Kenapa Kita Tidak Boleh Mengultuskan Masyarakat Tradisional?

3 min read
2022-10-06 02:18:21
Iklan
Belum ada deskripsim Lorem ipsum dolor sit amet, corrupti tempore omnis esse rem.



Gardaanimalia.com - Bayangkan kita adalah bagian dari suatu tim ekspedisi. Kita masuk ke dalam hutan belantara dalam upaya konservasi spesies rusa yang sangat langka.

Orang-orang berlegenda kalau bubuk tanduknya bisa mengobati segala jenis penyakit. Dari selesma sampai kanker. Dari sembelit sampai covid. Karenanya, rusa itu diburu habis-habisan sampai jumlahnya hanya terbilang puluhan.

Di gerbang hutan, kita disambut kelompok penduduk lokal. Mereka diagungkan sebagai penjaga belantara dengan segala kearifannya. Pemerintah menghibahkan sebentang lahan kepada mereka dalam program pelestarian hutan karena konon mereka memegang kunci sakral bagi kehidupan yang harmonis dengan alam.

Upacara penyambutan dan jamuan dimulai. Ritual-ritual diibadahkan. Ada tarian-tarian tradisional yang penuh dengan dentuman gendang. Ada nyanyian-nyanyian yang bergaung bersama pepohonan. Ada sesajian tradisional dari tanaman-tanaman hutan.

Pada puncak sambutan, segelondong hewan panggang yang ditutup oleh daun-daun pisang diarak ke hadapan kita untuk disantap bersama. Ketika sang tetua adat menyibakkan daun pisang itu, ternyata yang dihidangkan adalah rusa langka yang kita cari!

Bertanyalah kita kepada sang tetua adat tentang kegiatan perburuan rusa ini. Ternyata dia memberikan jawaban yang membuat semua terkaget-kaget: oh, ini rusa kesukaan orang kota. Bukannya kalian membeli daging dan tanduknya dengan harga mahal dari kami?

Apa yang perlu kita lakukan? Tetap ikut merayakan adat sebagai tanda hormat? Atau justru memasukkan mereka sebagai ancaman kepunahan?

Ini adalah dilema yang sering kita hadapi ketika membahas hubungan masyarakat tradisional dan kelestarian alam. Kadang kita menemukan para penjaga alam ini ternyata melakukan tindakan yang tidak menjaga alam.

Sebelum membahas masalah ini, perlu kita ketahui dahulu kalau hubungan antara kesejahteraan masyarakat tradisional dan kelestarian alam memang benar adanya. Penelitian oleh Estrada dkk. (2022) menunjukkan bahwa populasi primata yang berada pada kawasan masyarakat adat cenderung lebih stabil ketimbang yang berada di luar populasi.((Estrada, A., Garber, P.A., Gouveia, S., dkk. 2022. “Global importance of Indigenous Peoples, their lands, and knowledge systems for saving the world’s primates from extinction”. Science Advances. 8:eabn2927.))

Pada budaya Sunda tradisional misal, mengganggu kukang dianggap tabu. Di wilayah yang masih menjunjung tabu ini, kukang dapat ditemukan dalam jumlah yang melimpah.((Nijman, V. dan Nekaris, K.A. 2014. “Traditions, taboos and trade in slow lorises in Sundanese communities in southern Java, Indonesia”. Endangered Species Research. 25:79-88.)) Kita juga mengingat bagaimana harimau jawa dan bali dianggap sebagai hewan sakral. Keduanya baru punah setelah koloni Belanda memburunya sebagai hobi.((Ashraf, M. 2006. “The extirpation of Bali and Javan tiger: lessons from the past”. Tiger Paper. 33(3): 3-8.))

Namun, tidak jarang kita menemukan kasus transaksi hewan-hewan langka yang dilakukan oleh masyarakat lokal. Telur-telur penyu dijajakan sebagai kuliner khas.((Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. 2013. BKSDA Sumsel Amankan 2.287 Telur Penyu Sisik Dari Upaya Penyelundupan.)) Begitu pula dengan ikan belida yang diolah menjadi kerupuk di pasar-pasar tradisional Kalimantan.((Trisna, R. 2022. Balada di Balik Gurih Kerupuk Belida (Bagian 1). Kanal Kalimantan.))

Dahulu, populasi cenderawasih terjun bebas karena penduduk asli tanah Maluku dan Papua menjual burung surga itu kepada pelayar-pelayar Eropa.((Pires, T. 1944. The Suma Oriental of Tomé Pires of 1512-1515. McGill University Library (kontributor). London: The Hakluyt Society, 578 hal.))

Romantisasi Pengetahuan Tradisional


Mari tinggalkan sebentar bahasan tentang kelestarian hewan dan diskusikan sedikit masalah masyarakat tradisional.
Dalam bukunya Awan Terhimpun Awan Membuyar, Hery Santoso mengkritik keluguan kita yang selalu meromantisasi masyarakat tradisional.((Santoso, H. 2020. Awan Terhimpun Awan Membuyar. Interlude: Yogyakarta, xii + 186 hal. ISBN: 9786237676478))

Kita menganggap mereka sebagai kaum purba puritan yang selalu menjaga tradisi leluhur. Mereka pasti menolak pengaruh luar dan menjunjung tinggi adat istiadat.

Padahal, beberapa di antara mereka juga beradaptasi dengan dunia di luar pasak-pasak desa yang mereka buat. Mereka tertarik dengan teknologi mutakhir, mereka mengikuti perkembangan pasar, dan tidak sedikit dari mereka yang secara aktif mendekatkan diri pada dunia modern.

Dampaknya, kita tidak menganggap mereka yang berkehidupan dengan dunia luar sebagai masyarakat tradisional. Mereka dibiarkan begitu saja berinteraksi dengan pasar. Inilah asal mula dari banyak perusakan lingkungan oleh kelompok-kelompok ini.

Kita juga senang menggelorakan pengetahuan tradisional. Adat istiadat dianggap sebagai mantra pembuka bagi rahasia keharmonisan alam. Sains mungkin absolut, tapi tidak ada yang lebih bijaksana dibandingkan kearifan lokal.



Sementara, beberapa pengetahuan tradisional juga dapat menjadi ancaman. Bukankah kepercayaan khasiat pengobatan sisik trenggiling, cula badak, dan gading gajah berakar dari pengetahuan tradisional?

Ini adalah contoh yang terjadi ketika kita hanya mengultuskan pengetahuan tradisional tanpa melihat hubungan dan konsekuensinya terhadap kelestarian alam.

Lalu bagaimana cara kita menyikapinya? Caranya adalah dengan memanusiakan masyarakat tradisional dan segenap pengetahuan yang mereka genggam. Maksudnya, kita tidak boleh memandang mereka sebagai instrumen penyejahtera lingkungan dan asal menyomot pengetahuan mereka.

Setiap masyarakat tradisional punya hak untuk membuka diri pada dunia atau tetap menjadi tertutup. Maka, pertama dan utama, mereka perlu kita bebaskan memilih. Setelah kita tahu putusan itu, barulah kita bisa bergerak.

Kearifan Lokal yang Tetap Lokal


Sepertinya, usaha yang lebih sederhana bisa kita lakukan bagi kelompok yang memutuskan untuk tetap tertutup. Kepada mereka, respon terbaik kita adalah menghormati keputusan itu.

Ada satu hal yang membuat hubungan antara kelompok-kelompok ini dengan alam berbeda dengan masyarakat global. Mereka telah berada pada titik kesetimbangan dengan lingkungan tempat mereka hidup.

Mereka berburu, menebang, dan menanam sesuai dengan kebutuhan. Hidup mereka subsisten. Mereka adalah salah satu komponen dalam ekosistem yang stabil.

Inilah yang ditekankan oleh Estrada dkk. (2022) ketika melihat peningkatan kesejahteraan primata yang hidup berdekatan dengan masyarakat tradisional. Mereka tidak melakukan pembabatan hutan dan tidak pula melakukan perburuan yang tidak perlu.

Ketika kita menghormati wilayah masyarakat tradisional, secara langsung kita melindungi habitat primata. Kuncinya adalah mengintegrasikan kelompok masyarakat tradisional dalam satu kesatuan wilayah konservasi.



Ini juga berarti, kita perlu membiarkan kearifan lokal agar tetap menjadi lokal. Tidak perlulah memaksakan adat istiadat mereka untuk kawin dengan asas-asas konservasi kita.

Ini karena, pertama, belum tentu kearifan mereka yang lokal mampu beradaptasi pada skala regional, nasional, bahkan global. Kedua, pemaksaan adaptasi ini justru bisa jadi akar dari pelanggaran hak bagi masyarakat tradisional untuk melakukan adat istiadat mereka.

Pentingnya Pendampingan


Tugas yang lebih kompleks adalah mendampingi kelompok yang ingin bergabung dengan dunia luar. Kita perlu dengan hati-hati memperkenalkan nilai-nilai yang baik dan buruk dalam masyarakat global.

Kegagalan pendampingan inilah yang biasa mengubah para masyarakat tradisional dari penjaga lingkungan menjadi moda perusaknya. Masyarakat tradisional rentan dimanfaatkan oleh gairah pasar yang malah berujung pada kerusakan lingkungan dan kemelaratan bagi kelompok ini sendiri.

Ingat, variabel paling beracun bagi masyarakat tradisional ketika mereka bertemu dengan dunia luar adalah uang.
Contoh nyatanya terjadi pada Suku Anak Dalam yang menjual lahan mereka untuk bisnis kelapa sawit atas janji kehidupan masa depan yang lebih baik.((Hashina, N. H. 2021. Contoh Fungsi Kearifan Lokal bagi Kelestarian Lingkungan. Tirto.id.))

Sampai sekarang, mereka mengaku tidak mendapat satu persen pun keuntungan dari perjanjian ini. Sebaliknya, lingkungan hidup mereka menyempit karena hutan digantikan oleh kebun sawit. Suku Anak Dalam jadi melarat dan habitat jadi rusak.

Karena uang, perburuan berlebihan juga kerap terjadi di dekat kelompok masyarakat tradisional. Fenomena ini mudah kita lihat pada komunitas pesisir.

Ikan napoleon, pari, hingga hiu diburu dan dijual ke luar desa. Ketika ditegur, alasan mereka sama: toh kami sudah memancing ikan-ikan ini dari dahulu kala dan sampai sekarang mereka masih ada.

Mereka tidak paham kalau perburuan yang dulu mereka lakukan untuk memenuhi kebutuhan sendiri berbeda dengan perburuan untuk tuntutan pasar.

Maka, kita juga perlu memetakan potensi ekonomi yang selaras dengan kegiatan konservasi, apa pun sektornya. Jika itu agrikultur, kita perlu ikut merencanakan skema perkebunan yang membawa profit tapi juga tidak membabat lahan. Jika itu pariwisata, kita perlu mengedepankan kesejahteraan mereka dan lingkungan di sekitarnya, bukan kesenangan wisatawan.

Di sinilah ada peran penting kearifan lokal. Pengenalan konservasi bisa kita terangkan lewat adat istiadat yang dimiliki oleh masing-masing kelompok.

Kita sudah punya banyak contoh, mulai dari sistem irigasi sawah subak di Bali, lembaga adat Panglima Laot di Aceh yang memastikan stabilitas populasi hewan laut dan kesejahteraan nelayan, hingga keberadaan Situs Keramat Alami di Baduy Dalam.((Hashina, N. H. 2021. Contoh Fungsi Kearifan Lokal bagi Kelestarian Lingkungan. Tirto.id.)) Inilah yang dimaksud ketika berbicara tentang adaptasi yang tepat bagi kearifan lokal ke ranah regional, bahkan global.

Intinya, hubungan antara masyarakat tradisional dan kelestarian alam tidak hanya sebatas pada kearifan lokal. Persepsi ini adalah penyederhanaan yang keliru, bahkan berbahaya.

Potensi yang dimiliki oleh setiap masyarakat tradisional berbeda-beda dari satu kelompok ke kelompok lain. Begitu juga ancamannya.

Sebelum kita memutuskan untuk mengawinkan kearifan lokal dengan kegiatan konservasi, kita perlu tahu dulu apakah dia memang dapat dikawinkan dan kita perlu mendapat penerimaan dari pemegang pengetahuan tersebut.

Nah, sekarang coba pikirkan jawaban untuk pertanyaan pada kisah awal. Kalau bertemu kelompok penjaga hutan yang ternyata menjual rusa langka, apa yang salah dan apa harus kita lakukan?

Tags :
Trenggiling rusa gading gajah harimau jawa harimau bali jenis satwa dilindungi
Writer:
Pos Terbaru
Orangutan Viral di Kawasan Tambang Akhirnya Dievakuasi
Orangutan Viral di Kawasan Tambang Akhirnya Dievakuasi
Berita
17/02/25
Beruang Madu di Perbebunan, BKSDA: Itu Habitatnya
Beruang Madu di Perbebunan, BKSDA: Itu Habitatnya
Berita
17/02/25
Konflik Gajah di Aceh Barat Terulang, Perubahan Habitat Menyulitkan Penghalauan
Konflik Gajah di Aceh Barat Terulang, Perubahan Habitat Menyulitkan Penghalauan
Berita
15/02/25
Akhirnya, Enam Pemburu Badak Jawa Divonis 11 dan 12 Tahun Penjara
Akhirnya, Enam Pemburu Badak Jawa Divonis 11 dan 12 Tahun Penjara
Berita
15/02/25
Dikirim Tanpa Dokumen, 67 Satwa Diamankan di Pelabuhan Tanjung Priok
Dikirim Tanpa Dokumen, 67 Satwa Diamankan di Pelabuhan Tanjung Priok
Berita
14/02/25
Memisahkan dengan Jelas: Pemeliharaan Satwa Liar Bukan Penyelamatan!
Memisahkan dengan Jelas: Pemeliharaan Satwa Liar Bukan Penyelamatan!
Opini
13/02/25
Tiga Orangutan Kelaparan Mencari Makan di Kebun Sawit, BKSDA Lakukan Pemantauan
Tiga Orangutan Kelaparan Mencari Makan di Kebun Sawit, BKSDA Lakukan Pemantauan
Berita
13/02/25
Harimau yang Masuk Kandang Jebak di Aceh Timur akan Direlokasi
Harimau yang Masuk Kandang Jebak di Aceh Timur akan Direlokasi
Berita
13/02/25
Lagi, Seekor Dugong Mati Terdampar di Kupang
Lagi, Seekor Dugong Mati Terdampar di Kupang
Berita
10/02/25
Relasi Harmonis Gajah-Manusia dalam Sejarah dan Tradisi Budaya di Aceh
Relasi Harmonis Gajah-Manusia dalam Sejarah dan Tradisi Budaya di Aceh
Edukasi
07/02/25
Pagar Terbuka! 15 Rusa Timor Berlari Bebas di TN Baluran
Pagar Terbuka! 15 Rusa Timor Berlari Bebas di TN Baluran
Berita
07/02/25
Dagangkan Cula Badak dan Gading Gajah, Dua Terdakwa Divonis 4 Tahun
Dagangkan Cula Badak dan Gading Gajah, Dua Terdakwa Divonis 4 Tahun
Berita
06/02/25
Terjerat Jaring, Lumba-Lumba di Kenjeran Berhasil Kembali ke Laut
Terjerat Jaring, Lumba-Lumba di Kenjeran Berhasil Kembali ke Laut
Berita
06/02/25
Bayi Bekantan Terpisah dari Induk, Diduga karena Habitat Rusak
Bayi Bekantan Terpisah dari Induk, Diduga karena Habitat Rusak
Berita
06/02/25
Kesalahan Penanganan Diduga Sebabkan Kematian Orangutan yang Tersengat Listrik
Kesalahan Penanganan Diduga Sebabkan Kematian Orangutan yang Tersengat Listrik
Berita
05/02/25
Cegah Zoonosis, Pengamatan Tidak Langsung Manfaatkan Ekolokasi Kelelawar Pemakan Serangga
Cegah Zoonosis, Pengamatan Tidak Langsung Manfaatkan Ekolokasi Kelelawar Pemakan Serangga
Edukasi
05/02/25
Petugas Amankan 30 Kilogram Sisik Trenggiling di Atas Kapal Cepat
Petugas Amankan 30 Kilogram Sisik Trenggiling di Atas Kapal Cepat
Berita
04/02/25
Soa Payung, Kadal dengan Leher Berjumbai yang Unik
Soa Payung, Kadal dengan Leher Berjumbai yang Unik
Edukasi
03/02/25
Dugong Fitri yang Terjerat Jaring Berhasil Dilepasliarkan
Dugong Fitri yang Terjerat Jaring Berhasil Dilepasliarkan
Berita
03/02/25
Gajah Betina Berusia 8 Tahun Ditemukan Mati di Aceh Timur
Gajah Betina Berusia 8 Tahun Ditemukan Mati di Aceh Timur
Berita
03/02/25