Gardaanimalia.com – Pengesahan RUU Cipta Kerja menjadi Undang-Undang (UU) Cipta Kerja berpotensi ancam kerusakan lingkungan dan kehidupan satwa liar.
Pengesahan UU kontroversial ini dilakukan di Rapat Paripurna DPR Republik Indonesia ke-7 masa persidangan I 2020-2021 di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta kemarin (5/10/2020).
UU Cipta kerja dicanangkan pemerintah Indonesia untuk menyederhanakan banyak undang-undang sebagai solusi atas rumitnya birokrasi perizinan usaha dan investasi di Indonesia. Peraturan ini berisi penyederhanaan aturan hukum mencakup peraturan mengenai penyederhanaan perizinan tanah, persyaratan investasi, ketenagakerjaan, kemudahan dan perlindungan UMKM, kemudahan berusaha, dukungan riset dan inovasi, administrasi pemerintahan, pengenaan sanksi, pengendalian lahan, kemudahan proyek pemerintah dan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK).
Disahkannya UU ini menciptakan penolakan dari berbagai kalangan masyarakat, baik dari pemuka agama, politikus, ahli hukum, akademisi hingga buruh. Penolakan terjadi karena banyak aturan yang dianggap bisa merugikan banyak pihak, semakin terpinggirkannya hak-hak rakyat hingga kerusakan lingkungan dengan dalih memajukan investasi.
Kerusakan Lingkungan
Beberapa ahli mengatakan bahwa pengesahan UU ini berpotensi merusak lingkungan dan dapat berdampak langsung terhadap habitat satwa liar. Secara garis besar, UU Cipta Kerja menghapus, mengubah, dan menetapkan aturan baru terkait perizinan berusaha yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
UU Cipta Kerja menyederhanakan perizinan berusaha yang secara ekstrem sebetulnya memangkas jaring-jaring pengamanan dalam semangat pembangunan berkelanjutan. UU baru ini justru memberikan kemudahan berusaha bagi kegiatan usaha ekstraktif, baik kehutanan, perkebunan, maupun pertambangan. Tentu ketika kemudahan berusaha diberikan dengan leluasa, praktik alih fungsi hutan (desforestasi) secara besar-besarnya juga akan semakin marak.
Baca juga: Satwa Dilindungi Kerap Mati di Area Konsesi: Perusahaan Harus Bertanggung Jawab!
“Saat ini saja sudah 71 persen kawasan hutan beralih menjadi lahan kegiatan usaha, baik perkebunan maupun pertambangan. UU Cipta Kerja akan semakin mempersempit kawasan hutan untuk dialih fungsikan menjadi lahan usaha. Sementara kita tahu habitat satwa-satwa liar ini banyak mendiami kawasan hutan. Membuka kawasan hutan sama artinya dengan memangkas “ruang hidup” bagi satwa. Akibatnya satwa-satwa ini yang akan menjadi korban nantinya, korban dari pembangunan yang tak bertanggungjawab, korban dari konflik antara satwa dengan manusia,” papar Ratna Surya, Koordinator Advokasi Garda Animalia.
Sementara itu, Ratna menuturkan meski banyak pihak menentang pengesahan UU Cipta Kerja pada akhirnya baik Pemerintah maupun DPR nyatanya juga tetap tak bergeming. Dalam kaitannya dengan lingkungan beberapa persoalan yang menjadi sorotan diantaranya terkait dengan perubahan izin lingkungan menjadi persetujuan lingkungan dan pasal terkait pertanggungjawaban mutlak.
Perubahan Peraturan
Mengenai pasal pertanggungjawaban mutlak misalnya, Pasal 88 UU No. 32/2009 sebelumnya mengatur “Setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya menggunakan B3, menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan.”
Dalam UU Cipta Kerja, Pasal itu diubah menjadi: Setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya menggunakan B3, menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi dari usaha dan/atau kegiatannya.
“Perubahan terkait pertanggungjawaban mutlak ini pada unsur kesalahan dalam tindakan. Jika UU No. 32/2009 sepanjang kegiatan usaha yang dilakukan bersifat menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan, pemilik usaha wajib bertanggungjawab atas kerugian lingkungan/pencemaran lingkungan tanpa adanya pembuktian dari unsur kesalahan,” imbuh Ratna.
Menurutnya, selama ini pasal tersebut digunakan pemerintah untuk menjerat para perusak dan pembakar hutan dengan nilai ganti rugi hingga Rp 18 triliun. Hal ini memberikan harapan bagi penegakan hukum lingkungan.
“Sementara dalam UU Cipta Kerja, frasa “tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan” ini dihapuskan. Sebagai konsekuensinya maka membuktikan unsur kesalahan tetap harus dilakukan meski gugatan didasarkan pada pertanggungjawaban mutlak. Ini adalah bentuk ketidakpemahaman pembuat undang-undang terkait pemahaman gugatan pertanggungjawaban mutlak,” tutupnya.