Gardaanimalia.com – Kasus penyelundupan 78 ekor satwa yang diangkut menggunakan KM Bahari II tujuan Jakarta-Pontianak pada Januari lalu telah memasuki agenda persidangan di Pengadilan Negeri Pontianak sejak tanggal 14 Mei 2020.
Pengungkapan kasus ini bermula pada hari Rabu, 15 Januari 2020 sekitar pukul 09.40 WIB, bertempat di alur Sungai Kapuas tepatnya pada koordinat 00°00’09” S – 109°19’24” T Kota Pontianak, Provinsi Kalimantan Barat, terdakwa atas nama Eka Bagus Bin Subur kedapatan menyimpan dan mengangkut satwa yang dilindungi dalam keadaan hidup oleh petugas Lantamal XII Pontianak.
Puluhan satwa yang berhasil diamankan pada saat penindakan adalah Kakaktua jambul kuning berjumlah 7 ekor, burung Kakatua jambul merah 4 ekor, burung Nuri hijau 1 ekor, burung Nuri hitam kecil 4 ekor, Kanguru papua 1 ekor, ular Sanca kuning 11 ekor, ular bewarna biru 8 ekor, Kadal lidah hijau 27 ekor, Kura-kura moncong babi 13 ekor, serta anjing jenis Cihuahua dan Husky masing-masing 1 ekor.
Persidangan kasus denga nomor perkara 256/Pid.B/LH/2020/PN Ptk sudah dimulai sejak Kamis, 14 Mei 2020 lalu. Terdakwa tercatat tidak hadir sebanyak dua kali. Yakni, pada tanggal 14 Mei 2020 dan 28 Mei 2020. Namun, pada sidang berikutnya, Kamis (18/6) terdakwa yang merupakan ABK bertanggung jawab di bagian kargo KM Bahari II ini akan hadir dengan agenda sidang pembacaan tuntutan oleh Eka Hermawan, S.H.,M.H. selaku Jaksa Penuntut Umum.
Kasus penyelundupan satwa liar dalam jumlah besar ini telah menjadi perhatian masyarakat khususnya penggiat lingkungan. Salah satunya Pramudya dari Perkumpulan Pembela Satwa Liar (PSL), Kordinator Wilayah Kalimantan Barat.
“Kami akan terus memantau dan mengawal proses persidangannya,” ujar Pramudya, kemarin. Mengingat, kata Pramudya, puluhan satwa yang diselundupkan tersebut sebagian besar adalah jenis satwa dilindungi yang bersifat endemik.
Dari 78 satwa yang diamankan, hanya 32 yang terdata di dalam perkara sebagai barang bukti, yakni 6 ekor burung Kakatua jambul kuning (Cacatua suplhurea), 6 ekor burung Kakatua koki (Cacatua galerita), 2 ekor burung Kakatua maluku (Cacatua mehalorynchus), 13 ekor Kura-kura moncong babi (Carettochelys insclupta), dan 4 ekor Biawak kuning (Varanus milenus). Barang bukti yang disita tersebut didominasi jenis burung.
Menurut Pramudya, saat ini perdagangan satwa liar kian masif, khususnya satwa jenis burung kakatua. Maraknya perdagangan dan perburuan satwa liar merupakan ancaman besar terhadap keberlangsungan hidup keanekaragaman hayati di masa mendatang.
“Setiap tahunnya, perdagangan satwa cenderung semakin meningkat. Di pasar-pasar burung lokal, burung kakatua tersebut diperdagangkan dengan kisaran harga 2-4 juta Rupiah. Sedangkan di pasar internasional, burung ini dibanderol dengan kisaran 20-32 juta Rupiah,” bebernya.
Dikatakan Pramudya, dari enam jenis burung Kakatua di Indonesia, yang statusnya paling terancam punah adalah jenis Kakaktua jambul kuning (Cacatua sulphurea).
Menurutnya, ancaman kepunahan burung Kakatua dikarenakan jenis endemik atau hanya ada di suatu wilayah tertentu. Selain itu, perkembangbiakan burung Kakatua ini sangat lama dan berbanding dengan tingkat perburuan dan perdagangan yang sangat tinggi.
Selain burung Kakatua, jenis burung yang paling diminati adalah burung Betet kelapa paruh besar (Tanygnathus megalorynchus). Burung ini tersebar luas dan terpencar di wilayah kepulauan Sulawesi, Maluku, Nusa Tenggara dan Papua.
Karakteristik burung betet ini, selain mempunyai warna yang unik, suaranya juga dapat meniru suara manusia apabila dilatih dengan baik. Karena penyebarannya hanya di wilayah tertentu, dan keunikan yang khas membuat burung ini banyak diminati para penghobi burung berkicau.
“Berdasarkan hasil survei pada tahun 2019, terdapat sebanyak 93 toko atau kios burung hampir semuanya memperdagangkan burung jenis betet. Burung ini diperoleh dari Indonesia bagian timur, kemudian dikirim dan transit di pulau Jawa (Semarang dan Surabaya), kemudian langsung menuju ke pulau Kalimantan dan Malaysia,” paparnya.
Selain jenis burung, satwa jenis reptil seperti Labi-labi atau Kura-kura Moncong babi (Carettochelys insclupta) juga sangat diminati. Jenis satwa ini merupakan salah satu reptil asli Indonesia yang status keberadaannya terancam punah.
Sebagai satwa asli Indonesia, persebaran satwa ini hanya ada di wilayah Papua bagian selatan mulai dari Timika, Asmat, Mappi, Boven Digul, Yahukimo dan sebagian kecil wilayah Merauke. Selain itu, satwa ini juga dapat dijumpai di sebagian wilayah Papua Nugini bagian selatan dan Australia bagian utara.
Di pasar dunia, negara yang sering menerima satwa ini adalah Singapura, Hongkong, Taiwan dan China. Selain untuk dijadikan peliharaan sebagai satwa eksotis juga menjadi menu santapan di restoran dengan kisaran harga yang cukup tinggi.
Di pasar internasional, harga Kura-kura moncong babi berkisar antara 500-800 ribu Rupiah per ekornya. Ukuran yang mencapai 35 cm kisaran harganya bisa 5 juta Rupiah per ekor.
Kemudian, reptil lainnya adalah Biawak kuning (Varanus melinus). Berdasarkan dari hasil penelusuran, satwa ini banyak diperdagangkan melalui media sosial dan forum jual-beli (e-commerce) dengan kisaran harga Rp 620.000 hingga Rp 1.700.000 untuk setiap ekornya.
Dikatakan Pramudya, perdagangan satwa liar jenis ini sangat dilarang berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya yang dijabarkan pada Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.106/MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/2018 tentang Tumbuhan dan Satwa Liar yang Dilindungi dengan ancaman pidana maksimal 5 tahun penjara dan dengan 100 juta Rupiah.
“Oleh sebab itu, pelaku yang telah menyelundupkan satwa dilindungi dalam jumlah besar ini, apalagi banyak yang digolongkan teracam punah harus mendapat konsekuensi yang benar-benar berefek jera dan dapat dijadikan pembelajaran bagi pelaku-pelaku lain dengan menjatuhi hukuman maksimal,” pungkas Pramudya selaku perwakilan Perkumpulan Pembela Satwa Liar wilayah Kalimantan Barat.