Menjarah
Menjarah
Menjarah
Liputan Khusus

Soal Kasus Penyiksaan Monyet, Sarah Kite: Media Sosial Harus Bertanggung Jawab

672
×

Soal Kasus Penyiksaan Monyet, Sarah Kite: Media Sosial Harus Bertanggung Jawab

Share this article
Sarah Kite, salah seorang pendiri Action for Primates yang fokus mengadvokasikan isu video kekerasan terhadap monyet ekor panjang (Macaca fascicularis). | Foto: dokumen pribadi Sarah Kite.
Sarah Kite, salah seorang pendiri Action for Primates yang fokus mengadvokasikan isu video kekerasan terhadap monyet ekor panjang (Macaca fascicularis). | Foto: Dokumen pribadi Sarah Kite

Gardaanimalia.com – Sarah Kite adalah salah satu pendiri Action for Primates, organisasi nirlaba berbasis di Britania Raya yang mengadvokasikan kesejahteraan primata non-manusia.

Sejak 2021, Ia bersama Action for Primates aktif mengungkap kejahatan terhadap monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) di Indonesia.

pariwara
usap untuk melanjutkan

Pertama, tentang penangkapan monyet dari alam liar untuk diekspor. Kedua, tentang jejaring video penyiksaan anak monyet berskala global.

Garda Animalia melakukan wawancara dengan Sarah Kite seputar kebaruan penanganan kasus di tingkat internasional, respons publik dan pemerintah AS dan Britania Raya, sampai tanggung jawab platform media sosial untuk terlibat memberantas jejaring tersebut.

Wawancara kami lakukan pada Selasa, 2 Januari 2024 melalui Zoom.

Bagaimana latar belakang Anda terlibat dalam proses pengungkapan jejaring video penyiksa monyet?

Kami pertama kali mengungkap video penyiksaan dan pembunuhan bayi monyet pada 2021. Mereka beroperasi lewat grup daring privat di platform media sosial yang terenkripsi seperti Telegram.

Yang mereka lakukan bukan hanya mengorganisasikan penyiksaan dan pembunuhan bayi-bayi monyet, tetapi juga memberikan saran cara-cara penyiksaan satwa tersebut. Mereka mengadakan diskusi, lalu menghasilkan usulan serta ide metode penyiksaan.

Videonya sendiri dibuat di Indonesia. Ada informasi bahwa Thailand dan Kamboja juga menjadi lokasi pembuatan video. Akan tetapi, selama tiga tahun ke belakang, negara utamanya adalah Indonesia. Sementara itu, mayoritas penontonnya tinggal di Amerika Serikat (AS).

Bukti yang kami ungkap benar-benar menyeramkan. Sangat mengejutkan mengetahui bahwa hal seperti ini terjadi. Orang mengeluarkan uang untuk melihat monyet disiksa, dan videonya disebarluaskan sebagai hiburan.

Benar-benar sesuatu yang di luar nalar. Saya rasa, isu ini juga telah mengejutkan penegak hukum di berbagai negara karena kekejamannya.

Kami memiliki mitra di AS bernama Lady Freethinker yang bekerja sama dalam investigasi untuk mengumpulkan bukti-bukti yang ada.

Banyak informasi berhasil kami dapatkan dari grup Telegram itu, seperti arsip pesan (chat log) dan identitas orang-orang yang terlibat di dalamnya. Kemudian, kami menyerahkan bukti-bukti itu kepada pihak penegak hukum.

Selain itu, kami juga memiliki kolaborator di Indonesia, yaitu Jakarta Animal Aid Network.

Hal penting lain, terdapat koalisi global bernama SMACC, Social Media Animal Cruelty Coalition. Pada dasarnya, itu adalah payung untuk kelompok pencinta satwa dari seluruh dunia untuk memberantas isu ini. Saat ini, SMACC terlibat dalam kesadaran publik di platform media sosial.

Dari amatan Anda, bagaimana respons pemerintah AS terhadap kasus ini?

Kami berharap akan ada lebih banyak lagi penahanan dan pendakwaan. Sejauh ini, kita mengetahui telah ada beberapa orang yang ditahan di AS, atau sudah dikunjungi oleh pihak penegak hukum. Tiga di antaranya telah menerima gugatan, dan satu orang telah dipidana satu tahun penjara pada akhir Desember lalu.

Peraturan perundang-undangan yang dipakai di AS adalah PACT (Preventing Animal Cruelty and Torture) Act yang berfungsi mencegah tindak kekejaman terhadap hewan, termasuk menyiksa, membunuh, dan membahayakan hewan (animal crush videos). Pihak-pihak yang telah ditahan menghadapi pidana dari kebijakan ini.

Kami sangat terdorong karena terdapat kemajuan. Kita melihat FBI, Departemen Keamanan Dalam Negeri (Homeland Security), dan Kantor Perikanan dan Margasatwa (Fish and Wildlife Service) AS terlibat dalam menginvestigasi apa yang terjadi dan memberikan hukuman terhadap orang-orang ini.

Namun, penggunaan platform terenkripsi seperti Telegram membuat akses informasi menjadi sangat sulit. Saya tidak tahu seberapa kooperatif mereka.

Akan tetapi, fakta bahwa ada grup daring yang menggunakannya untuk mencegah deteksi tentu akan menjadi halang rintang bagi para penegak hukum.

Kabar terakhir terdapat satu orang pelaku dengan profesi apoteker yang ditahan di AS. Apakah Anda mengetahui tentang kebaruan penanganan kasus di negara tersebut?

Kita tahu kalau ada dua orang di AS yang telah mendapatkan gugatan. Satu orang di Oregon, dan satu orang lainnya di Florida. Masing-masing sedang menunggu persidangan.

Keduanya terlibat di dalam grup yang sama. Mereka bukan hanya menonton dan menyebarluaskan video, tetapi juga membayar dan menentukan bagaimana cara monyet-monyet disiksa.

Kami dan Lady Freethinker telah memperingatkan pihak pemerintah tentang pelaku apoteker itu. Jadi, kami sebenarnya sudah tahu tentang keberadaannya dan apa saja yang Ia lakukan sejak beberapa tahun lalu.

Kami tahu Ia berkontak langsung dengan jejaring di Indonesia yang saat ini telah dipenjara. Selain itu, kami juga tahu kalau di AS telah ada beberapa orang lain yang ditangkap dan sedang menunggu gugatan.

Penegak hukum telah bekerja secara global, meski kadang dengan lambat. Di Britania Raya, telah ada beberapa orang yang ditangkap, walaupun belum ada dakwaan yang dijatuhkan kepada mereka.

Namun, para penegak hukum jelas sedang memproses hal tersebut. Begitu pula di Indonesia, dengan pemenjaraan dua orang pelaku. Kami terbuka dengan fakta bahwa telah ada tindakan di negara-negara ini, khususnya Indonesia.

Ada argumen bahwa privasi pengguna platform media sosial harus dilindungi, yang menyulitkan penegak hukum mendapatkan informasi. Bagaimana Anda merespons hal ini?

Menurut saya, seseorang kehilangan hak privasi mereka jika terlibat dalam kegiatan seperti ini, khususnya jika sudah masuk sebagai tindak kriminal.

Platform sosial media harus memberikan contoh bahwa mereka bersungguh-sungguh untuk menegakkan aturan yang mereka buat agar konten-konten penyiksaan satwa tidak tersedia bagi para pengguna.

Namun, sampai saat ini para pelaku masih bisa beroperasi di balik username dan akun anonim agar mereka sulit dilacak. Padahal, para penegak hukum tentu bergantung pada sistem operasi tiap platform untuk menyediakan detail mengenai akun individu tersebut. Kita tahu bahwa grup Telegram ini masih aktif, jadi masih banyak video penyiksaan monyet yang dibuat.

Di samping itu, kita memiliki platform sosial media arus utama seperti Facebook dan YouTube yang masih menjadi tempat untuk orang melihat video-video penyiksaan.

Platform media sosial memberikan ruang bagi grup-grup ini untuk beroperasi hampir dengan kekebalan terhadap hukum. Ini adalah hal yang sangat tidak benar.

Bukan hanya karena fakta bahwa aktivitasnya yang bersifat ilegal, tetapi juga karena perilaku menjijikan itu dilihat sebagai hal yang dapat diterima oleh para penggunanya.

Seekor anak monyet ekor panjang yang dikurung di dalam kerangkeng. | Foto: Action for Primates melalui Sarah Kite
Seekor anak monyet ekor panjang yang dikurung di dalam kerangkeng. | Foto: Action for Primates melalui Sarah Kite

Apakah ada respons dari negara terhadap keengganan platform media sosial untuk berkomitmen mengatasi isu ini?

Beberapa tahun ke belakang terdapat satu peraturan perundang-undangan yang didiskusikan di parlemen Britania Raya, yaitu Online Safety Act. Kebijakan ini bertujuan untuk melindungi anak dari konten-konten berbahaya.

Fokusnya adalah video seperti perilaku self-harm, pornografi anak, dan hal-hal serupa. Kami telah mendorong agar kebijakan ini juga meliputi video kekejaman terhadap hewan.

Ada risiko nyata terhadap anak-anak, orang dewasa yang rentan, dan seluruh orang untuk menjadi menormalisasikan perilaku kekerasan akibat menonton konten-konten berbahaya.

Ditambah lagi, berbagai studi telah menunjukkan bagaimana orang dengan perilaku psikopat terhadap orang lain kerap menunjukkan tendensi kekerasan terhadap hewan ketika mereka masih muda.

Tahun lalu, setelah terbitnya video dokumenter BBC, video penyiksaan hewan telah masuk sebagai pelanggaran terhadap Online Safety Act.

Platform sosial media akan diminta bertanggung jawab untuk menarik konten tersebut. Jika tidak, akan ada konsekuensi seperti denda.

Menurut saya, ini merupakan hal yang sangat penting, khususnya untuk melindungi pengguna dari konten-konten berbahaya.

Apakah Anda melihat bahwa media pemberitaan telah mengambil peran yang penting dalam penanganan kasus ini?

Tentu saja. Sangat mudah untuk platform seperti Facebook untuk menyepelekan laporan langsung tentang pelanggaran terhadap kebijakan konten mereka sendiri.

Kami telah mengalaminya beberapa kali. Mereka biasanya menampik laporan tersebut atau sekadar memasang peringatan video sensitif di depan konten, meskipun kontennya masih bisa diakses oleh publik.

Akan tetapi, ketika ada media seperti BBC mengungkap apa yang sebenarnya terjadi, barulah saya rasa ada kemajuan dalam penanganannya. Tahun ini telah menjadi titik balik karena apa yang dilakukan oleh liputan media di seluruh dunia.

Bagaimana respons publik, khususnya di AS, mengenai kasus video penyiksaan monyet?

Di AS, karena ukuran negaranya yang sangat besar, isu penyiksaan hewan tidak berada di pikiran seluruh warga AS. Akan tetapi, hal itu mendapatkan perhatian dari penegak hukum, terbukti dari adanya penangkapan.

Adalah hal yang baik jika kita juga dapat meningkatkan kesadaran dan edukasi publik tentang isu ini. Di samping itu, harus ada tindakan bagi para individu yang sekadar menerbitkan dan menyebarluaskan video. Kita harus menunjukkan contoh bahwa penegak hukum akan menangkap orang yang terlibat dalam kegiatan seperti ini.

Hal lain yang tidak banyak orang sadari adalah bahwa kanal-kanal ini termonetisasi. Maka semakin tersebar luas video-video penyiksaan, semakin banyak mereka mendapatkan uang.

Bahkan, orang-orang yang merasa tidak suka dan mengekspresikan kemarahan mereka lewat kolom komentar justru hanya meningkatkan paparan video dan membawa ketenaran yang semakin tinggi terhadap akun dan kanal yang bersangkutan.

Menurut Anda, apa saja parameter yang perlu kita capai untuk bisa memberantas jejaring video penyiksaan satwa di internet?

Ada dua hal. Pertama, platform media sosial perlu mengambil tanggung jawab dan mereka perlu menegakkan kebijakan yang telah mereka miliki mengenai konten. Kita perlu menyingkirkan konten-konten berbahaya ini dari platform sosial media.

Kedua, penegak hukum perlu meningkatkan penindakan terhadap para pelaku karena semakin lama durasi penangkapan dan pendakwaan, semakin mungkin pula banyak masyarakat terpapar oleh jejaring ini.

Saya pikir adalah hal yang penting untuk menyampaikan pesan bahwa siapa pun yang mengonsumsi konten tersebut akan berhadapan dengan konsekuensi hukum, bukan hanya bagi para pengelola, tetapi juga bagi para penonton.

Mewakili Action for Primates, rencana apa yang Anda dan organisasi ingin capai dalam kaitannya dengan konservasi primata?

Kami adalah sebuah proyek yang mengampanyekan isu primata non-manusia secara global, dan melawan eksploitasi serta persekusi mereka.

Saya pribadi telah bekerja selama beberapa dekade dengan isu-isu primata, khususnya monyet ekor panjang, spesies primata yang paling diperdagangkan.

Umumnya mereka digunakan untuk kepentingan tes riset. Ada ribuan monyet ekor panjang secara global yang diekspor di seluruh dunia, termasuk dari Indonesia.

Kita tahu bahwa tahun lalu AS mengimpor beberapa ratus monyet ekor panjang yang ditangkap dari alam liar. Jadi kami tertarik secara khusus terhadap isu perdagangan monyet ekor panjang, apalagi karena mereka telah mendapatkan status genting (endangered) dari IUCN Red List.

Ke depan, kami ingin terus fokus terhadap isu primata secara umum dan global, seperti pada isu konservasi, kerusakan habitat, dan dampak negatif oleh manusia melalui perburuan.

Kami juga tertarik untuk terus mengampanyekan isu perdagangan dan transportasi monyet, khususnya monyet ekor panjang untuk kepentingan penelitian.

Kami ingin melobi pemerintah untuk melindungi spesies ini, misalnya untuk di Indonesia. Karena setelah ada perlindungan, baru kita akan melihat perbaikan terhadap situasi mereka.

Seekor anak monyet ekor panjang yang diikat oleh tali. | Foto: Animal Friends Jogja/Action for Primates melalui Sarah Kite.
Seekor anak monyet ekor panjang yang diikat oleh tali. | Foto: Animal Friends Jogja/Action for Primates melalui Sarah Kite
5 1 vote
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments
Burung perkici tengah bertengger di tiang besi yang disediakan oleh sang penjual di Pasar Burung Pramuka, Jakarta Timur. | Foto: Bayu Nanda/Garda Animalia
Liputan Khusus

Gardaanimalia.com – Hiruk pikuk suara burung menyeruak dari kandang-kandang jeruji yang didisplai di depan-depan kios serta lapak para…