Gardaanimalia.com – “Biasanya semangka isinya buah, tapi ini isinya burung,” singgung Pengendali Ekosistem Hutan (PEH) BBKSDA Papua Barat Mohamad Rizki Riadhi kepada Garda Animalia.
Yang Riadhi jelaskan adalah salah satu modus licin para penyelundup satwa liar Papua menyembunyikan kargo ilegal mereka di dalam kapal yang sandar di Pelabuhan Laut Sorong, Papua Barat Daya.
Menurutnya, ide para penyelundup memang bikin geleng-geleng kepala. Selain semangka, satwa juga kadang dibungkus dalam kertas kado, kresek makanan, pipa paralon, botol kemasan air mineral, dan masih banyak lagi.
Selubungnya pun tidak jarang berlapis. Setelah dipampatkan ke dalam botol, satwa ditumpuk rapat-rapat di dalam kardus, kemudian kardus tersebut dibungkus dengan kantong kresek.
Terbaru, 51 ekor burung liar diamankan dari kapal KM Gunung Dempo milik PT Pelni pada Senin, 3 Juni 2024. Sejumlah 41 ekor di antaranya merupakan spesies dilindungi. Satwa-satwa tersebut disembunyikan di dua lokasi.
Yang pertama ditemukan oleh awak KM Gunung Dempo ketika kapal masih berlayar, yang kedua ditemukan oleh Tim BBKSDA Papua Barat setelah melakukan penyisiran ketika kapal menepi di Pelabuhan Laut Sorong.
KM Gunung Dempo adalah salah satu kapal penumpang yang sering ditunggangi oleh muatan satwa liar tanpa dokumen resmi, baik itu spesies yang dilindungi maupun tidak.
Sebabnya, KM Gunung Dempo punya rute yang sangat menggiurkan bagi para saudagar pasar gelap satwa, khususnya burung.
Setelah mengarungi pesisir utara Pulau Papua, kapal langsung berangkat ke Makassar, Surabaya, dan Jakarta. Ketiganya adalah episentrum pasar burung Indonesia.
“Jadi, KM Dempo ini kalau estimasi waktu adalah yang paling cepat untuk menuju Jawa, baik Surabaya maupun Jakarta. [Kapal lain] ada yang transit di Ambon dan sebagainya,” terang Kepala Bidang Wilayah I Sorong BBKSDA Papua Barat Hastoto Alifianto kepada Garda Animalia.
Menurutnya, para penyelundup butuh proses transportasi sesegera mungkin agar kemungkinan satwa mati di perjalanan dapat diperkecil.
Wajar saja, satwa-satwa itu dibawa dalam kondisi tidak sejahtera. Acap kali wadahnya minim ventilasi. Kadang pula lokasi penyimpanannya berada di dekat mesin kapal yang panas.
Kapal-Kapal Tebengan
Pengumpulan data media oleh Garda Animalia menunjukkan, setidaknya terdapat 10 kali pengamanan satwa liar dari atas KM Gunung Dempo yang diberitakan kepada publik sejak 2015.
Salah satu kasus penyitaan satwa dengan jumlah terbesar terjadi pada 2015 ketika kapal bersandar di Pelabuhan Tanjung Priok, Surabaya.
Dalam kejadian itu, pihak berwenang berhasil mengamankan 224 ekor satwa yang meliputi cendrawasih (Cicinnurus sp.), kakatua raja (Probosciger aterrimus), dan nuri hitam (Chalcopsitta atra).
Pun, kasturi kepala-hitam (Lorius lory), nuri bayan (Eclectus roratus), dan kakatua jambul kuning (Cacatua sulphurea). Seluruhnya spesies burung dilindungi.
Pengungkapan satwa liar selundupan di atas KM Gunung Dempo hampir selalu terjadi setiap tahun. Jumlah satwa yang diamankan berkisar pada rentang 1-51 ekor.
Satwa yang dibawa dalam jumlah sedikit, semisal satu atau dua ekor, umumnya mengindikasikan pengangkutan pribadi.
Artinya, satwa itu dibawa bukan untuk tujuan perdagangan. Akan tetapi, ketika dibawa dalam jumlah puluhan atau ratusan, pengangkutan dapat diduga kuat sebagai upaya perdagangan ilegal.
Meskipun menghimpun jumlah kasus penyelundupan satwa terbanyak, KM Gunung Dempo bukan satu-satunya.
Garda Animalia mengidentifikasi dua kapal lainnya, yaitu KM Ciremai dan KM Labobar, yang beberapa kali disusupi tukang colong burung.
Sama seperti KM Gunung Dempo, keduanya mempertautkan Papua dengan kepulauan lain lewat Pelabuhan Sorong sebagai titik hubung utama.
Setelah lepas dari Papua, KM Ciremai mengambil rute yang hampir sama dengan KM Gunung Dempo. Bedanya, sebelum berlabuh di Makassar, kapal singgah dulu di Baubau, Sulawesi Tenggara.
Pada April 2023, sejumlah 244 ekor reptil diamankan dari atas KM Ciremai. Lebih dari 100 ekor di antaranya merupakan spesies reptil dilindungi.
Ini merupakan jumlah pengamanan satwa selundupan tertinggi dari seluruh data yang Garda Animalia kumpulkan pada ketiga kapal.
Berbeda dengan kedua kapal sebelumnya, KM Labobar lepas dari Papua melalui rute utara, salah satunya Bitung.
Kota pelabuhan Sulawesi Utara tersebut dikenal sebagai gerbang keluar masuk muatan satwa ilegal antara Indonesia dan Filipina.
Pada April 2022, KM Labobar pernah terselit muatan berupa 98 ekor burung liar. Hanya satu ekor saja yang tidak dilindungi.
Tahun 2022 juga menjadi tahun dengan frekuensi penyitaan satwa liar paling tinggi untuk ketiga kapal tersebut.
Sorong, Sentra Sirkulasi Satwa Selundupan
Hastoto menerangkan, BBKSDA Papua Barat harus melakukan penjagaan ekstra terhadap Pelabuhan Laut Sorong karena posisinya yang menghubungkan Papua dengan wilayah lain di Indonesia.
“[Pelabuhan Laut Sorong] cukup menjadi perhatian karena Sorong menjadi pintu terakhir keluar dari Papua,” katanya.
Kapal penumpang yang keluar lewat Sorong dapat langsung menuju berbagai destinasi, termasuk Ternate (KM Labobar), Baubau (KM Ciremai), Ambon (KM Sirimau), Bacan (KM Sinabung), Makassar (KM Gunung Dempo), dan Tidore (KM Tatamailau).
Seluruh kapal ini tercatat pernah jadi domplengan kargo satwa ilegal.
Selain membuka jalur antara Papua dan wilayah Indonesia lain, Sorong juga menjadi titik temu kapal-kapal lokal yang hilir mudik di sekitar Papua.
Berdasarkan peta milik BBKSDA Papua Barat yang diterima oleh Garda Animalia, terdapat lima pelabuhan yang secara langsung terpaut dengan Pelabuhan Laut Sorong, yaitu Pelabuhan Fakfak, Yellu, Waigama, Waisai, dan Manokwari.
Lima pelabuhan ini secara tidak langsung menghubungkan Pelabuhan Sorong dengan tiga pelabuhan lain, yaitu Kaimana, Kabare, dan Wasior.
Sementara itu, Pelabuhan Arar yang masih berada di dalam Kota Sorong dapat ditempuh lewat jalur darat dari Pelabuhan Sorong.
Karena faktor di atas, Pelabuhan Sorong merupakan satu-satunya pelabuhan yang masuk dalam kategori kerentanan tinggi di wilayah kerja BBKSDA Papua Barat.
Selain melalui Pelabuhan Sorong, para penyelundup punya tiga opsi pelabuhan lain, yaitu Pelabuhan Fakfak, Kaimana, dan Yellu.
Ketiganya masuk ke dalam kategori pelabuhan dengan tingkat kerawanan sedang.
Menggunakan ketiga pelabuhan alternatif ini, satwa bisa dikirim keluar Papua melalui Pulau Tual dan Dobo di selatan Papua, maupun Pulau Seram di barat Papua.
Kepala BBKSDA Papua Barat Johny Santoso mengatakan bahwa pengawasan di wilayah pelabuhan memang memiliki banyak tantangan.
Salah satunya, kegiatan penyisiran kapal untuk mengecek keberadaan muatan satwa liar dibatasi oleh waktu kapal bersandar
“Tantangannya dengan durasi berlabuh yang tidak lama. Kalau kita menahan [kapal] terlalu lama, pasti penumpang akan keberatan,” katanya.
Selain itu, Johny mengatakan bahwa modus yang dilakukan oleh para penyelundup selalu berkembang.
Contohnya, belakangan muncul sistem penyelundupan boat to boat yang mengandalkan pemindahan muatan di tengah laut dari kapal besar menuju kapal kecil.
Dengan muslihat ini, muatan akan bebas dari risiko pengecekan oleh aparat di pelabuhan tujuan.
Itu baru pelabuhan, salah satu kluster pengawasan sirkulasi satwa oleh BBKSDA Papua Barat. Masih ada tiga kluster lain yang berada di bawah tanggung jawab mereka, yaitu kluster bandara, pergudangan, dan pulau-pulau kecil.
Seluruhnya memiliki tantangan masing-masing.
“Kalau bandara, alamatnya ayu tingting, alamat palsu. Pergudangan luas sekali. Kluster pulau kecil, ya, kita keterbatasan karena pulaunya banyak,” kata Johny.
Beragam Penanganan, Beragam Ancaman
Berbagai upaya telah dilakukan oleh BBKSDA Papua Barat untuk menekan jumlah penyelundupan satwa dilindungi. Johny mencontohkan, pihaknya telah memasang poster dan menaruh pengumuman di pelabuhan dan bandara.
“Sudah ada pengumuman [di kapal dan bandara], tidak hanya poster saja yang kami tempel,” kata Johny.
Selain itu, BBKSDA Papua juga menaruh petugas di Sorong dan Manokwari untuk pemantauan, posisi yang umumnya tidak ada di pelabuhan lain.
Hal ini, menurut Jhony, adalah cara institusinya merespons lalu lintas satwa ilegal yang tinggi.
Karena sumber daya yang tidak mungkin memadai untuk pengawasan wilayah yang sangat luas, Johny mengatakan pihaknya juga berusaha untuk menjalin koordinasi dengan badan pemangku kepentingan lain.
Untuk mengawasi peredaran di laut, misalnya, BBKSDA Papua Barat berkoordinasi dengan Kepolisian Laut dan Udara (Polairud).
Hal-hal di atas merupakan kegiatan yang bisa dilakukan untuk meredam upaya penyelundupan di sektor hilir, yaitu titik-titik angkut sebelum satwa datang ke pasar tujuan.
Namun, Johny mengatakan bahwa sektor hulu, lokasi penangkapan burung di alam liar, juga mesti diperhatikan.
Untuk menelisik kerentanan di bagian hulu, Garda Animalia membuat peta yang menunjukkan persebaran habitat 13 spesies burung liar, dilindungi maupun tidak, yang rutin diamankan dari upaya penyelundupan dari KM Gunung Dempo, KM Ciremai, dan KM Labobar.
Tampalan habitat 13 spesies di atas menunjukkan bahwa bagian dataran rendah di “kepala burung” Papua memiliki ragam spesies paling tinggi, dicirikan dengan warna merah yang pekat pada peta.
Hal serupa juga ditemukan di “punggung” Papua, yang jaraknya relatif dekat dengan pelabuhan-pelabuhan tempat ketiga kapal bersandar, yaitu Jayapura, Nabire, Wasior, dan Manokwari.
Selain itu, terlihat juga bahwa jumlah spesies burung yang dilindungi jauh lebih banyak daripada burung yang tidak dilindungi.
Memang, karena tampilannya yang elok, banyak spesies burung dilindungi jadi favorit para kolektor burung peliharaan.
Sebagai gambaran, data yang Garda Animalia kumpulkan menunjukkan ada lebih dari 15.000 ekor perkici dan nuri asal Papua yang diperdagangkan di Facebook sejak 2021 sampai 2023.
Di samping itu, ada lebih dari 8.000 ekor kakatua asal Papua yang diperdagangkan di Facebook sejak 2018 sampai 2023. Sebagian perdagangan ini mengandalkan kapal sebagai alat angkutnya.
Akibat angka perdagangan yang membludak ini, Johny mengatakan setidaknya ada tiga kerugian besar yang menimpa Indonesia.
Yang pertama adalah kerugian perekonomian negara, sebab keanekaragaman hayati termasuk dalam sumber daya alam yang perlu dikelola oleh negara.
Kedua, hilangnya peran ekosistem satwa. Sesuai dengan sudut pandang ilmu pengetahuan, seluruh spesies tanpa terkecuali memiliki perannya di habitat mereka masing-masing.
Jika spesies tersebut hilang, maka ada peran yang ditinggalkannya, dan kestabilan lingkungan bisa terganggu.
Ketiga dan tidak kalah penting, terhapusnya identitas masyarakat Papua yang sangat lekat dengan keanekaragaman hayati.
“Papua Barat Daya itu lambangnya cendrawasih botak. Kalau itu hilang, terus mau ganti lambang apa?” pungkas Johny.