Menjarah
Menjarah
Menjarah
Liputan Khusus

Kabar Teranyar setelah Setahun Lebih Grup Penyiksa Monyet Terungkap

882
×

Kabar Teranyar setelah Setahun Lebih Grup Penyiksa Monyet Terungkap

Share this article
Seekor bayi monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) di dalam kerangkeng. | Foto: Animal Friends Jogja/Action for Primates melalui Sarah Kite.
Seekor bayi monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) di dalam kerangkeng. | Foto: Animal Friends Jogja/Action for Primates melalui Sarah Kite.

Gardaanimalia.com – Sudah lebih dari setahun sejak pemberitaan media antarnegara mengungkap jejaring global penyiksa bayi monyet ekor panjang (Macaca fascicularis).

Jumlah pelaku yang ditahan dan didakwa atas kasus ini semakin bertambah. Terbaru, seorang perangkat kelurahan di Kota Singkawang, Kalimantan Barat bernama Romy Sasmita atau RS (41) ditangkap pada 7 Februari 2024.

pariwara
usap untuk melanjutkan

Ia diduga kuat menjadi Video Operator (VO) penyiksaan bayi monyet yang kontennya diperdagangkan secara internasional.

Di lingkar sindikat itu, RS dikenal dengan nama Black Pearl. RS melakukan berbagai bentuk penyiksaan terhadap monyet, termasuk mencekik, membanting, dan memukul anak monyet dengan palu sampai mati. Diketahui, RS juga mengonsumsi sabu sebelum mengeksekusi kekejamannya terhadap monyet.

Alat yang digunakan RS untuk membuat konten kekerasan terhadap bayi monyet. | Foto: Istimewa
Alat yang digunakan RS untuk membuat konten kekerasan terhadap bayi monyet. | Foto: Istimewa

Penegakan Hukum di Seberang Samudra

Penangkapan baru selanjutnya terjadi di seberang samudra, tepatnya di Negeri Paman Sam.

Seorang apoteker asal Wisconsin, Amerika Serikat bernama Kenneth J Herrera (40) divonis satu tahun penjara pada 20 Desember 2023 karena keterlibatannya dalam grup penyiksa monyet.

Pria dengan username pharmadoct83″ itu awalnya dijerat hukuman tujuh tahun penjara dan denda sebesar 5.000 dolar AS, atau setara Rp78 juta.

Akan tetapi, hakim meringankan hukumannya karena “kerja samanya dengan otoritas federal dalam investigasi terhadap pihak lain yang terlibat dalam distribusi video,” mengutip situs berita Wisconsin State Journal.

Sejak 2021, Kenneth berkomunikasi dengan seorang warga negara Indonesia yang Ia minta membuat 10 video penyiksaan monyet dengan upah 100 dolar AS atau Rp1,5 juta.

Kenneth merupakan satu dari tiga warga negara AS yang ditangkap atas keterlibatan dengan lingkaran penyiksa monyet ekor panjang.

Dua orang lainnya adalah seorang mantan personel Angkatan Udara AS bernama David Christopher Noble (48) yang ditahan pada 14 Juni 2023 dan warga Florida bernama Nicole Danielle Devilbiss (35) yang ditahan pada 1 November 2023.

David dinyatakan bersalah dan terancam hukuman pidana penjara maksimum lima tahun. Sementara itu, Nicole masih menunggu pendakwaan dengan ancaman penjara yang sama.

Ketiga orang tersebut bukan hanya menjadi konsumen video penyiksaan monyet, tetapi juga menjual, mendistribusikan, dan berhubungan langsung dengan eksekutor di Indonesia.

Kembali ke Indonesia, pihak kepolisian telah menangkap dan memenjarakan dua orang terkait dengan kasus ini.

Pertama, M Ajis Rasajana asal Magelang yang menghadapi bui delapan bulan. Kedua, Asep Yadi Nurul Hikmah asal Tasikmalaya yang sedang melalui hukuman penjara tiga tahun dan denda Rp5 juta.

Penangkapan dan pendakwaan para pelaku di berbagai negara merupakan sebuah kemajuan signifikan bagi Sarah Kite, salah seorang pendiri Action for Primates, organisasi non-pemerintah yang aktif mengampanyekan kesejahteraan primata.

Sarah dan timnya telah mendalami kasus ini sejak 2021. Menurutnya, baru belakangan terdapat kemajuan penanganan yang signifikan.

“Kami terbuka dengan fakta bahwa telah ada tindakan di negara-negara ini, khususnya Indonesia,” kata Sarah kepada Garda Animalia dalam wawancara pada 2 Januari 2024.

Akan tetapi, Ia menekankan, masih banyak kerja-kerja yang perlu dilakukan untuk sepenuhnya memberantas kasus ini. Mulai dari pembaruan kebijakan negara, respons penegak hukum, sampai komitmen platform sosial media.

Sarah Kite, salah satu pendiri Action for Primates, yang mengikuti kasus video penyiksaan monyet sejak 2021. | Foto: Dokumen pribadi Sarah Kite
Sarah Kite, salah satu pendiri Action for Primates, yang mengikuti kasus video penyiksaan monyet sejak 2021. | Foto: Dokumen pribadi Sarah Kite

Kebijakan Kolot untuk Kasus Anyar

Penahanan terhadap distributor video penganiayaan bayi monyet dapat dilakukan AS setelah negara tersebut menambahkan istilah “animal crushing dalam diktat besar hukum mereka pada November 2019.

Istilah ini mengacu pada “seluruh tindakan terhadap mamalia, burung, reptil, atau amfibi seperti meremukkan, membakar, menenggelamkan, mencekik, memenggal, dan tindakan lain yang mengakibatkan cedera fisik serius”.

“Video animal crushing secara keji memaksa satwa masuk ke dalam siklus ketakutan, kekerasan, dan kematian untuk kesenangan pribadi atau keuntungan [manusia],” kata Asisten Jaksa Umum Todd Kim dari Divisi Lingkungan dan Sumber Daya Alam Departemen Kehakiman Amerika Serikat, dikutip dari laman resmi departemen tersebut.

Produksi dan distribusi video animal crushing merupakan tindak pidana di AS bersamaan dengan disahkannya undang-undang bernama Preventing Animal Cruelty and Torture (PACT) Act. Hukuman maksimumnya adalah penjara tujuh tahun dan denda 250.000 dolar AS atau hampir Rp4 miliar.

Sementara, perlindungan terhadap satwa di Indonesia, negara sumber video penyiksaan hewan, sangat bertumpu pada UU Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Hayati dan Ekosistemnya.

Kebijakan ini melindungi eksploitasi satwa dilindungi, dengan hukuman pidana maksimum lima tahun penjara dan denda Rp100 juta.

Akan tetapi monyet ekor panjang, korban utama video penyiksaan, tidak masuk ke dalam daftar satwa dilindungi.

Oleh karena itu, penanganan kasus penyiksaan spesies ini harus mengacu pada undang-undang lain dengan hukuman yang jauh lebih lemah: UU Nomor 41 Tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan. Hukuman maksimum bagi penganiaya hewan adalah kurungan enam bulan dan denda Rp5 juta.

Undang-undang ini terbilang kolot. Kebijakan tersebut disahkan jauh sebelum fenomena penyiksaan satwa yang termonetisasi lewat media sosial menjadi marak.

Akibatnya, hukuman yang ada pun jauh lebih rendah dibandingkan dengan kebijakan kesejahteraan hewan negara lain yang terbarukan seperti di AS.

Karena keterbatasan ini, Sarah mengatakan bahwa satu-satunya jalur untuk menyelamatkan monyet ekor panjang di Indonesia saat ini adalah dengan memasukkan spesies tersebut dalam daftar satwa dilindungi.

“Kami ingin melobi pemerintah untuk melindungi spesies ini di Indonesia. Karena, baru setelah ada perlindungan kita akan melihat perbaikan terhadap situasi mereka,” tegas Sarah.

Menurutnya, perlindungan monyet ekor panjang juga semakin urgen karena meningkatnya status keterancaman spesies tersebut dari rentan (vulnerable) menjadi genting (endangered).

Status ini diterbitkan oleh IUCN Red List, lembaga internasional yang mencatat tingkat kerentanan satwa dunia.

Tangkapan layar video penyiksaan bayi monyet. | Foto: Istimewa
Tangkapan layar video penyiksaan bayi monyet. | Foto: Istimewa

Dilema Enkripsi: Keadilan atau Privasi

Meskipun memiliki perangkat hukum untuk menjatuhkan hukuman pidana, pemerintah kesulitan menghadapi teknologi mutakhir yang dapat menyembunyikan identitas para pelaku di internet.

Platform media sosial Telegram menjadi ladang subur bagi para penyiksa satwa karena sistemnya yang terenkripsi, khususnya jika pengguna memakai fitur secret chat.

Ini berarti, tidak ada satu pun pihak di luar anggota grup, bahkan pengelola Telegram sekalipun, dapat mengakses data yang bersirkulasi.

Popularitas platform terenkripsi seperti Telegram belakangan meningkat karena maraknya pembobolan data di platform arus utama seperti Facebook, Whatsapp, dan Instagram.

Kejadian beruntun yang menjangkit grup korporasi raksasa milik Mark Zuckerberg ini membangkitkan kesadaran publik terhadap privasi data mereka.

Pasalnya, data tersebut dapat berupa fail berbahaya, seperti video penyiksaan satwa. Konten-konten berbahaya lain seperti video masokhis dan pornografi anak juga bersembunyi di balik argumen keamanan privasi.

Namun, bagi Sarah, dilema ini punya jawaban yang jelas.

“Seseorang kehilangan hak privasi mereka jika terlibat dalam kegiatan seperti ini, khususnya jika sudah masuk sebagai tindak kriminal,” tegasnya.

Untuk menegaskan sikap ini, Britania Raya mengesahkan Online Safety Act, kebijakan yang melindungi anak dari konten-konten berbahaya.

Sejak September 2023, negara tersebut telah memasukkan video kekerasan hewan sebagai konten berbahaya.

Lewat kebijakan ini, perusahaan media sosial yang tidak menghapus konten-konten ilegal akan berhadapan dengan ancaman denda. Nominalnya mencapai 18 juta poundsterling, setara dengan Rp359 miliar, atau 10 persen dari total pendapatan global mereka dalam setahun.

Akan tetapi, belum ada kabar tuntutan terhadap perusahaan seperti Telegram karena lalai memberantas video penganiayaan hewan di platform mereka.

Padahal, Sarah mengutarakan, timnya masih menemukan grup-grup penyiksa monyet aktif di platform tersebut sampai saat ini.

Memang, Telegram merupakan satu-satunya platform yang tidak menyatakan komitmen mereka untuk menghapus konten penyiksaan monyet ketika dimintai keterangan oleh pihak BBC.

“[Telegram] berkomitmen menjaga privasi dan kebebasan bersuara,” kutip keterangan dari Telegram dari BBC.

Merespons hal ini, organisasi non-pemerintah Lady Freethinker membuat petisi yang mereka arahkan kepada CEO Telegram Pavel Durov untuk menghapus video penyiksaan monyet di platform mereka.

Per 23 Januari 2024, petisi tersebut sudah ditandatangani oleh lebih dari 35 ribu orang.

Kerja Sama Lintas Benua

Menurut Sarah, bukan hanya negara yang bekerja menangani isu ini. Kampanye dan aksi konservasi seperti yang dilakukan oleh Action for Primates dan Lady Freethinker juga berkembang pesat di berbagai negara.

Sejak Mei 2020, terdapat koalisi berskala global bernama Social Media Animal Cruelty Coalition (SMACC) yang secara aktif mengampanyekan kesejahteraan hewan dari kekerasan di media sosial. Koalisi ini beranggotakan 21 organisasi pencinta satwa dari seluruh penjuru dunia.

Sementara itu, di Indonesia ada Jakarta Animal Aid Network yang menangani maraknya topeng monyet, bisnis yang rentan bersinggungan dengan eksploitasi dan penyiksaan monyet ekor panjang.

Selain usaha oleh organisasi non-pemerintah, Sarah menekankan pentingnya peran media pemberitaan dalam menyebarluaskan isu ini kepada publik.

Tanpa itu, Sarah dan timnya kewalahan menghadapi korporasi raksasa yang dengan mudah abai terhadap laporan-laporan konten ilegal.

“Mereka biasanya menampik laporan tersebut atau sekadar memasang peringatan video sensitif di depan konten, meskipun kontennya masih bisa diakses oleh publik,” ujar Sarah.

Respons berbeda muncul setelah ada kerja sama investigasi berskala internasional dari berbagai kantor berita. Para korporasi raksasa itu perlahan melakukan tindakan terhadap jejaring penyiksa satwa.

“Tahun ini telah menjadi titik balik karena apa yang dilakukan oleh liputan media di seluruh dunia,” sambut Sarah.

5 2 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments
Burung perkici tengah bertengger di tiang besi yang disediakan oleh sang penjual di Pasar Burung Pramuka, Jakarta Timur. | Foto: Bayu Nanda/Garda Animalia
Liputan Khusus

Gardaanimalia.com – Hiruk pikuk suara burung menyeruak dari kandang-kandang jeruji yang didisplai di depan-depan kios serta lapak para…