Gardaanimalia.com – Sangkar kera telah dibuka lebar-lebar. Para iblis lari tunggang langgang dari dalam.
Dalam dua kegiatan investigasi terpisah, BBC dan Narasi Newsroom mengungkap sindikat perdagangan video penyiksaan bayi monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) yang jejaringnya membentang ke hampir seluruh penjuru benua. Grup tersebut bernama Ape’s Cage, sangkar kera.
Grup ini dibentuk di Amerika Serikat dan beranggotakan ratusan orang dari berbagai latar belakang dan kewarganegaraan. Semuanya senang melihat bayi-bayi monyet ditarik ekornya lalu dilempar ke lumpur, ditenggelamkan dalam air, dilubangi kepalanya oleh mata bor.
Mereka mendapatkan video dari eksekutor yang mayoritas berdarah Indonesia. Satu video dengan durasi kurang dari 10 menit dihargai jutaan rupiah.
Saat ini, aparat penegak hukum AS sedang melakukan investigasi mendalam terhadap orang-orang yang terlibat di dalam grup tersebut.
Dalam liputan mereka masing-masing, BBC dan Narasi Newsroom juga mengungkap sosok eksekutor dari Indonesia yang menjadi penyuplai video bagi anggota Ape’s Cage.
Keberadaan kelompok penyiksa hewan berskala internasional yang bertumpu pada video buatan Indonesia menekan pemerintah negara untuk memikirkan kembali perlindungan hewan di negara ini.
Bukan hanya untuk satwa dilindungi yang berjumlah 787 spesies saja, tetapi ribuan spesies lainnya yang tinggal di penjuru Nusantara.
Namun, sebelum mengkaji seberapa kopong hukum perlindungan kesejahteraan hewan Indonesia, mari kita telaah dahulu dalang-dalang utama di balik Ape’s Cage dan bagaimana sindikat ini bekerja.
Cara Kerja Sangkar Kera
Pada hierarki tertinggi Ape’s Cage, duduklah Mr. Ape, sang Tuan Kera. Dia merupakan pendiri sekaligus pemimpin grup tersebut dan beberapa grup Telegram penyiksa monyet yang lain.
Di laptopnya menumpuk video penyiksaan bayi-bayi monyet yang jumlahnya tak terhitung lagi. Mr. Ape merupakan pemimpin yang awas. Dia secara rutin memantau grup dengan cermat, kalau-kalau ada penyusup dari armada pencinta satwa yang mereka benci.
Namun, bukan Mr. Ape yang paling keji. Predikat itu disematkan bagi Stacey Storey alias Sadistic Mind, seorang perempuan di tengah pedesaan Alabama yang tidak ragu memamerkan nafsu bengisnya.
Sadistic Mind mengusulkan satu bentuk video penyiksaan dengan cara memblender bayi monyet hingga mati. Sang perempuan berpikiran sadis ini juga selalu menekankan pentingnya pengawasan grup kepada Mr. Ape.
Ada juga si Raja Penyiksaan, Torture King. Nama aslinya Mike McCartney, mantan anggota Mongols Motorcycle Club yang ditakuti di seantero AS.
Di bawah mata kirinya terpatri sebuah tato pejal berbentuk air mata. Senada dengan istilah million tears–kata kunci andalan bagi para pencinta penyiksaan monyet ketika ingin mencari video-video tersebut. Torture King adalah distributor video kondang dalam grup Ape’s Cage.
Namun, para penjaja video penyiksaan monyet tidak langsung bersentuhan dengan darah. Mereka sekadar khidmat menonton dari layar saja. Yang berkotor tangan adalah para Video Operator atau VO. Mereka tinggal di seberang dunia, orang-orang Indonesia.
Salah satunya adalah M. Ajis Rasajana, pria muda asal Kabupaten Magelang. Dia adalah pemilik dari monyet bernama Mini, superstar di kalangan Ape’s Cage dan tokoh utama dalam penelusuran BBC.
Ajis mengaku dapat membeli sebuah mobil pribadi dari uang hasil menyiksa Mini dan kerabat-kerabatnya. Sudah lebih dari 20 ekor bayi monyet mati di tangannya. Ajis merupakan VO andalan Torture King.
Sayang, Sadistic Mind yang berotak sadis itu merasa video-video kiriman Ajis kurang ekstrem. Ada VO yang lebih diminatinya, eksekutor yang tidak ragu menyiarkan langsung pembunuhan brutal bayi-bayi monyet.
Dia seorang warga Tasikmalaya bernama Asep Yadi Nurul Hikmah. Asep merupakan dalang dibalik video blender bayi monyet usulan Sadistic Mind. Asep bekerja pada seseorang bernama Deni Novianto yang membayarnya Rp200-300 ribu per video.
Narasi Newsroom memberitakan, Deni bisa mendapatkan uang berkali-kali lipat dari Asep atau sekitar Rp1,5-2,5 juta setiap video.
Di lain berita, BBC mengungkapkan kalau Sadistic Mind membayar 200 AS dolar atau sekitar Rp3 juta per video, sama dengan estimasi uang yang diterima Deni. Ada penambahan nilai sampai 10 kali lipat antara uang yang diterima VO dengan uang yang dibayar para penjaja video di AS sana.
Selain Deni, lima tokoh di atas telah berhasil terlacak radar aparatur penegak hukum masing-masing negara. Ketiga warga negara AS terancam dikenai Preventing Animal Cruelty and Torture (PACT) Act, undang-undang baru milik Negeri Paman Sam yang mampu memberikan hukuman pidana bagi penyiksa satwa, baik bagi eksekutor lapangan maupun para distributor video.
Hukuman maksimal dari undang-undang ini adalah penjara tujuh tahun dan denda 250.000 dolar AS atau hampir setara dengan Rp4 miliar.
Namun, belum ada satu orang pun yang dijatuhkan hukuman pidana. Saat ini, kasus Ape’s Cage masih dalam tahap investigasi, di mana pihak penegak hukum AS telah memetakan lebih dari 20 orang lain yang berpotensi terlibat.
Sementara itu, Ajis dan Asep sudah dijatuhi hukuman penjara walaupun dengan ganjaran yang jauh lebih ringan ketimbang mitra mereka di AS.
Berdasarkan SIPP Mungkid, Kabupaten Magelang, Ajis dijatuhi 8 bulan penjara tanpa hukuman denda setelah terbukti melakukan tindak pidana penganiayaan hewan yang melanggar Pasal 91B ayat (1) UU Nomor 41 Tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan.
Hukuman ini lebih tinggi dari tuntutan jaksa yang hanya lima bulan kurungan. Namun, hakim memutuskan untuk mengeluarkan ultra petita, yaitu vonis yang lebih tinggi ketimbang tuntutan jaksa.
Selain itu, hukuman penjara yang diterima Ajis lebih tinggi ketimbang yang diatur dalam UU Nomor 41 Tahun 2014, yaitu maksimal penjara enam bulan. Saat ini, kasus masih berada pada tahap kasasi.
Beda lagi dengan Asep. Dia mendapatkan hukuman lebih berat, yaitu tiga tahun penjara dan denda Rp5 juta. Ternyata, yang menjadi bobot utama dalam hukuman Asep bukan tindakannya menganiaya satwa, melainkan aksi jual beli lutung jawa (Trachypithecus auratus) yang merupakan satwa dilindungi.
Dalam UU Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (KSDAHE), hukuman tertinggi bagi kegiatan jual beli satwa dilindungi adalah lima tahun penjara dan denda Rp50 juta.
Perlindungan Satwa atau Perlindungan Hewan?
Di Indonesia, setidaknya ada dua koridor hukum yang bisa ditempuh untuk memperjuangkan perlindungan suatu spesies.
Yang pertama adalah UU KSDAHE.
Undang-undang ini melarang siapa pun menangkap, melukai, membunuh, menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi.
Singkatnya, manusia praktis tidak boleh menyentuh satwa-satwa tersebut kecuali dalam kondisi khusus seperti riset dan program konservasi resmi.
Di lapangan, pengawasan terhadap undang-undang ini dilakukan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK). Undang-undang ini menggunakan istilah “satwa” untuk menyebut seluruh spesies binatang yang dilindunginya.
Namun, tidak semua satwa bisa mendapatkan privilese perlindungan tersebut. Suatu spesies harus melewati rangkaian administrasi untuk mendapatkan status emas “satwa yang dilindungi”. Barulah UU dapat diabdikan kepadanya.
Beberapa contoh satwa dilindungi yang terkenal adalah siamang (Symphalangus syndactylus), penyu hijau (Chelonia mydas), dan kakatua jambul kuning (Cacatua sulphurea).
Monyet ekor panjang tidak termasuk satwa dilindungi walaupun International Union for Conservation of Nature (IUCN) Red List sudah mengategorikannya sebagai spesies Genting (Endangered).
Satu-satunya otoritas keilmuan yang boleh memberikan pertimbangan ilmiah mengenai status perlindungan satwa adalah Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Sejauh ini, BRIN belum mengeluarkan pertimbangan bahwa monyet ekor panjang perlu dilindungi.
Maka, monyet ekor panjang harus menempuh jalan yang lebih abu-abu, yaitu lewat koridor perlindungan kesejahteraan hewan. Alih-alih mengacu pada jumlah populasi di alam dan luas habitat, peraturan ini bertumpu pada asas lima kebebasan hewan, yaitu:
- Bebas dari rasa lapar dan haus
- Bebas dari rasa tidak nyaman
- Bebas dari rasa sakit dan penyakit
- Bebas mengekspresikan perilaku normal
- Bebas dari rasa takut dan tertekan
UU Nomor 41 Tahun 2014 yang menjadi dasar penjatuhan hukuman Asep dan Ajis mengatur tentang masalah kesejahteraan hewan. Berbeda dengan UU KSDAHE, aturan kesejahteraan hewan dalam undang-undang ini tidak mengenal eksklusivitas spesies.
Seluruh hewan, baik liar maupun domestik masuk sebagai objek hukumnya. Yang mengurus praktik lapangannya pun bukan lagi Kementerian LHK, melainkan Kementerian Pertanian.
Perbedaan lainnya, undang-undang ini menggunakan istilah “hewan” untuk menyebut seluruh sumber daya hewani yang dimaksud. Namun, undang-undang ini tidak khusus berbicara tentang kesejahteraan hewan, melainkan kesehatan hewan secara umum.
Masalah penyiksaan hewan seperti yang dialami bayi monyet Mini dan kerabatnya hanya diatur pada satu segmen tipis undang-undang, yaitu pada Pasal 66A ayat (1) dan (2) yang berbunyi:
- Setiap orang dilarang menganiaya dan/atau menyalahgunakan hewan yang mengakibatkan cacat dan/atau tidak produktif.
- Setiap orang yang mengetahui adanya perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib melaporkan kepada pihak yang berwenang.
Hukuman maksimum bagi yang melanggar ayat (1) adalah kurungan enam bulan dan denda Rp5 juta. Sementara yang melanggar ayat (2) adalah kurungan tiga bulan dan denda Rp3 juta.
Hukuman itu dijabarkan dalam Pasal 91B ayat (1) dan (2) pada undang-undang yang sama. Akan tetapi, hukuman tidak proporsional dengan keuntungan yang dapat diraup oleh seorang VO atau distributor video penyiksaan bayi monyet.
Tengok kembali uang yang didapatkan Deni Novianto, yaitu Rp1,5 juta per video. Data perkara mencatat, Asep setidaknya membuat 14 video penyiksaan. Jika Deni mendapatkan keuntungan dari semua video tersebut, dirinya sudah mendapatkan Rp21 juta.
Anggaplah Deni tertangkap dan dikenakan hukuman maksimum, yaitu denda Rp5 juta dan menginap di penjara selama enam bulan, dia masih untung Rp16 juta.
Selebihnya, tidak ada lagi aturan lain yang membahas isu penyiksaan hewan yang dapat menambah beban hukuman pada oknum-oknum seperti Deni.
Padahal, Social Media Animal Cruelty Coalition (SMACC) Report 2021 menunjukkan bahwa Indonesia merupakan penyumbang terbesar video penyiksaan hewan, dengan jumlah 1.626 konten. Angka ini sepadan dengan 29,67 persen dari seluruh video penyiksaan hewan pada 2021.
Angka milik Indonesia berada jauh di atas negara lainnya. Bahkan, jika kita tambahkan seluruh kasus video penyiksaan hewan dari negara peringkat (Amerika Serikat) kedua sampai kesepuluh (Britania Raya), jumlahnya hanya 796 kasus atau 14,52 persen.
Ini berarti, total gabungan kasus dari sembilan negara di bawah peringkat Indonesia tersebut tidak mencapai setengah kasus Indonesia.
Jumlah angka yang melonjak tinggi ini selaras dengan kekuatan hukum Indonesia yang sangat rendah untuk melindungi hewan dari tindak kekerasan.
Indeks Perlindungan Hewan Indonesia: Jelek Saja Belum
World Animal Protection–organisasi nirlaba internasional yang bergerak di advokasi kesejahteraan hewan–memberikan indeks rata-rata E bagi Indonesia pada 2020. Indeks ini turun dari D pada 2014.
Sementara itu, AS yang menjadi konsumen utama video penyiksaan bayi-bayi monyet Indonesia mendapatkan indeks rata-rata D pada 2020.
Indeks rata-rata ini dirincikan dalam beberapa indikator, mulai dari kekuatan perangkat aturan hingga keseriusan pemerintah dalam implementasi aturan tersebut.
Salah satu indikator terburuk yang diraih Indonesia adalah “keberadaan aturan untuk hewan yang digunakan untuk bekerja dan rekreasi” yang meliputi hewan-hewan untuk hiburan seperti sirkus, olahraga, dan tentunya video-video penyiksaan. Indonesia mendapatkan indeks G untuk indikator ini. Jika nilai F adalah nilai yang jelek, maka nilai G berarti jelek saja belum.
World Animal Protection mencatat, “… [undang-undang di Indonesia] tidak secara langsung mengomunikasikan tantangan kesejahteraan yang spesifik bagi hewan-hewan ini. Tidak teramati adanya peraturan tambahan, diskusi, maupun tanda adanya kemajuan untuk hewan yang digunakan untuk bekerja (draught) dan rekreasi”.
Sementara itu, AS sudah memiliki berbagai aturan berskala federal yang fokus pada kekerasan hewan. Semisal saja PACT Act yang telah disinggung di atas.
Contoh lainnya adalah The Animal Welfare Act yang melarang sabung ayam, anjing, maupun hewan lainnya. Berbagai kota di 35 negara bagian AS (sepadan dengan provinsi) telah melarang pertunjukan sirkus yang menggunakan hewan sebagai properti.
Meskipun begitu, masih banyak ketidaksinambungan aturan antara satu negara bagian dengan yang lainnya. Aksi kekerasan terhadap hewan bisa jadi merupakan tindakan ilegal di satu negara bagian, tetapi legal di negara bagian lain. Karena itu, AS hanya mendapatkan indeks D. Kecil, tetapi jauh di atas indeks G.
Menyediakan perlindungan hewan dari objek rekreasi memang tantangan sulit, bahkan untuk negara-negara dengan instrumen perlindungan hewan terbaik. Sebutlah Swiss, satu dari segelintir negara yang berhasil meraih indeks rata-rata B (belum ada negara yang mendapatkan indeks rata-rata A).
Swiss memiliki dua peraturan utama, yaitu Animal Welfare Act (2005) dan Animal Welfare Ordinance (2020). Di dalamnya, terdapat larangan tegas menggunakan hewan sebagai objek pameran, kompetisi, ajang olahraga, dan produksi foto maupun video jika kegiatan tersebut membahayakan atau melukai hewan.
Bahkan, Swiss memiliki peraturan yang melarang praktik memancing (angling) jika ikan yang didapatkan akhirnya dilepaskan kembali. Penggunaan ikan hidup sebagai umpan pun tidak diperbolehkan.
Di lain sisi, Swiss masih memperbolehkan keberadaan organisasi yang berpotensi menyiksa hewan seperti sirkus. Maka Swiss hanya meraih indeks C untuk indikator tersebut.
Namun, lagi-lagi, indeks ini jauh di atas indeks G dalam rapor milik Indonesia.
Usaha Merincikan Hukum Perlindungan Hewan Indonesia
Adakah harapan bagi kesejahteraan hewan di Indonesia?
UU Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) mengganjar hukuman maksimum yang lebih tinggi bagi pelaku penganiayaan hewan ketimbang UU Nomor 41 Tahun 2014.
Dalam KUHP, pihak yang menganiaya hewan dapat dikenakan hukuman penjara maksimum satu tahun dan denda maksimum kategori II, yaitu Rp10 juta.
Jika penganiayaan berdampak pada hewan sakit lebih dari satu minggu, cacat, luka berat, atau mati, pelaku dapat dikenakan hukuman penjara maksimum satu tahun enam bulan dan denda maksimum kategori III, yaitu Rp50 juta.
Hukuman ini merupakan lompatan signifikan dari hukuman pada UU Nomor 41 Tahun 2014 yang hanya mengganjar maksimum enam bulan dan denda maksimum Rp5 juta pada pelaku penganiayaan hewan.
Meskipun begitu, KUHP belum menjawab kritik World Animal Protection yang menyatakan bahwa aturan perlindungan hewan di Indonesia masih terlalu umum.
Tindak penganiayaan hewan yang diatur KUHP masih berfokus pada si penganiaya saja. Asep, misalnya, adalah pihak dengan kasta terendah dalam jejaring kartel video penyiksaan bayi monyet Ape’s Cage.
Asep dapat diganjar hukuman pidana karena secara eksplisit menyiksa bayi-bayi monyet. Namun, apakah Deni yang memberi pekerjaan kepada Asep dapat diganjar oleh hukuman yang sama?
Apakah bahkan adil menghukum Deni dengan pasal yang sama, sedangkan dirinya memiliki peran dan mendapatkan keuntungan yang jauh lebih tinggi ketimbang Asep?
Lalu, apa tanggung jawab yang dapat pemerintah tuntut kepada para pengelola situs seperti Telegram, YouTube, dan TikTok yang tidak jarang meloloskan video penyiksaan hewan? Apalagi mengingat Indonesia merupakan juara diseminasi video-video tersebut.
Liputan Narasi Newsroom dan BBC telah menunjukkan bahwa penyiksaan hewan bukan sekadar kejahatan individu, tetapi aksi terorganisasi dengan sindikat yang melampaui batas-batas negara.
Maka, perundang-undangan yang mengaturnya pun mesti mendefinisikan hukuman pidana yang spesifik bagi pihak-pihak yang berpotensi terlibat dalam kejahatan tersebut.