Gardaanimalia.com – Berawal dari empat bibit yang ditanam di Buitenzorg Botonbical Garden pada tahun 1848, kelapa sawit kemudian tumbuh subur di Indonesia dan menjadi komoditas yang produk turunannya digunakan sebagai minyak goreng, bahan baku margarin, dan bahan baku industri kosmetik.
Pohon yang mulai berbuah saat umur tiga tahun dan siap dipanen ini memiliki masa produktif selama kurang lebih 25 tahun. Dalam beberapa dekade terakhir, kelapa sawit juga menjadi tanaman khatulistiwa paling banyak ditanam dan sebagai komoditas bernilai ekonomi strategis.
Namun di balik itu semua, perkebunan kelapa sawit (Elaeis guineensis jacq) mempunyai area lahan yang luas dan mendominasi perkebunan Indonesia. Saat ini luasan areal perkebunan kelapa sawit telah mencakup sekitar 10,7 juta hektare.
Kebutuhan dan industri yang semakin meningkat tentu membutuhkan ruang tanam yang luas. Hal ini mendorong upaya pembukaan wilayah hutan untuk dijadikan areal perkebunan kelapa sawit. Itu berarti kemungkinan terjadinya alih fungsi lahan-lahan perkebunan yang sudah ada atau pembabatan hutan akan terus terjadi.
Satwa Kehilangan Sumber Makanan
Hal tersebut menjadi ancaman bagi 88,67 juta hektare total luas hutan Indonesia yang merupakan habitat alami bagi keberlangsungan hidup satwa yang berfungsi untuk ketersediaan sumber makanan dan mengikat segenap makhluk hidup yang saling bergantung satu dengan yang lain.
Secara naluriah, satwa tidak akan berpindah dari habitat aslinya. Akan tetapi, ekspansi perkebunan sawit memaksa kehidupan satwa semakin terpojok sehingga tak jarang kita menemukan beberapa satwa berada di sempadan sungai atau bahkan masuk ke dalam pemukiman penduduk sekitar. Dengan begitu, perilaku pergerakan satwa dalam mencari makan dan berkembangbiak terganggu.
Baca juga: Lindungi Hutan dan Satwa Liar Demi Mencegah Pandemi
Sebagai contoh, burung endemik Sumatera dan Kalimantan setornis criniger dari famili Pycnonotidae yang memiliki kebiasaan hidup di vegetasi semak, rerumputan, hutan dan pepohonan yang berfungsi sebagai tempat bersarang, berlindung, dan mencari makan pun kini sulit ditemui. Itu terjadi karena areal perkebunan terutama yang berumur delapan tahun memiliki vegetasi bawah berupa tanah yang telah bersih tanpa semak. Kondisi yang demikian tidak cocok dengan habitat yang dibutuhkan oleh burung tersebut.
Tak hanya itu, jika jenis burung lain dari kelompok pemakan madu (nectarivora), pemakan buah (frugivora), pemakan serangga (insectivora), pemakan ikan (piscivora), pemakan biji-bijian (gruivora), dan pemangsa (raptore) juga kehilangan sumber makanan.
Sebagaimana diketahui perkebunan kelapa sawit termasuk jenis monokultur yang merupakan perkebunan homogen alias tidak ada campuran vegetasi lain di dalamnya. Walhasil, kelompok jenis burung tertentu pun mengalami ketimpangan populasi di antara hutan alam dan perkebunan kelapa sawit. Yang banyak terjadi adalah kelompok jenis burung yang satu meningkat namun kelompok jenis burung lain berkurang.
Padahal burung bermanfaat terhadap peran ekologis yang dapat kita rasakan secara langsung. Misalnya saja burung sesap madu yang berperan membantu penyerbukan bunga, burung pemakan serangga dan tikus berperan sebagai pengontrol hama dan terutama burung pemangsa yang berperan sebagai penyangga ekosistem.
Gambaran mengenai persoalan perkebunan kelapa sawit berkemungkinan hal yang sama pun dialami oleh setiap daerah di Indonesia karena beberapa perkebunan menggunakan pola tanam yang tak jauh berbeda.
Lantas sampai sini pertanyaan pun menyeruak. Mengapa perkebunan kelapa sawit mengandalkan areal lahan yang sangat luas? Secara umum biaya produksi kelapa sawit yang tinggi dengan tingkat produktivitas untuk luas lahan yang sempit lebih rendah dibandingkan dengan yang luas.
Perluasan lahan perkebunan kelapa sawit selalu menjadi upaya untuk menutup ongkos biaya produksi yang tinggi berbanding harus mengoptimalkan lahan yang telah ada. Di samping berkontribusi terhadap devisa negara, ketidakseimbangan ekosistem yang berujung pada kepunahan satwa bukanlah sesuatu yang tidak mungkin jika ekpansi perkebunan sawit tetap berlanjut.