Gardaanimalia.com – Kejahatan perdagangan ilegal satwa liar menjadi ancaman besar bagi keberadaan keanekaragaman hayati di Indonesia. Kehilangan biodiversitas akibat kejahatan ini memiliki dampak besar terhadap kerugian negara maupun kepunahan banyak spesies di Indonesia. Oleh karena itu, perdagangan ilegal satwa liar kemudian dikategorikan sebagai ‘kejahatan serius’ (serious crime) oleh United Nations Convention on Transnational Organized Crime (UNTOC) dalam London Conference pada tahun 2012.
Di Indonesia, kejahatan perdagangan ilegal satwa liar telah bertransformasi menjadi kejahatan yang terorganisasi dan berbasis elektronik. Bahkan sekarang, kejahatan ini menduduki posisi ketiga sebagai kejahatan terbesar setelah narkoba dan perdagangan manusia. Tak main-main kerugian yang negara akibat kejahatan ini mencapai Rp 13 triliun setiap tahunnya.
Selama lebih dari 30 tahun, UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya telah menjadi garda terdepan dalam pelindungan terhadap keanekaragaman hayati di Indonesia termasuk pemberantasan terhadap kejahatan perdagangan ilegal satwa liar. Namun, aturan yang sudah uzur ini dinilai sudah tak mampu lagi menjawab tantangan pelindungan terhadap keanekaragaman hayati terlebih dalam upaya memberantas dan mencegah kejahatan terhadap satwa liar. Beberapa ketentuan di dalam UU No. 5 Tahun 1990 untuk menjerat pelaku kejahatan terhadap satwa liar sudah tidak relevan lagi untuk mengatasi perkembangan modus-modus dan perkembangan teknologi. Penguatan aspek penegakan hukum melalui revisi UU No. 5 Tahun 1990 menjadi persoalan mendesak yang tak bisa ditunda lagi.
Pada Januari 2021 melalui Sidang Paripurna ke-XI, Anggota DPR RI menetapkan RUU Konservasi ke dalam daftar Prolegnas Prioritas 2021. Tentu saja ini menjadi harapan baik terlebih revisi UU Konservasi telah lama diperjuangkan. Meski demikian, catatan-catatan kritis untuk substansi yang lebih kuat tetap perlu disampaikan. Tujuannya agar ketika draft revisi RUU Konservasi diketok palu, aturan yang baru mampu menjawab tantangan perlindungan terhadap keanekaragaman hayati.
Rika Fajrini. S.H., M.GES, Peneliti Hukum Lingkungan Indonesian Center for Enviromental Law (ICEL), memaparkan salah satu aspek penegakan hukum yang perlu menjadi perhatian serius ialah terkait dengan pemulihan. Pemulihan yang dimaksudkan tidak hanya menyasar pada ekosistem atau kawasan tetapi juga pemulihan terhadap spesies korban perdagangan ilegal. Aspek pemulihan ini yang belum ada di dalam UU No. 5 Tahun 1990 dan tidak tercantum juga di dalam draft Revisi UU Konservasi (versi hasil Baleg 5 Desember 2017).
“Draft revisi RUU Konservasi belum mencantumkan tanggung jawab pemulihan kepada pelaku kejahatan. Pengaturan pemulihan yang ada baru merupakan tanggung jawab yang melekat pada pemerintah dan lebih menyasar kepada ekosistem atau kawasan habitat,” papar Rika saat berdiskusi dengan Garda Animalia melalui sambungan telepon beberapa waktu yang lalu.
Baca juga: Kejahatan Satwa Meningkat, Revisi UU Konservasi Tidak Bisa Ditawar!
Padahal menurutnya, jika berbicara terkait upaya konservasi yang berkelanjutan maka tanggungjawab pemulihan juga perlu diterapkan sebagai sanksi bagi pelaku kejahatan. Selama ini jika terjadi satu tindak kejahatan perdagangan ilegal satwa liar, pelaku hanya dijatuhi hukuman penjara ataupun denda. Sementara, terkait satwa yang disita dari tindak kejahatan justru harus ditanggung oleh negara atau bahkan organisasi konservasi. Padahal, tidak sedikit biaya dibutuhkan untuk melakukan rehabilitasi sampai satwa itu dilepasliarkan.
Rika menyampaikan perlunya perubahan perspektif yang mendasar antara UU No. 5 Tahun 1990 dengan RUU Konservasi yang baru. Di dalam UU No. 5 Tahun 1990, pemulihan bagi spesiesnya tidak banyak disinggung. Ini karena undang-undang tersebut menggunakan perspektif bahwa spesies dilindungi yang terluka itu tidak bisa dipulihkan. Sebab, di dalam penjelasannya dikatakan sebagai irreversible. Sehingga solusi atas kejahatan terhadap satwa adalah dengan memberikan sanksi yang seberat-beratnya terhadap pelaku. Namun, bagaimana dengan satwa yang menjadi korban? Hal ini justru tidak dipersoalkan di dalam UU No. 5 Tahun 1990.
Persepektif yang demikian perlu diubah di dalam RUU Konservasi yang baru. Pemulihan terhadap satwa yang menjadi korban perlu ditetapkan. Jadi, selain mengatur terkait pemulihan bagi kawasan atau ekosistem, pemulihan juga harus menyasar kepada satwa atau spesiesnya. Yang tak kalah penting, di dalam RUU Konservasi yang baru perlu menetapkan tanggung jawab pemulihan ini kepada siapa. Ini yang secara tegas harus diatur dan dicantumkan secara eksplisit.
“Bagi kami yang paling penting adanya klausul di dalam UU yang menetapkan bagi pelaku kejahatan konservasi bertanggungjawab atas dampak kejahatannya dan dibebankan untuk melakukan tindakan atau biaya pemulihan,” tegas Rika.
Ia mencontohkan UU Konservasi yang diterapkan oleh negara tetangga kita, Malaysia. “Kita bisa mengambil contoh dari misalnya Malaysia. Dalam UU terkait konservasi secara eksplisit disebutkan seluruh biaya perawatan satwa hasil kejahatan ilegal wildlife trade menjadi tanggung jawab pelaku kejahatan sehingga ini menjadi lebih clear,” imbuhnya.
Rika, yang kini sedang aktif mengembangkan gugatan perdata terkait tanggungjawab pemulihan bagi kejahatan ilegal wildlife trade, juga menekankan perlunya pengaturan terkait kriteria baku kerusakan dalam kasus-kasus perdagangan ilegal satwa liar. Batasan seperti apa yang membuat kejahatan perdagangan ilegal satwa ini dikatakan sudah merusak lingkungan sehingga perlu dilakukan pemulihan. Hasil kajian yang dilakukan bisa saja terkait kriteria baku kerusakan yang dihubungkan dengan status perlindungan spesiesnya. Misalnya, apabila ada spesies yang diambil, meskipun hanya satu, itu sudah dapat dikategorikan merusak lingkungan. Batasan ini penting agar di dalam proses pembuktian tidak lagi menimbulkan perdebatan di antara penegak hukum dan penggiat konservasi.
Selain itu, RUU Konservasi secara substansi juga perlu mencantumkan komponen pemulihan yang menyasar pada spesies atau satwa.
Baca juga: Ekosida: Kejahatan Luar Biasa Terhadap Satwa dan Lingkungan Hidup
“Kalau berdasarkan buku panduan yang telah kami susun, pemulihan terhadap spesies kita golongkan menjadi tiga kerugian yang harus dipulihkan. Pertama, pemulihan terhadap individu spesies itu sendiri. Kedua, pemulihan terhadap kemampuan kelompok spesies itu untuk beregenerasi menjadi berkurang. Ketiga, pemulihan terkait dengan jasa ekosistem yang disediakan oleh spesies ini termasuk jika spesies ini memiliki nilai-nilai budaya,” papar Rika.
Meski demikian, Rika tidak menyarankan bentuk pemulihan ditetapkan rigid di dalam undang-undang karena akan sangat bergantung pada kasusnya. Ia khawatir jika bentuk pemulihannya ditetapkan secara rigid justru akan membatasi tindakan pemulihan itu saja yang diperbolehkan. Hal ini akan menyulitkan upaya pemulihan dan mungkin saja justru akan tidak tepat sasaran.
Sebagai masukan terhadap pembahasan draft revisi RUU Konservasi, Rika juga mengharapkan bahwa sanksi pemulihan ini perlu diterapkan di semua aspek penegakan hukum. Tidak hanya terbatas pada gugatan perdata tetapi juga pada sanksi pidana sebagai sanksi tambahan juga di dalam aspek sanksi administrasi.
“Terkait dengan sanksi pemulihan ini perlu dimasukkan ke dalam semua lini penegakan hukum. Di penegakan pidana, sanksi pemulihan dimasukkan ke dalam sanksi pidana tambahan. Kemudian di dalam sanksi administrasi mengenal adanya paksaan dari pemerintah yang mengatur kewajiban melakukan pemulihan bagi pemegang izin yang melakukan kejahatan terhadap satwa liar. Ini menjadi menarik misalnya untuk diterapkan pada lembaga penangkaran, lembaga konservasi, kebun binatang. Selain itu, membuka juga kran gugatan perdata bagi organisasi lingkungan atau organisasi konservasi untuk bisa meminta tindakan atau biaya pemulihan bagi satwa korban kejahatan perdagangan ilegal,” pungkasnya.