Menjarah
Menjarah
Menjarah
Opini

Burung Seriwang Sangihe, Si Pembawa Pesan yang Diabaikan

2701
×

Burung Seriwang Sangihe, Si Pembawa Pesan yang Diabaikan

Share this article
Burung seriwang sangihe (Eutrichomyias rowleyi). | Foto: James Eaton/ebird.org
Burung seriwang sangihe (Eutrichomyias rowleyi). | Foto: James Eaton/ebird.org

Gardaanimalia.com –  Sangihe adalah sebuah Kabupaten Kepulauan yang terletak di Sulawesi Utara. Dengan luas hanya 737 kilometer persegi, di dalamnya terdapat limpah ruah kekayaan alam yang dititipkan kepada manusia.

Mulai dari lautan yang ada di sekelilingnya, kemudian gunung Sahendaruman yang tinggi menjulang, hingga emas terkandung di tanahnya.

pariwara
usap untuk melanjutkan

Namun sayang, manusia tak mawas diri, ambisi mengumpulkan kekayaan terus menerus ada dan berpotensi mencelakakan makhluk hidup yang tinggal di sana.

Di antara kekayaan Sangihe yang tak ternilai harganya adalah biodiversitas, termasuk sejumlah burung endemik yang kelestariannya kian terancam.

Burung seriwang sangihe (Eutrichomyias rowleyi) ialah salah satu jenis burung endemik yang eksistensinya kembali terancam akan adanya pertambangan di sana.

Sebelumnya, satwa yang juga kerap disebut sebagai Manu’niu oleh masyarakat lokal ini pernah dianggap punah, selama hampir seratus tahun burung seriwang sangihe tak dapat dijumpai di alam liar.

Burung yang memiliki warna biru cerah ini pertama kali diidentifikasi pada tahun 1873 dari koleksi seorang pria bernama Adolf B. Meyer.

Kemudian, pada tahun 1978, Murray D. Bruce, seorang peneliti burung mengatakan bahwa ia melihat kemunculan burung tersebut di Gunung Awu, bagian utara Pulau Sangihe.

Akan tetapi klaim ini datang tanpa bukti, sehingga satwa endemik tersebut diduga sudah punah di alam liar sebab erupsi gunung yang terjadi beberapa kali di habitatnya.

Mereka hidup di kawasan lembah yang curam di dalam hutan primer pada ketinggian sekitar 450-750 Mdpl. Hal tersebut menyebabkan burung itu cukup sensitif terhadap perubahan habitat.

Pada tahun 1998, seorang warga lokal bernama Anius Dadoali menemukan burung seriwang sangihe sebanyak lima ekor.

Setelah ratusan tahun lamanya, satwa ini kembali hadir di tengah-tengah kita, seolah membawa pesan bahwa ada harapan untuk kita di masa depan jika kita membenahi diri dan menjaga alam senantiasa lestari.

Anius yang ketika itu lagi mengambil air ke sungai mendengar suara burung bercengkrama di atas pohon. Ia segera menyadari bahwa burung itulah yang tengah dicari keberadaannya.

Anius lalu menyampaikan temuannya pada peneliti asal Inggris yang selama ini ia dampingi. Masyarakat sekitar pun kemudian memanggil burung tersebut dengan nama manu’nui, sesuai dengan nama penemunya.

International Union for Conservation of Nature’s atau IUCN mencatat saat ini populasi burung seriwang sangihe terus berkurang dan diperkirakan hanya tersisa 21 sampai 100 individu.

Sejak tahun 2018, statusnya ditetapkan sebagai satwa Critically Endangered atau satwa terancam punah. Status tersebut juga menunjukkan bahwa seriwang sangihe berada satu langkah lagi menuju kepunahan di alam liar.

Tak hanya itu, sembilan jenis burung endemik Sangihe lainnya juga dalam kondisi terancam. Empat di antaranya sudah menyandang status Critically Endangered yaitu anis-bentet sangihe (Coracornis sanghirensis), udang merah sangihe (Ceyx sangirensis), burung kacamata sangihe (Zosterops nehrkorni), dan brinjji emas sangihe (Hypsipetes platenae).

Sedangkan lima diantaranya yaitu paok merah sangihe (Erythropitta caeruleitorques), serindit sangihe (Loriculus catamene), burung madu sangihe (Aethopyga duyvenbodei), celepuk sangihe (Otus collari), serta burung raja udang sangihe (Cittura sangirensis) memiliki status Vulnerable atau rentan.

Fakta tersebut merupakan berita yang amat buruk. Pasalnya, di alam liar burung memiliki peran yang tak tergantikan. Mereka berperan sebagai seed dispersal atau penuai biji alami.

Mereka juga bertanggung jawab atas kelestarian ekosistem hutan di habitat mereka yaitu Sangihe. Bila burung-burung ini habis di habitatnya, maka mereka akan meninggalkan pekerjaan amat mulia di alam liar tanpa ada yang bisa menggantikannya.

Lambat laun regenerasi hutan pun akan terhenti, pohon-pohon akan ikut habis, maka tak ada lagi tempat bagi satwa lain bernaung di hutan, dan akan datang sejumlah bencana ekologi yang mengerikan.

Nasib Sangihe dan Habitatnya Kini

Hal ini diperparah dengan hadirnya proyek pertambangan emas di Sangihe. Perusahaan Tambang Emas Sangihe berencana mencari emas sebanyak-banyaknya.

Sejumlah wilayah bahkan telah mereka daftarkan untuk dijadikan lahan tambang dengan luas mencapai 42.000 hektar. Termasuk di dalamnya gunung Sahendaruman yang menjadi satu-satunya tempat tinggal bagi burung-burung endemik Sangihe.

Namun di luar dugaan dan amat disayangkan ketika mengetahui bahwa pemerintah memberikan izin pembangunan dengan mudahnya tanpa mempertimbangkan untung rugi bagi ekologi.

Prof. Dr. Johan Iskandar, M.Sc., guru besar bidang etnobiologi Departemen Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Padjadjaran pernah menyampaikan terkait pentingnya satwa di alam liar.

Ujarnya, kepunahan suatu jenis burung merupakan suatu kerugian luar biasa bagi umat manusia. Sekali punah jenis satwa itu, alam tidak bisa menciptakannya lagi, maka hilang pula berbagai manfaat ekologi, sosial, ekonomi dan budaya bagi masyarakat.

Dan kali ini, kita diuntungkan atas kesempatan kedua yang diberikan semesta kepada kita. Yaitu dengan kemunculan atau kehadiran burung seriwang sangihe.

Alam disediakan untuk semua makhluk hidup, bukan hanya bagi manusia. Sehingga alam tidak boleh dimanfaatkan tanpa batas, dan tanpa mempertimbangkan kehidupan makhluk hidup lainnya.

Peristiwa ini mestinya mampu menyadarkan kapitalis yang telah sewenang-wenang mengeksploitasi alam. Karena alam selalu hadir untuk kita.

Seolah memaafkan kesalahan manusia, burung seriwang sangihe datang membawa pesan kepada kita.

Namun malang, sebagian besar manusia justru abai akan pesan itu dan semakin serakah mendulang emas. Tanpa pernah menyadari seberapa pun mahal harga emas itu tak akan mampu membayar mahalnya bencana ekologi di masa mendatang.

0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments
Seekor harimau (Panthera tigris) sedang beristirahat di kandangnya di Medan Zoo. | Foto: Dok. Wildlife Whisperer of Sumatra
Opini

Gardaanimalia.com – Wali Kota Medan Bobby Nasution punya rahasia. Rahasia itu berhubungan dengan keputusannya menutup Medan Zoo pasca-insiden…