Gardaanimalia.com – Dalam kasus perdagangan satwa liar, termasuk burung kakatua, penentuan apakah burung yang diperdagangkan adalah tangkapan liar atau hasil penangkaran sering menjadi pertanyaan. Padahal status tersebut merupakan kunci penting dalam menentukan legalitas transaksi yang terjadi.
Para ahli ekologi dari Laboratorium Forensik Konservasi dari Divisi Penelitian untuk Ekologi dan Keanekaragaman Hayati di University of Hong Kong (HKU) berupaya untuk menemukan alat khusus. Mereka telah berhasil menciptakan terobosan untuk mendeteksi asal kakatua jambul kuning (Cacatua sulphurea). Burung dengan status kritis ini sering menjadi satwa yang diperdagangkan secara ilegal. Padahal menurut data IUCN, populasinya tinggal kurang dari 2.500 ekor saja di alam.
Sejak tahun 2005 silam, spesies ini juga masuk dalam Appendix I dari CITES. Artinya, siapa pun tidak boleh menangkap dan memperjualbelikan burung dengan nama ilmiah Cacatua sulphurea yang ditangkap dari alam.
Baca juga: Maleo, Si Burung Langka yang Dikenal Romantis dan Setia
Untuk memastikan asal burung, para peneliti menggunakan teknik isotop stabil. Astrid Andersson, penulis dalam studi ini, menyatakan dia menganalisis isotop stabil (stable isotope analysis/SIA) dan analisis isotop stabil khusus senyawa (compound-specific stable isotope analysis/CSIA) pada bulu kakatua jambul kuning liar dan tangkaran.
Hasilnya, nilai isotop karbon dan nitrogen kakatua liar dan penangkaran sangat berbeda. Itu artinya kakatua yang hidup di alam dan yang ada dipenangkaran mengonsumsi tanaman maupun protein yang berbeda. Selain itu, isotop terkait enam asam amino pada kakatua jambul kuning liar dan hasil tangkaran juga berbeda.
“Hasil studi kami menunjukkan bahwa SIA bersama dengan CSIA menghadirkan alat yang ampuh bagi otoritas pemerintah dalam upaya mereka untuk mengatur perdagangan satwa liar,” jelas Andersson seperti dikutip dari National Geographic Indonesia.