Menjarah
Menjarah
Menjarah
Berita

RUU KSDAHE: Tak Boleh Hanya Sekadar Revisi

1691
×

RUU KSDAHE: Tak Boleh Hanya Sekadar Revisi

Share this article
Iustrasi kawasan hutan yang kini semakin menghilang dan digantikan dengan pembangunan-pembangunan atau pembukaan lahan yang tidak ramah terhadap alam dan keberlangsungan hidup fauna dan flora di Indonesia. | Sumber: Istimewa
Iustrasi kawasan hutan yang kini semakin menghilang dan digantikan dengan pembangunan-pembangunan atau pembukaan lahan yang tidak ramah terhadap alam dan keberlangsungan hidup fauna dan flora di Indonesia. | Sumber: Istimewa

Gardaanimalia.com – Koalisi Masyarakat Sipil untuk Paradigma Baru Konservasi mendesak KLHK dan DPR RI agar tidak sekadar merevisi UU 5/1990 tentang KSDAHE. Akan tetapi, RUU KSDAHE yang saat ini sedang dibahas oleh Komisi IV DPR RI, KLHK, dan Komite II DPD RI harus ditempatkan sebagai titik pijak perubahan transformatif dalam penyelenggaraan dan paradigma konservasi yang inklusif di negeri ini.

Perubahan transformatif dan pendekatan inklusif ini sangat penting mengingat UU 5/1990 yang dibuat 33 tahun lalu sudah tidak relevan dengan tantangan-tantangan konservasi sumber daya alam dan hayati di Indonesia masa kini dan mendatang. UU sekarang juga belum cukup mendukung pelibatan dan perlindungan masyarakat dalam upaya konservasi sumber daya alam di mana hal itu sangat dibutuhkan.

RUU KSDAHE Harus Mencerminkan Dimensi Holistik dan Interdisipliner

Juru Kampanye WGII Asti Noor mengatakan, “Perlu ada pergeseran paradigma konservasi berbasis hak dalam tata kelola konservasi di Indonesia untuk menjawab kompleksitas konflik urusan konservasi yang selama ini terjadi. RUU KSDAHE seharusnya dapat mencerminkan dimensi yang holistik dan interdisipliner, terutama aspek perlindungan, pengakuan hak dan partisipasi masyarakat adat dan komunitas lokal, yang sampai hari ini belum terlihat nyata dalam draft RUU KSDAHE, bahkan beberapa aspek terkait ini telah dihapus dalam DIM RUU KSDAHE versi Juli 2023”.

Konflik antara masyarakat dengan pengelola kawasan, bahkan konflik manusia dan satwa, serta degradasi lingkungan dan ekosistem yang semakin tinggi telah menunjukkan indikasi ketidakmaksimalan implementasi kebijakan di bidang konservasi, dan telah menjadi perhatian bersama di level global.

Hal ini direspons secara masif dalam pertemuan Conference of the Parties on Convention of Biological Diversity (COP-15 CBD), di mana Indonesia merupakan salah satu (parties) yang menyepakati konvensi ini. “RUU KSDAHE seyogianya bisa mencerminkan target penting dalam Kunming Montreal Global Biodiversity Framework (KM-GBF). Tercatat 7 dari 23 target KM-GBF yang ditetapkan memasukkan unsur masyarakat adat dan lokal dalam pemanfaatan berkelanjutan, perlindungan pengetahuan tradisional, partisipasi, pembagian manfaat yang adil, dan FPIC (Free, Prior, Informed Consent). Masyarakat Adat dan Komunitas Lokal tidak boleh lagi ditempatkan sebagai objek konservasi. Namun, harus diakui sebagai subjek atau pelaku konservasi itu sendiri, sebagaimana fakta lapangan yang ada. Hal ini sesuai mandat COP-15 on CBD menuju Visi 2050 Living in Harmony with Nature,” tambah Cindy Julianty, Program Manager WGII.

Kawasan konservasi di Indonesia saat ini memiliki luas 26,89 juta hektare (KSDA, 2022). Nilai ini setara 47,1 persen dari total target GBF Post 2020. Melansir data keybiodiversityareas, Indonesia memiliki 494 area atau setara 3.3672.800 hektare yang kaya dengan keanekaragaman hayati, tetapi lebih dari 50 persen area berada di luar kawasan konservasi. Kondisi ini menyebabkan potensi kehilangan keanekaragaman hayati di luar kawasan konservasi menjadi semakin tinggi.

Menagih Mandat Konservasi dalam RUU KSDAHE

Manajer Kampanye dan Intervensi Kebijakan FWI Anggi Putra Prayoga menambahkan, jika berkaca pada potret kerusakan sumber daya alam dan ekosistemnya, termasuk ekosistem mangrove, ekosistem karst, ekosistem gambut, dan ekosistem wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil nilainya mencapai 10,12 juta hektare dalam bentuk deforestasi hutan alam.

“Mandat konservasi sebagaimana yang tertuang di dalam UU 5/1990 masih konvensional dengan memaknai upaya konservasi berdasarkan pembagian kawasan, bukan berdasarkan fungsinya. Kami menilai kerusakan sumber daya alam yang terjadi di luar kawasan konservasi mencapai 90% dan itu selalu dinilai wajar untuk dirusak. Padahal terdapat 76 juta hektare areal penting untuk dikonservasi yang saat ini berada di luar status Kawasan Konservasi (Kawasan Ekosistem Esensial). Termasuk ekosistem mangrove, gambut, karst, areal bernilai konservasi tinggi, koridor satwa, dan taman keanekaragaman hayati yang terancam hilang. Pendekatan pada UU 5/1990 juga keliru karena masih menyamakan pengelolaan pulau-pulau kecil dengan pulau besar dan pulau utamanya, dan ini bias,” tekannya.

Menurut Manajer Program Kehati Burhan Jayadattry, “Darurat krisis keanekaragaman hayati, krisis perubahan iklim, dan pandemi baru-baru ini membutuhkan tindakan tegas, serta komitmen bersama khususnya pemerintah untuk mengubah cara pandangnya terhadap perlindungan keanekaragaman hayati. RUU KSDAHE seharusnya mampu mengisi kekosongan mandat untuk upaya konservasi di luar kawasan dengan berbagai tatanan lanskap”.

Menanti Keterbukaan Informasi DPR RI

Sementara, dari sisi perlindungan satwa liar di Indonesia, Satriya Putra selaku Koordinator Hukum Garda Animalia menyebut, bahwa yang menjadi sorotan penting pada pembaharuan UU 5/1990 adalah ketentuan pidana dan penegakan hukum di bidang konservasi.

“Dalam draft RUU KSDAHE yang terakhir kami terima, isinya tampak telah memberikan penguatan dengan menyesuaikan ketentuan-ketentuan hukum pidana yang ada saat ini. Hal tersebut dapat dilihat dari diadakannya frasa untuk membuat efek jera, penambahan alat bukti, perluasan wewenang PPNS, menjadikan korporasi sebagai subjek hukum yang dapat dipidana, dan lain sebagainya,” ujar Satriya.

Kemudian, Koalisi Masyarakat Sipil juga mendesak keterbukaan informasi terkait pembahasan RUU KSDAHE. Proses penyusunan RUU KSDAHE sampai sejauh ini dinilai tertutup sehingga kita tidak tahu, apakah RUU KSDAHE yang akan disahkan tersebut telah mengakomodir semua masukan para pihak atau belum.

“Rapat pembahasan RUU KSDAHE yang dilakukan secara tertutup oleh Panitia Kerja (Panja) jelas mencederai semangat demokrasi. Panja telah menutup peluang keterbukaan dan keterlibatan publik dalam pembahasan RUU ini. Rangkaian proses sebelumnya, di mana publik masih dilibatkan oleh legislatif rupanya dimaknai sebagai partisipasi sekadarnya. Risalah, Catatan Rapat, dan Laporan Singkat mengenai kondisi DIM terakhir seharusnya dibuka ke publik dan mudah diakses,” tandas Satriya.

 

Press release Koalisi Masyarakat Sipil untuk Paradigma Baru Konservasi

Jakarta, 8 Oktober 2023

 

0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments