Gardaanimalia.com – Bagi suku Abun, Kabupaten Tambrauw, Provinsi Papua Barat, ritual Moke Womom adalah cara untuk tetap menjaga kelestarian sesama penduduk bumi, di antaranya penyu belimbing.
Ritual Moke Womom telah dijalankan sejak dahulu kala, berawal dari ritual keluarga sampai akhirnya menjadi ritual yang dianut banyak orang di suku tersebut.
Ritual ini dilakukan untuk memanggil penyu belimbing (Dermochelys coriacea) agar singgah di pantai mereka dan bertelur.
Masyarakat adat suku Abun percaya bahwa penyu belimbing adalah dewa laut. Mereka percaya kehadiran satwa tersebut dapat menjadi berkat bagi sekeliling.
Namun sayang, akhir-akhir ini masyarakat adat suku Abun merasakan kehadiran penyu kian berkurang dari waktu ke waktu. Sehingga, ritual Moke Womom pun dilakukan dalam skala lebih besar, tak lagi hanya sebagai ritual keluarga.
Ritual ini dilakukan saat senja mulai tiba karena terbenamnya matahari adalah waktu yang sering digunakan hewan amfibi ini untuk bertelur di pantai. Salah satu lokasi yang menjadi tempat pelaksanaan ritual adalah pantai Jamursba Medi.
Ritual harus dilakukan secara tertutup dan dipimpin oleh 13 orang pemuka adat dan 2 di antaranya bertugas untuk melakukan ritual pemanggilan di tepi pantai.
Sembari mengenakan pakaian tradisional, suku Abun akan menyiapkan sejumlah alat untuk melangsungkan ritual, salah satunya adalah daun kelapa.
Kemudian mereka akan memukul air laut dengan daun tersebut sebanyak tiga kali. Hal ini dilakukan untuk berterima kasih kepada laut yang telah menjaga satwa ini.
Pun sebagai tanda agar seluruh penyu belimbing di lautan berkenan singgah di pantai untuk bertelur sebelum kembali mengarungi lautan.
Menurut data dari WWF Tambrauw tercatat bahwa perkembangbiakan penyu belimbing di pantai Jamursba Medi, secara berangsur mengalami penurunan jumlah sarang telur.
Hal tersebut sejalan dengan data dari IUCN yang mencatat bahwa populasi penyu terbesar yang pernah hidup ini terus berkurang dari tahun ke tahun.
Saat ini, penyu belimbing menghadapi sejumlah ancaman di alam liar seperti perburuan liar, polusi, dan perubahan iklim. Habitat mereka juga terus berkurang karena adanya pembangunan pariwisata atau pemukiman.
Sejak tahun 2013, IUCN memasukannya ke dalam daftar merah dengan status Vulnerable atau rentan. Untuk melindunginya dari kepunahan, Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P106 Tahun 2018 menetapkannya sebagai satwa dilindungi yang pemanfaatannya diatur oleh negara.