Menjarah
Menjarah
Menjarah
Berita

Anti-Sains? TAKA Gugat Menteri LHK ke PTUN Jakarta

891
×

Anti-Sains? TAKA Gugat Menteri LHK ke PTUN Jakarta

Share this article
TAKA gugat Menteri LHK ke Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta. | Foto: Gilang/Betahita.id
TAKA gugat Menteri LHK ke Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta. | Foto: Gilang/Betahita.id

Gardaanimalia.com – Tim Advokasi Kebebasan Akademik (TAKA) lakukan gugatan terhadap Menteri LHK ke PTUN Jakarta, pada Rabu (7/6/2023).

SAFEnet dan YLBHI selaku penggugat mengambil langkah ini terkait kebijakan anti-sains oleh KLHK yang telah melanggar kebebasan akademik.

pariwara
usap untuk melanjutkan

Perlu diketahui, Menteri LHK terbitkan Surat Nomor S.1447/MENLHK-KSDAE/KKHSG/KSA.2 /9/2022 pada 14 September.

Surat KLHK nyatakan, temuan peneliti Erik Meijaard dan kawan-kawan sebagai temuan dengan indikasi negatif dan dapat mendiskreditkan pemerintah.

KLHK perintahkan kepala balai besar atau balai taman nasional, dan kepala serta BKSDA untuk tidak beri pelayanan kepada peneliti tersebut.

Pelayanan dalam hal ini adalah urusan perizinan dan persetujuan terkait kegiatan konservasi dalam kewenangan KLHK.

Keluarnya surat itu disebut oleh Abdil Mughis Mudhoffir yang mewakili TAKA sebagai keputusan dan perbuatan melawan hukum oleh penguasa.

Tindakan ini dikenal dengan istilah Onrechtmatige Overheidsdaad, dan itulah yang menjadi dasar gugatan, kata Abdil.

“Surat itu merespons artikel opini Erik Meijaard dan Julie Sherman pada 15 September lalu,” ucap Abdil usai konferensi pers, melansir dari Betahita id.

Sebelumnya, Erik Meijaard dan Julie Sherman sebelumnya menerbitkan artikel opini berjudul “Orangutan Conservation Needs Agreement on Data and Trends”.

Opini terkait penurunan populasi orangutan itu terbit di The Jakarta Post pada 15 September 2022.

Bersama para penggugat, TAKA berpandangan bahwa gugatan ini penting sebagai sarana koreksi kekuasaan pemerintah yang batasi kebebasan akademik warga negaranya.

Empat Alasan Gugatan

Abdil menjelaskan, secara umum ada empat alasan gugatan diajukan oleh TAKA. Pertama, Menteri LHK melanggar hukum secara prosedural, kewenangan dan substansial.

Mengenai hal ini, KLHK telah melampaui wewenang yang diatur Pasal 17 Ayat (2) Huruf b UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.

Kedua, surat KLHK bertentangan dengan AUPB. Asas yang dimaksud adalah kemanfaatan, kecermatan, tidak menyalahgunakan kewenangan, keterbukaan, serta kepentingan umum.

Menurut Abdil, membatasi ruang kebebasan akademik telah melanggar prinsip kelima Surabaya Principle of Academic Freedom (SPAF).

Prinsip kelima SPAF berbunyi, otoritas publik memiliki kewajiban untuk menghargai dan melindungi serta memastikan langkah-langkah untuk menjamin kebebasan akademik.

Perbedaan pemikiran seharusnya ditanggapi dengan diskusi, perdebatan dan upaya saling mengkritik dalam kerangka keilmuan, ujar Abdil, bukan menyerang pribadi karena tidak suka.

Argumentum ad hominem dalam SK tersebut, menghambat proses perkembangan keilmuan dan perlindungan terhadap orangutan secara optimal,” kata Abdil.

Ketiga, tindakan penerbitan surat itu telah menimbulkan dampak luas, kerugian dan masalah struktural lainnya.

SK bertentangan dengan prinsip independensi sains yang merupakan dasar pencarian kebenaran ilmiah yang objektif.

Terlebih, berpotensi menghalangi produksi pengetahuan yang bermanfaat bagi publik. Khususnya, dalam hal ini berkaitan dengan konservasi satwa terancam punah.

Terakhir, surat KLHK itu akibatkan efek ketakutan dan kekhawatiran yang semakin luas untuk kalangan peneliti. Di antaranya telah menghasilkan tindakan self censorship atau menyensor wacana sendiri yang dapat merugikan kepentingan sains.

Misalnya, beberapa peneliti lokal dan lembaga penelitian yang sebelumnya menjalin kerja sama dalam hal penelitian dengan Erik Meijaard telah membatalkan kerja samanya.

Ia menekankan, tujuan gugatan adalah meminta PTUN perintahkan Menteri LHK untuk cabut surat itu. Serta, mewajibkan Menteri LHK tak lakukan tindakan pemerintahan berupa penghalangan atau pembatasan hak publik.

“Dalam hal ini, ini bentuk kebijakan anti-sains yang membatasi kebebasan akademik yang melanggar hukum serta Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB),” tutup Abdil.

0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments