Menjarah
Menjarah
Menjarah
Investigasi

Jejak Tentara Penyelundup Paruh Bengkok di Maluku Utara

2851
×

Jejak Tentara Penyelundup Paruh Bengkok di Maluku Utara

Share this article
Kakatua putih hasil sitaan Polair Maluku Utara dalam kandang karantina BKSDA Maluku di Ternate. | Foto: Grace Ellen/Burung Indonesia
Kakatua putih hasil sitaan Polair Maluku Utara dalam kandang karantina BKSDA Maluku di Ternate. | Foto: Grace Ellen/Burung Indonesia

Gardaanimalia.com – Empat kasturi ternate (Lorius garrulus) bersusah payah mengepak sayap ingin terbang. Sia-sia. Ia berada dalam kandang seukuran dua jengkal. Patuk si paruh bengkok tak bisa merobek kandang yang terbuat dari rotan itu.

Satwa dilindungi ini berada di belakang rumah seorang pemburu, Amir, bukan nama sebenarnya. Warga Pulau Morotai, Maluku Utara ini belum genap seminggu bersama mertuanya menangkap burung dari hutan.

pariwara
usap untuk melanjutkan

Awal Juni lalu, kami datang ke rumah Amir.

“Ini baru ambil (tangkap) kemarin. Mau beli berapa ekor?” tanya Amir. Dia sibuk menurunkan kandang ke lantai.

Amir juga menunjuk tiga kasturi ternate yang bertengker di sangkar rotan. Tiga burung ini sudah jinak dan biasa jadi umpan saat berburu.

Sebelumnya, ada 12 burung, tetapi empat sudah diambil pengepul dan satu dibeli tetangga. Tersisa tujuh, empat baru dia tangkap.

Ketika menjerat satwa ini, dia biasa pakai getah dari pohon sukun (Artocarpus altitis) atau biasa disebut pohon amo. Getah diambil, lalu masak di panci seperti adonan agar rekatan kuat.

Pria memasuki usia 30 tahun ini sudah hampir dua dasawarsa memburu paruh bengkok di hutan. Sejak kecil, ayahnya sering bawa dia berburu, jelajahi hutan berhari-hari. Mata pencarian dia dari berburu.

Bagi Amir, menjerat kasturi ternate bukan perkara mudah. Untuk dapatkan burung banyak, perlu waktu lama, sekitar dua minggu dan biaya tak sedikit.

Habitat jenis burung berparuh orange ini cukup jauh. Jarak dari perkampungan bisa lebih dua hari perjalanan masuk hutan dengan berjalan kaki atau sekitar 25 kilometer. Saking jauh masuk ke hutan yang berada di dataran tinggi, dia bisa melihat Daruba, ibukota Pulau Morotai, dari atas.

“Kalu bajalang jao harus dua orang,” kata Amir. “Paling lama 13 hari baru kaluar kalu len jao tu (kalau jalan jauh)”.

Kasturi Ternate hasil penangkapan ilegal di wilayah Desa Togawa, Halmahera Utara. | Foto: Burung Indonesia
Kasturi Ternate hasil penangkapan ilegal di wilayah Desa Togawa, Halmahera Utara. | Foto: Burung Indonesia

Amir bilang, kalau dua minggu lebih ongkos dua orang bisa habiskan beras 12 liter dan lebih 10 bungkus rokok di hutan. Secara matematis, kalau diuangkan, sekitar Rp350.000 lebih dalam satu kali berburu.

Ongkos itu tak sepadan dengan harga satu burung. Amir menjual satu kasturi Ternate Rp120.000. Kalau nuri bayan maluku (Eclectus roratus) Rp150.000, nuri kalung-ungu (Eos squamata) lebih murah, Rp20.000-Rp50.000.

“Beda harga lagi kalau jual di tentara, Rp130.000 satu kasturi ternate dan nuri bayan maluku Rp200.000”.

Dia mengaku, ada permintaan dari tentara jadi turun berburu.

Perkara oknum tentara membeli burung sudah jadi rahasia umum. Sebagian besar motif sekadar pelihara. Di Pulau Morotai, kami melihat kasturi ternate terpajang di depan, samping atau belakang pos-pos dan perumahan tentara.

Menurut Amir, di antara tentara itu, ada juga yang diduga berbisnis satwa dilindungi ini. Dugaan Amir ini karena ada oknum tentara yang memesan dalam jumlah banyak dan berkali-kali.

Tentara itu juga memesan burung dari jaringan penangkap di desa-desa di Morotai. Mereka gunakan warga lokal sebagai perantara dalam bisnis ilegal ini.

“Dong beli tu pokoknya se Morotai, tentara tu,” katanya.

Amir mengangkat bahu saat kami bertanya siapa nama tentara yang beli burung dalam jumlah banyak. Namun dia memberi petunjuk kampung pengepul yang dimodali oknum tentara itu. Jarak tidak jauh dari rumah Amir.

Burung yang disekap di dalam kandang dan ditutupi terpal. Pemburu baru menangkap, belum diambil calon pembeli. | Foto: Tim Kolaborasi
Burung yang disekap di dalam kandang dan ditutupi terpal. Pemburu baru menangkap, belum diambil calon pembeli. | Foto: Tim Kolaborasi

Pemburu lain, Kun, bukan nama sebenarnya. Dia tinggal di Halmahera Utara. Perlu sehari, menyeberangi laut, membelah hutan, mengendarai sepeda motor berjam-jam dari kampung Amir untuk bertemu Kun.

Tidak sulit mencari orang ini. Di daerahnya, nama Kun cukup populer sebagai pemburu satwa dilindungi. Saat kami bertanya kepada warga sekitar siapa yang sering menangkap burung, namanya disebutkan dengan beberapa nama pemburu lain.

Langkah kaki Kun perlahan menyusuri sisi kiri rumahnya. Perlahan dia membuka sedikit terpal berwana biru. Seketika riuh kicau burung terdengar.

Dalam kandang kawat berukuran hampir satu meter di balik terpal itu ternyata ada enam nuri bayan Maluku tersekap.

Kun tinggal di desa pedalaman. Akhir Juni lalu, saat kami ke sana, dia baru pulang dari ibadah di gereja, masih necis dengan setelan jas dan sepatu.

Sudah puluhan tahun Kun berburu. Dia sendirian berburu dan bisa bertahan hidup lebih seminggu, dua minggu, bahkan sebulan di hutan belantara.

“Torang hidup dari kacil so biasa di hutan jadi tara tako (hidup dari kecil terbiasa di hutan jadi tidak takut),” kata Kun.

Berburu jadi salah satu pemasukan tambahan Kun selain berkebun. Berburu satwa mesti punya perhitungan matang. Ongkos yang dia keluarkan dan tenaga terkuras selama berburu harus sepadan dengan harga burung yang dibeli pengepul.

Dia menjual satu burung dengan harga tiga kali lipat dari yang dijual Amir di Pulau Morotai. Kasturi ternate Rp450.000, kakatua putih Rp800.000, dan nuri bayan maluku antara Rp400.000-Rp550.000.

“Kalau dari sini (rumahnya), pigi satu hari tara sampe, [harus] bermalam di tengah jalan. Maka mahal karena itu”.

Kun tipe pemburu yang biasa menyelundupkan satwa dilindungi ke luar daerah. Satu tahun lalu, dia pernah menyelundupkan 12 kasturi ternate lewat Pelabuhan Tobelo, Halmahera Utara ke Manado, Sulawesi Utara, dengan kapal Pelni.

Hutan belantara Halmahera, rumah beragam jenis paruh bengkok. | Foto: Mahmud Ichi/ Mongabay Indonesia
Hutan belantara Halmahera, rumah beragam jenis paruh bengkok. | Foto: Mahmud Ichi/ Mongabay Indonesia

Dia blak-blakan cerita bagaimana taktik menyelundupkan satwa dilindungi ke luar daerah. Caranya, ketika beranjak dari rumah, burung-burung itu dimasukkan terlebih dahulu ke botol mineral ukuran sedang yang sudah dia potong bagian bawah tak sampai terpisah agar bisa direkatkan lagi dengan lakban supaya lebih rapat.

Kalau sudah di kapal, juga disiapkan karung bekas. Dia contohkan, kalau membawa lima burung, harus ada lima karung bekas. Karung bekas itu diberi lubang-lubang kecil dengan api rokok.

“Terus bawa dia pe makanan biar cuman satu sika (pisang). Asal sampe tujuan,” katanya.

Bagaimana ketika turun dari kapal? Burung-burung yang sebelumnya dalam karung bekas itu dikeluarkan dan masukkan kembali dalam botol mineral. Sampai di mobil, burung di botol itu dibuka lagi dan masukkan ke karung.

“So bajalang dulu baru lapas (isi dalam karung). Itu aman-aman,” katanya.

Sejak beberapa tahun belakangan, pergerakan sudah diawasi petugas polisi kehutanan di Halmahera Utara. Bila nanti kedapatan berburu dan berdagang burung, maka jeruji mungkin akan jadi persinggahan Kun selanjutnya.

“Yang lalu dong (petugas) datang disini kase peringatan terakhir, langsung dokumentasi dan bikin surat pernyataan,” katanya.

Meski begitu, Kun tidak kapok. Dia masih memburu burung dilindungi di hutan. Enam paruh bengkok yang tersekap dalam kandang bahkan baru dia tangkap dan bawa pulang sehari sebelumnya. Paruh-paruh bengkok itu dia sebut pesanan seorang tentara bernama Syaiful.

“Mungkin kenal kapa, Pak Syaiful?” kata Kun. Kami geleng kepala.

Kami periksa dari nomor kontak dan menelusuri di media sosial. Ternyata, ada dua orang yang berbeda bernama hampir sama, Syaiful dan Saiful. Keduanya, sama-sama dikenal pemburu dan pengepul sebagai pembeli paruh bengkok, sama-sama tentara, hanya beda kesatuan.

Bermuara ke Tentara

“Tangkap (burung) ini dia (Syaiful) yang suru,” kata Kun. “Cuman kita beberapa kali telepon, dia (bilang nanti) datang sekaligus bayar”.

Wajahnya mulai memerah. Dia kelihatan geram karena Syaiful tak kunjung datang bayar satwa pesanannya.

Dia berpendapat, kalau satwa itu dibiarkan berlama-lama dia akan keluarkan ongkos lebih setiap hari untuk memberi burung-burung itu makanan. Sisi lain, dia pula yang kena getah apabila petugas datang.

Kun memberi tahu kalau Syaiful adalah anggota TNI Angkatan Darat (AD). Relasinya dengan Syaiful baru berjalan sejak tahun lalu ketika Syaiful masih bertugas di Tobelo, Halmahera Utara.

Tentara itu, kata Kun, kini pindah di Jailolo, Halmahera Barat, dan menetap di sana. Kalau ada transaksi dengan pemburu termasuk Kun, Syaiful langsung datang ke rumah mereka.

Dia tahu Syaiful pedagang satwa dilindungi. Dari ceritanya, relasi Syaiful dengan penangkap cukup luas. Dari Jailolo di Halmahera Barat, Galela dan Tobelo di Halmahera Utara, Halmahera Timur, hingga tembus di Pulau Morotai. Di mana daerah-daerah ini termasuk penting sebagai titik penangkapan satwa liar.

Dari Kun, kami mendapat nomor telepon Syaiful. Nomor ini kemudian kami periksa dan verifikasi identitasnya di beberapa platfrom media sosial.

Tiga hari setelah bertemu Kun, kami coba menghubungi bintara sersan satu itu lewat pesan WhatsApp pada 29 Juni lalu. Kami seolah memesan burung untuk dikirim ke Makassar. Dia respon dengan santai tanpa sedikitpun curiga.

“Di sini belum cek kakatua putih sekitar lima ekor, nuri yang banyak,” kata Syaiful. Belakangan burung-burung ini sudah diambil langganannya.

Saat membalas pesan ini, dia berada di Kota Ternate. Burung yang dia maksud ada di rumahnya di Jailolo.

“Mo ambil (pesan) berapa banyak kong?” tanya Syaiful.

Dia bilang, biasa kalau di Sabtu dan Minggu, pasokan burung banyak masuk kiriman dari pemburu. Para pemburu biasa sudah ambil uang muka sebagai tanda jadi.

Singkatnya, kami janjian ketemu di Jalan Kelapa Pendek, Mangga Dua, Ternate Selatan, Kota Ternate, 2 Juli. Dia mengirim titik lokasi tempat tinggalnya yang bersebelahan dengan tempat cuci motor. Setelah kami periksa, di sini adalah perumahan tentara.

“Kamari sudah bos tong baku dapa biar lebih jelas. Karena di Jailolo so ada kapal mo sandar, itu tujuan Surabaya, nanti sampe Surabaya tiga hari baru ke Makassar,” kata Syaiful. Kapal yang dia maksud adalah Tol Laut KM Logistik Nusantara yang rute Tanjung Perak–Makassar–Jailolo–Morotai–Galela–Tanjung Perak, Surabaya.

Satwa pesanan dari pembeli di Makassar, Sulawesi Selatan, dan Surabaya, Jawa Timur, dia kirim lewat kapal ini. Baik lewat pelabuhan laut di Jailolo maupun dia bawa ke Galela, sebagai jalur transit terakhir beberapa kapal Lognus rute Surabaya–Makassar.

“Tunggu (kapal) so di Galela baru kasi naik burung karena pelabuhan terakhir di Galela,” katanya melalui pesan singkat, 7 Juni lalu.

Dia menjual burung ke luar daerah termasuk menawarkan kepada kami dengan rincian, kakatua putih Rp1,2 juta per ekor, nuri bayan maluku sepasang Rp1 juta dan kasturi ternate Rp350.000, nuri kalung-ungu Rp150.000 per ekor.

Harga ini deal, terima bersih dia bawa burung dan naikkan ke kapal. Karena risikonya besar maka naikkan burung-burung ini pada malam hari. “Risikonya besar, masalahnya, mo naikkan malam”.

Kami bertanya apakah ada orang atau jejaringnya di tempat tujuan yang ambil burung dari kapal? Dia buka tangan. Transaksi berakhir ketika burung dia angkut ke kapal. Soal ongkos kirim, jadi tanggung jawab pembeli.

“Biasanya itu tong cuma antar di kapal, habis dari itu semua nanti baku atur deng orang kapal saja. Nanti dong yang amankan samua, karena dorang itu so dibayar perekor berapa,” katanya.

Sehari setelah Idul Adha di Ternate, kami berangkat ke Jailolo, guna memastikan Kapal Lognus di Pelabuhan Mutui di Jailolo, di tengah hujan lebat dan angin kencang landa Maluku Utara. Dari informasi, kapal itu sudah berangkat ke Morotai. Kami juga menghubungi Syaiful, sekadar cari tahu apakah dia sudah mendapatkan burung pesanan kami.

“Di desa dong so telepon ada (burung), cuman hujan lagi ni. Kalo tra hujan, kita balucur ini sekarang mo ambe memang biar bale ikut Sidangoli,” kata Syaiful.

Di Sidangoli, ada pelabuhan penyebrangan feri ke Ternate. Mungkin maksud dia, biar dia bawa pesanan kami ke Ternate saja.

Pada awal Agustus, Syaiful menawarkan dua nuri kalung-ungu dan nuri kepala hitam (Lorius lory), endemik asli Papua, saat kami hubungi dia lagi.

Untuk menyakinkan kami, dia kirim video enam burung yang tersekap di kandang di rumah mertuanya di Jailolo. Juga rekaman video jenis kasturi ternate di kandang besar secara terpisah di lokasi sama.

Dia berharap, kami bayar dua nuri kalung-ungu lewat rekeningnya sekadar harga rokok. Biar burung ambil belakangan.

“Ambe yang jinak itu yang ada rante, itu anak samua so bisa pegang-pegang,” kata Syaiful, meyakinkan.

Dia lantas memberi petunjuk detail dari tangkapan layar google maps, ada garasi burung bersebelahan dengan rumah mertuanya, di Jailolo. Kalau dilihat dari citra satelit, ukuran garasi itu bisa seluas 3×4 meter persegi.

Kami menduga, burung-burung yang biasa diantar pemburu maupun yang dia ambil sendiri dari pemburu ditampung di tempat yang dia sebut “garasi burung” di Jailolo ini.

Dari garasi burung ini, satwa endemik Maluku Utara diselundupkan ke Sulawesi dan Pulau Jawa.

Kami menanyakan kepada Syaiful, soal keterlibatannya dalam perdagangan ilegal satwa dilindungi. Dengan terbata-bata dia membantahnya.

“Kalau saya tidak pernah beli. Kalau saya tidak pernah beli barang,” kata Syaiful, saat tim kolaborasi menghubunginya lewat sambungan telepon akhir Agustus lalu.

Syaiful mengakui, kalau ada orang dari Surabaya pernah tanya burung padanya, terutama jenis nuri bayan maluku dan kasturi ternate.

Dia malah cerita seolah-olah jadi informan pihak Kehutanan dan sering melaporkan temuan ada perdagangan satwa ilegal di daerah Oba, Tidore Kepulauan. Dari konfirmasi itu, dia bahkan berkata kalau sudah akrab dengan petugas Kehutanan di Tobelo, Halmahera Utara, sewaktu tugas di sana. Namun, seorang petugas di Halmahera Utara mengatakan tak mengenal Syaiful.

Burung paruh bengkok yang dipelihara di Maluku Utara. | Foto: Tim Kolaborasi
Burung paruh bengkok yang dipelihara di Maluku Utara. | Foto: Tim Kolaborasi

Dari Pengepul

Suara burung bersahut-sahutan. Mereka terkurung di dua kandang dari kayu dan kawat. Ada enam kasturi ternate (Lorius garrulus) dan tiga nuri bayan maluku (Eclectus roratus). Satu lagi nuri kalung ungu (Eos squamata) tergantung di sangkar kecil. Burung-burung ini berada di dapur rumah seorang penampung di Pulau Morotai, Maluku Utara.

Pada 9 Juni lalu, jelang malam, kami kunjungi ke rumah penampung itu, sebut saja, Abdul—bukan nama sebenarnya– setelah dapat petunjuk dari Amir. Dia tinggal di Pesisir Morotai.

“Burung apa mo cari?” tanya Abdul.

Dia berjalan menuju dapur rumah tempat burung-burung itu tersekap.

“Paling cepat satu minggu so jinak. Beda deng luri (kasturi),” kata Abdul, sembari telunjuknya dia arahkan ke burung berwarna merah dan hijau ini.

“Ini punya siapa?” tanya saya penasaran.

“Dari Lanal punya,” katanya.

Pemilik sembilan satwa dilindungi yang Abdul maksud Lanal adalah Saiful, bintara berpangkat sersan satu yang tinggal di markas Pangkalan Utama TNI AL XIV Lanal Morotai. Saiful ini orang yang berbeda dengan Syaiful, yang mau beli paruh bengkok dari Kun.

Burung-burung itu terdaftar sebagai satwa dilindungi sesuai Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.106/2018.

Dia tak tahu banyak soal Saiful. Sekadar tahu kalau Saiful seorang tentara dari Jawa dan pedagang satwa ilegal ke luar daerah. Dari pengembangan informasi, tim kami menemukan sedikit identitas Saiful persis yang Abdul sampaikan.

Abdul bilang, satwa dilindungi biasa diantar ke kediaman Bintara sersan satu itu. Kadang, Saiful yang mengambil burung di rumahnya.

Saiful termasuk pebisnis ilegal satwa liar berpengalaman. Dia tidak menjual terbuka di media sosial—terutama untuk menggaet konsumen luar daerah. Tak ada jejak digital dalam transaksi perdagangan ilegal satwa Saiful.

Pada 11 Juli lalu, kami hubungi Saiful lewat pesan WhatsApp. Dia terkesan curiga ketika kami bertanya seolah-olah mencari nuri bayan maluku padanya.

“Burung apa yang Anda maksud untuk dikirim?”

“Kenapa cari di Morotai, setahu saya jenis bayan banyak di Tidore”.

Percakapan berlanjut, tetapi dijawab singkat. Beberapa pertanyaan tidak dia gubris.

“Rencana mau cari berapa pasang (burung)?” tanya Saiful.

“Biasa saya jual sepasang (nuri bayan maluku) Rp1 juta”. Sepasang berarti dua nuri bayan.

“Rp350.000 kalo luri (kasturi ternate)”.

“Itu langsung kirim?”

“Belum, ongkir kapal kalau luri per ekor Rp150.000 dan (nuri) bayan Rp200.000”.

“Lewat kapal apa?”

“Pelni,” jawabnya, singkat.

Dia tak menjawab nama kapal yang biasa digunakan kirim satwa dilindungi ke Pulau Jawa.

Melalui pesan singkat, dia bilang kapal yang biasa digunakan sekarang lagi dock di Surabaya. Akhir Juli ini sudah beroperasi lagi. Kapal itu pun hanya rute Morotai–Surabaya, tidak sampai Jakarta.

Apa tidak ada kapal lain? “Logistik tidak ada yang berani bawa burung”.

Sebulan setelah bertemu Abdul kami hubungi lagi. Lewat sambungan telepon, dia berkata baru saja mengantar beberapa burung ke markas Saiful. Burung yang kami lihat tempo itu bahkan sudah jauh hari dia antar.

Biasanya, dia mengendarai sepeda motor dari rumahnya. Burung pesanan Saiful dia masukan dalam kardus bekas dengan sedikit lubang pada kardus agar burung bisa bernapas.

Abdul sebenarnya tahu konsekuensi terlibat praktik perdagangan ilegal satwa dilindungi akan membawanya ke jeruji besi. Namun dia bisa beralasan jadi perantara dan penampung karena direkrut seorang tentara.

“Kita baru-baru tu (waktu itu) tara mau. Maksudnya kan torang takut. Cuman dong (Saiful) bilang ‘barang ini tong pe urusan jadi hanya minta bantu. Om cari dan titip situ, tampung situ’,” katanya mengulang ajakan Saiful jadi perantara.

Dia akan lepas tangan kalau petugas atau dinas datangi rumahnya. Abdul bilang Saiful menyanggupi. “Kalau ada yang turun (dari dinas terkait), telepon saja”.

Dari Abdul, kami dapat informasi kalau Saiful juga merekrut beberapa orang lain untuk jadi perantara di beberapa desa.

Perantara ini bertugas mempermudah pekerjaan Saiful. Dia tak perlu turun gunung. Cara ini, kemungkinkan memudahkan dia cuci tangan kalau tertangkap petugas.

Fakta-fakta ini kami pakai untuk konfirmasi ulang ke Saiful lewat sambungan telepon, pada pertengahan September lalu dari Jakarta. Kepada tim kolaborasi, Saiful mengaku tak memperjualbelikan satwa dilindungi.

“Nggak. Nggak saya jual belikan. Saya pelihara sendiri”.

Saiful mengakui pelihara nuri dan kakatua jambul kuning. Dia tahu, dua satwa yang disebut itu tak boleh dipelihara, apalagi diperdagangkan.

“Kalau dalam jumlah banyak memang nggak boleh. Kalau cuma satu atau dua (ekor), itu kan intinya tidak apa-apa toh,” katanya, seakan cari pembenaran.

Dia bahkan mengaku seorang pecinta burung dan mengklaim kalau memelihara boleh. Dia bilang, bukan penadah atau terlibat perdagangan satwa dilindungi.

“Intinya saya kan cuman pelihara”.

Seolah-olah memelihara satwa dilindungi punya jaminan menyelamatkan satwa liar dari kepunahan dan ancaman.

Paruh bengkok dalam sangkar pemburu. | Foto: Tim kolaborasi
Paruh bengkok dalam sangkar pemburu. | Foto: Tim kolaborasi

Paruh Bengkok Makin Terancam

Aksi penyelundupan paruh bengkok, sebetulnya sudah berjalan puluhan tahun. Hampir setiap tahun ada saja kasus penyelundupan yang digagalkan petugas dan dilaporkan media maupun lembaga swadaya masyarakat yang fokus satwa liar.

Sebagai daerah kepulauan, Maluku punya 15 bandar udara dan 21 pelabuhan laut. Sementara, Maluku Utara, ada sembilan bandar udara dan 24 pelabuhan laut. Daerah ini juga berbatasan langsung dengan tiga negara, yakni Filipina, Australia dan Timor Leste.

Perburuan paruh bengkok di Maluku Utara terjadi di berbagai pulau, mulai dari Morotai, Halmahera, Tidore, Bacan, Kasiruta, Obi, dan pulau-pulau kecil lain.

Riset Burung Indonesia wilayah kerja program Halmahera pada 2019-2020 menghitung populasi empat jenis paruh bengkok yang paling sering ditangkap, terutama di lima kabupaten Maluku Utara, yakni, kakatua putih, kasturi ternate, nuri kalung-ungu dan nuri bayan maluku.

Benny Aladin, Koordinator Program Halmahera Burung Indonesia, mengatakan, khusus Halmahera Selatan, mereka hanya mengambil sampel di satu desa. Kalau pakai penelitian lain pada 2012, angka penangkapan di Pulau Obi, Halmahera Selatan, sebetulnya jauh lebih tinggi.

Benny dan rekan-rekannya juga mengakumulasi, setidaknya menurut perkiraan, populasi empat paruh bengkok tersisa di alam pada 2020, kakatua putih (45.589), kasturi ternate (210.816), nuri kalung-ungu (61.700) dan nuri bayan maluku (31.063).

Data Burung Indonesia juga memperkirakan, rata-rata ada 8.062 paruh bengkok ditangkap per tahun dari alam.

Dari segi angka jumlah ini terlihat banyak, kata Benny, sebetulnya populasi ini sudah turun drastis dari perhitungan global pada 1992 yang diteliti Frank R. Lambert. Penelitian itu menyebut, estimasi maksimal paruh bengkok di alam untuk tiga spesies penting, kakatua putih (212.430), kasturi ternate (292.540), dan nuri kalung-ungu (435.080). Kalau dibandingkan, katanya, kakatua putih dan nuri kalung-ungu, berkurang lebih 60%.

Kakatua putih dan kasturi ternate merupakan spesies endemik Maluku Utara dan mengalami penurunan populasi signifikan karena berbagai faktor, terutama perburuan.

“Jika penurunan populasi ini tidak dicegah, dalam beberapa dekade kedepan kepunahan jenis sangat mungkin terjadi,” ujar Benny, yang investigasi penangkapan paruh bengkok di Maluku Utara.

Data Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Maluku-Malut, soal penangkapan dan perdagangan burung dan satwa lain yang berhasil digagalkan aparat, baik polisi maupun petugas BKSDA sejak Januari 2018-Juni 2022, ada 117 kasus dengan 5.392 tumbuhan dan satwa liar, sebagian besar atau 4.376 adalah burung.

Jejak Tentara Penyelundup Paruh Bengkok di Maluku Utara

Kami mengolah data kasus penangkapan dan penyelundupan satwa dilindungi yang ditangani di Pengadilan Negeri kabupaten/kota di Maluku Utara. Hanya ada 10 kasus masuk pada 2016-2020 dengan jumlah burung sitaan: kakatua putih (128), kasturi ternate (139), nuri bayan maluku (273), dan nuri kalung-ungu (17).

Kasus ini melibatkan 21 orang, hanya dua pemburu dan penampung besar bernama Darwin Baks dan Irwan Utokoy, dari Pulau Morotai. Sisanya, beberapa penangkap dan warga yang menyelundupkan burung, terutama pemelihara.

Kalau dilihat dari sisi kerugian ekologis, Benny bilang, nilainya sangat besar, bahkan tak ternilai. Sementara, paruh bengkok hasil sitaan atau serah terima masyarakat kepada BKSDA Maluku dan BTN Aketajawe Lolobata, katanya, harus melalui tahap rehabilitasi dahulu sebelum dilepasliarkan.

“Untuk menyiapkan sarana dan prasarana ini, negara telah mengeluarkan uang bermiliar-miliar,” kata Benny.

Abas Hurasan, Kepala Seksi Konservasi Wilayah (SKW) I Ternate Balai KSDA Maluku, tak menampik masih marak penangkapan dan perdagangan paruh bengkok di Maluku Utara. Terutama, katanya, di daerah-daerah, seperti Halmahera Barat, Halmahera Utara, maupun Pulau Morotai.

Untuk jalur-jalur bandara dan kapal laut, sering kali ditemukan satwa dilindungi yang diselundupkan. “Untuk sekarang ini, memang sudah agak menurun,” kata Abas.

Dia curiga, modus-modus penyelundupan bisa berubah. Mungkin mereka akan beralih ke pelabuhan-pelabuhan atau jalur-jalur tikus. BKSDA sudah berkoordinasi dengan polisi untuk penindakan kalau ada kedapatan perburuan dan perdagangan.

Bagaimana dengan keterlibatan dua anggota TNI sesuai temuan tim kolaborasi? Abas bilang, sejauh ini belum dapat informasi terkait hal itu. “Sementara ini dari tingkat TNI ini memang belum ada terkait dengan masalah penyelundupan itu,” kata Abas.

Namun, soal pemeliharaan satwa dilindungi di pos-pos tentara, SKW I Ternate BKSDA Maluku sering berkoordinasi dengan Pasi Intel Korem dan sudah membuat surat ditujukan langsung kepada Pimpinan Korem dan Pimpinan Satgas, satuan tugas yang berotasi di suatu wilayah keamanan.

“Artinya, kalau setiap kali ada satgas, kami akan buat surat itu,” katanya.

Surat itu berisi terkait pelarangan memiliki, memelihara, maupun mengangkut satwa dilindungi berdasarkan UU No.5/1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya, juga aturan lain yang mengikuti.

Dari surat itu, tak serta merta para tentara yang memelihara satwa dilindungi baik di pos-pos penjagaan, di dalam markas hingga perumahan disita petugas. Ada kecurigaan, tentara yang memelihara satwa dilindungi coba mengelabui petugas saat penindakan dengan menyembunyikan burung-burung itu.

“Kadang kala juga pada saat kami melakukan penindakan, burung-burungnya tidak ada di mereka punya pos. Ini yang kami sesalkan, apakah ada atau tidak,” kata Abas.

Kalau perburuan dan perdagangan ilegal terus terjadi tanpa henti, ke depan, bukan mustahil paruh bengkok bisa jadi tinggal cerita.

 

*Liputan ini merupakan kolaborasi media Mongabay co id, Jaring id, Bandungbergerak id, Mayung id, dan Tirto id bersama Garda Animalia dan Auriga Nusantara dalam Lokakarya Jurnalisme dan Hibah Liputan “Mengungkap Praktik Kejahatan terhadap Satwa Liar di Indonesia”.

5 1 vote
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments