Gardaanimalia.com – Seorang warga Kecamatan Puger, Kabupaten Jember, Jawa Timur berhasil diamankan oleh pihak Kepolisian Resor (Polres) Jember karena tertangkap menjual 1.300 ekor benih lobster (benur) secara ilegal.
Berdasarkan penuturan dari Kepala Kepolisian Resor Jember, AKBP Hery Purnomo, warga berinisial DF tersebut diketahui akan mengirimkan baby lobster ke Banyuwangi.
“Namun, pelaku berhasil diamankan dan saat ini masih menjalani pemeriksaan,”ungkap Hery saat jumpa pers di Mapolres Jember pada Rabu (11/5).
Dalam keterangannya, Hery mengatakan, bahwa DF merupakan pengepul benur dengan modus membelinya dari seseorang berinisial H. “Jadi pelaku mendapatkan baby lobster dari H yang saat ini dalam perburuan kami,” jelasnya.
Usai mendapatkan benur, pelaku DF kemudian menghubungi pembeli yang berasal dari Banyuwangi untuk menentukan lokasi pengambilan baby lobster tersebut.
Dia menjelaskan, transaksi jual beli baby lobster antara pelaku DF dan pembeli selalu berpindah-pindah dengan tujuan untuk mengelabui petugas.
Penjualan benur yang dilakukan secara ilegal ini, tegas Hery, merupakan tindak pidana kejahatan. Hal tersebut dikarenakan transaksi tidak memiliki izin dan DF juga tidak memiliki Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP).
Padahal hal itu harus dipenuhi sebagaimana yang sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan.
Kepala Kepolisian Resor Jember tersebut juga mengatakan, bahwa pelaku DF tak mengelak telah melakukan kejahatan tersebut. DF mengaku sudah menjadi pengepul benur sejak dua tahun yang lalu.
Menurut keterangan pelaku, baby lobster jenis pasir dijual seharga Rp6.000 per ekor. Sementara, untuk jenis benur mutiara dijual dengan harga Rp10.000 per ekor.
Akibat perbuatannya itu, ujar Hery, pelaku dijerat dengan Pasal 88 Jo. Pasal 16 Ayat 1 atau Pasal 92 Ayat 1 Jo. Pasal 26 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan.
Selain itu, juga berhubungan dengan pasal atau Jo. Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP dan Pasal 92 Jo. Pasal 26 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Menurut sanksi hukum tersebut, pelaku DF terancam hukuman pidana penjara maksimal 8 (delapan) tahun.