai kegiatan ritual agar harimau dan masyarakat tetap damai dan dijauhkan dari konflik.
Dalam ritual Ngagah Harimau, syair dibacakan untuk tiga harimau yang disebut Mangku Gunung Rayo, Rintek Ujan Paneh, dan Ulu Balang Tagea. Ketiga harimau tersebut dipercaya memiliki perjanjian dengan nenek moyang masyarakat Kerinci untuk menjaga harmonisasi kehidupan mereka.
Harimau, dari Ompung hingga Datuak/Inyiak, Kau Dipanggil
Berbeda dengan Kerinci, di Sumatera Utara, harimau dipanggil Ompung yang dalam bahasa Batak artinya kakek. Panggilan ini adalah bentuk hormat kepada orang yang dituakan.
Ada pula legenda Batak Babiat Sitelpang yang berkisah tentang harimau pincang yang menjaga sang ibu serta seorang anak yang diasingkan ke dalam hutan.
Dalam perjalanannya, legenda ini memengaruhi perilaku masyarakat di sana yang ketika memasuki hutan atau ladang, mereka “meminta izin” kepada Babiat Sitelpang sebagai penguasa hutan.
Lain daripada itu, masyarakat Batak Mandailing pun percaya bahwa jika ada harimau memasuki pemukiman, itu berarti ada orang di pemukiman tersebut yang melakukan hal yang dilarang.
Bergeser ke tanah minang, di Minangkabau harimau disebut Datuak atau Inyiak yang dipercaya adalah roh leluhur mereka. Datuak pun menjadi inspirasi aliran ilmu bela diri di sana, yakni silek harimau (silat harimau).
Bela diri yang menggunakan senjata disebut kurambik ini ialah semacam pisau kecil, representasi dari cakar harimau. Ada juga mitos yang menyebutkan bahwa pesilat yang menguasai silek harimau bisa berubah wujud menjadi harimau.
Tak hanya di Indonesia, Manusia dan Harimau Hidup Berdampingan di India
Sekitar 50% populasi harimau dunia ada di India. Pada beberapa wilayah di India, sebagian suku asli di sana cukup senang hidup berdampingan dengan harimau.
Dikutip dari BBC, Survival International, sebuah lembaga amal yang memperjuangkan perlindungan hak-hak suku asli mengatakan bahwa suku asli adalah ahli konservasi dan pelindung terbaik bagi alam.
Salah satu alasan yang cukup masuk akal adalah sebab masyarakat suku Soliga menganggap harimau sebagai dewa. Kemudian, mayoritas penduduk di sana merupakan vegetarian sehingga mereka tidak berburu binatang liar yang merupakan sumber makanan bagi harimau.
Sebagian besar penduduk desa juga bercocok tanam. Mereka mengungkapkan bahwa sejatinya harimau sangat dibutuhkan untuk mengusir binatang-binatang perusak tanaman.
Pun, para peternak sapi perah juga berpendapat tentang banyaknya sisi positif yang dirasakan ketika hidup berdampingan dengan harimau. Salah satunya karena harimau membantu mengkerdilkan hati para pencuri susu yang hendak masuk ke kawasan mereka.