Menjarah
Menjarah
Menjarah
Ulasan

Urun Daya Menyelesaikan Masalah Buaya dan Manusia

804
×

Urun Daya Menyelesaikan Masalah Buaya dan Manusia

Share this article
Buaya di kandang rehabilitasi PPS Alobi sedang berebut pakan yang dilempar petugas. | Foto: Finlan Aldan/Garda Animalia
Buaya muara di kandang rehabilitasi PPS Alobi sedang berebut pakan yang dilempar petugas. | Foto: Finlan Aldan/Garda Animalia

Gardaanimalia.com – Setelah 80 tahun tanpa konflik, Arjo menjadi korban pertama interaksi negatif dengan buaya muara (Crocodylus porosus) di desanya.

Tangan kanannya putus digigit seekor buaya ketika Ia sedang memasang jaring di aliran sungai bekas tambang rakyat.

pariwara
usap untuk melanjutkan

Ia mengutarakan kisahnya ketika diundang sebagai penanggap di acara Diskusi Publik Konflik Buaya Muara dan Manusia di Bangka Belitung pada 28 Februari 2024 lalu.

“Masang [jaring] kedua, baru terjadi [konflik],” kata Arjo.

Arjo menegaskan, serangan yang dialaminya merupakan akibat dari maraknya tambang timah yang masuk ke dalam aliran sungai. Sebelum pertambangan masuk ke desanya, tidak satu pun masyarakat pernah berkonflik dengan buaya muara.

“Sungai rusak, dibuka lahan tambang itu,” katanya.

Hal senada diutarakan oleh seorang audiens Diskusi Publik, Alza Munzi, yang merupakan warga Kecamatan Pangkalbalam, Kota Pangkalpinang. Ia mempertanyakan mengapa belakangan buaya ada di seluruh penjuru Bangka.

“Saya lahir sejak tahun 80-an. Sampai tahun 2000 itu, saya belum pernah melihat buaya… dan rumah saya di pinggir sungai,” katanya.

Ia baru menyaksikan sendiri keberadaan buaya setelah bekerja menjadi jurnalis pascatahun 2000, ketika Ia diminta meliput topik mengenai satwa tersebut.

“Artinya apa? Buaya itu muncul ketika ada pertambangan,” katanya.

Diskusi Publik Konflik Buaya Muara dan Manusia sebagai bagian dari diseminasi hasil liputan Membagi Muara untuk Buaya dan Manusia. | Foto: Dok. Garda Animalia
Diskusi Publik Konflik Buaya Muara dan Manusia sebagai bagian dari diseminasi hasil liputan Membagi Muara untuk Buaya dan Manusia. | Foto: Dok. Garda Animalia

Sebagai konteks, pertambangan timah rakyat di Bangka Belitung baru muncul bersamaan dengan dilepaskannya timah dari status komoditas strategis negara pada 1999.

Ini adalah satu tahun sebelum Alza mengklaim pertama kali melihat buaya di kampung halamannya. Berarti, mulai 1999 penambangan timah bisa dilakukan oleh pihak swasta dan masyarakat.

Hal tersebut memicu lonjakan jumlah penambang rakyat. Pada 2002, terdapat sekitar 130.000 warga Bangka Belitung yang bekerja di Tambang Inkonvensional (TI), sebutan untuk tambang ilegal.

Banyak di antara mereka bekerja di lubang tambang pinggir sungai, di lepas pantai, atau di dalam hutan mangrove. Seluruhnya merupakan habitat buaya muara.

Amatan masyarakat terhadap hubungan antara tambang timah dan jumlah konflik sesuai dengan temuan Garda Animalia.

Dalam presentasi di acara Diskusi Publik, tim jurnalis Garda Animalia menyebutkan terdapat 154 kasus interaksi negatif antara buaya muara dan manusia pada rentang 2016 hingga Agustus 2023.

Dari jumlah tersebut, kurang dari 30 persen kasus yang tidak memiliki hubungan dengan tambang timah. Mayoritas terjadi di daerah tambang timah, baik kepada penambang itu sendiri maupun warga lain yang beraktivitas di sekitar lokasi.

Seorang penambang rakyat sedang mandi di kolam bekas tambang. Buaya sering kali menampakkan diri di kolam tersebut dan sekitarnya. | Foto: Bayu Nanda/Garda Animalia
Seorang penambang rakyat sedang mandi di kolam bekas tambang. Buaya sering kali menampakkan diri di kolam tersebut dan sekitarnya. | Foto: Bayu Nanda/Garda Animalia

Pembentukan Satgas Tumbuhan dan Satwa Liar

Ketua Alobi Foundation Langka Sani juga mengatakan hal serupa mengenai dampak tambang terhadap meningkatnya jumlah konflik.

Alobi Foundation merupakan organisasi non-pemerintah yang mengelola Pusat Penyelamatan Satwa (PPS) satu-satunya di Bangka Belitung.

“Kalau bicara tentang konflik buaya dan manusia, sebenarnya kita sudah sangat terlambat. Karena apa? Daerah aliran sungai kita, daerah perairan kita, sudah tercemar akibat penambangan ilegal,” kata Langka.

Menurut Langka, pencemaran akibat tambang ilegal mengakibatkan buaya semakin masuk ke bagian dalam pulau, bahkan sampai ke perkotaan.

Karenanya, kasus interaksi negatif buaya dan manusia terjadi secara hampir menyeluruh di Bangka Belitung. Hal ini membuat Alobi Foundation kewalahan dalam melakukan penyelamatan buaya sebagai satwa yang dilindungi negara.

Menanggapi hal ini, Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Bangka Belitung Fery Afriyanto mengatakan sedang mempersiapkan pembentukan Satuan Tugas (Satgas) khusus penanggulangan konflik manusia dan satwa liar.

“Nanti akan diketuai oleh Kabid di DLHK, kemudian sekretarisnya Kepala Resort [BKSDA] di Bangka Belitung, dan untuk anggota salah satunya adalah Alobi,” kata Fery.

Saat ini, Fery mengutarakan, pihaknya telah merampungkan draf Surat Keputusan (SK) Gubernur terkait penetapan Satgas tersebut.

Sebelumnya, pembentukan Satgas telah ditetapkan dalam SK Gubernur pada 2020. Akan tetapi, pelaksanaannya di lapangan tidak berjalan lancar dan proses evakuasi buaya tetap dibebankan kepada pihak Alobi.

Langkah setelah Rehabilitasi

Langka mengapresiasi langkah DLHK untuk memperbarui pembentukan Satgas ini. Menurutnya, unit ini merupakan langkah konkret kolaborasi antarpihak untuk menangani permasalahan buaya di Bangka Belitung.

“Kita bekerja tidak sendiri. Solusinya adalah seluruh instansi berkolaborasi, khususnya DLHK, BKSDA, [dan] Alobi untuk memantapkan lagi Satgas tersebut,” kata Langka.

Ketika ada serangan, lanjutnya, “Kita datang, rescue buayanya, lakukan sosialisasi. Kemudian, buaya tersebut kita coba tampung di PPS dulu, sambil menunggu masalah pertimahan di Bangka ini selesai”.

Namun, pembentukan Satgas hanya setengah bagian dari penanganan konflik. Setelah buaya diselamatkan dan ditransitkan di kandang rehabilitasi di PPS Alobi, mereka harus dilepasliarkan kembali ke habitatnya.

Masalahnya, tidak ada tempat lepas liar layak di Bangka Belitung karena banyak aliran sungai sudah terjamah oleh aktivitas manusia.

Akibatnya, hampir semua buaya yang ada di PPS Alobi menetap di sana. Satu per satu buaya tersebut mati karena bertengkar satu sama lain.

Karena permasalahan ini, Langka menekankan pentingnya penetapan kawasan pelepasliaran buaya di samping penetapan Satgas konflik satwa liar.

Pada acara Diskusi Publik, Garda Animalia memaparkan rencana pemanfaatan eks-lahan tambang timah sebagai wilayah konservasi buaya di Kecamatan Merawang, Kabupaten Bangka. Rencana ini diprakarsai oleh pemerintah daerah provinsi pada November 2021.

Lokasi kawasan tersebut berjarak sekitar tiga kilometer dari PPS Alobi Foundation. Namun, sampai saat ini, belum ada tindak lanjut mengenai rencana tersebut.

Menanggapi soal kawasan lepas liar, Kepala DLHK Fery Afriyanto menyebut lokasi lain yang potensial menjadi kawasan pelepasliaran, yaitu di sekitar kawasan Taman Nasional Gunung Maras (TNGM). Kawasan tersebut berada di perbatasan Kabupaten Bangka dan Kabupaten Bangka Barat.

“Di sana ada sungai, di sana ada mangrove, mungkin bisa menjadi habitat [buaya]. Kita lepas liarkan di sana. Ini juga perlu proses, perlu sosialisasi ke masyarakat kalau memang ini pilihan kita ke depan,” kata Fery.

Buaya di kandang rehabilitasi Alobi bertengkar satu sama lain. | Foto: Finlan Aldan/Garda Animalia
Buaya di kandang rehabilitasi Alobi sering bertengkar satu sama lain. | Foto: Finlan Aldan/Garda Animalia

Opsi Titip Rawat Buaya

Kembali ke perihal evakuasi buaya, Herpetolog Senior Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Hellen Kurniati menawarkan opsi lain.

Hellen sepakat dengan proses evakuasi buaya. Akan tetapi, Ia memberikan usul untuk menitiprawatkan buaya yang berkonflik ke penangkaran milik industri peternakan.

“Solusi tepat adalah mengevakuasi buaya tersebut. [Buaya] bisa untuk sementara dititipkan di farm, penangkaran buaya,” Kata Hellen.

Menurutnya, penitipan di peternakan lebih aman untuk keselamatan buaya karena fasilitas tersebut memisahkan buaya berukuran besar dan kecil.

Oleh karena itu, buaya tidak berkelahi dan saling memakan satu sama lain. Pakan buaya pun terjamin dengan adanya ayam yang mati sebelum disembelih.

Terdapat satu peternakan ayam di Palembang yang telah bersedia menyediakan ruang penitipan buaya untuk meredakan konflik di Bangka Belitung, yaitu PT Vista Agung Kencana, anak perusahaan PT Charoen Pokphand Indonesia Tbk, yang beralamat di Palembang, Sumatra Selatan. 

Bagi Hellen, yang terpenting saat ini adalah meredakan konfliknya terlebih dahulu sebelum menentukan lokasi pelepasliaran buaya.

“Kalau menurun konfliknya, barulah kita mencari habitat untuk buaya yang akan dilepaskan, yang seperti tadi disediakan oleh Pemda,” kata Hellen.

Hellen menjelaskan, yang perlu menjadi prioritas utama ketika menentukan kawasan lepas liar adalah kepadatan ikan di sungai. Menurutnya, jangan sampai ada persaingan antara manusia dan buaya untuk mendapatkan ikan.

Hal ini sesuai dengan riset Garda Animalia yang menemukan bahwa aktivitas utama yang sedang dilakukan warga ketika diserang buaya adalah memancing, yaitu sebanyak 34 kasus. Terlebih, 24 dari 34 kasus konflik pada para pemancing ini terjadi di wilayah tambang timah.

Di samping itu, terdapat indikasi pergeseran perilaku buaya akibat krisis pakan. Hal ini disampaikan Ketua Alobi Foundation Langka Sani kepada Hellen.

Langka mengatakan, banyak laporan buaya memakan sesuatu yang bukan pakan alaminya, seperti bangkai hingga kerupuk beserta plastiknya.

Merespons hal itu, Hellen menyimpulkan bahwa buaya tersebut sudah sangat kelaparan. “Pada dasarnya, buaya itu tidak suka bangkai. Sampai dia mau bangkai itu berarti sudah lapar sekali kondisinya. Jadi sudah kritis,” kata Hellen.

Buaya yang kelaparan, menurut Hellen, akan menjelajah semakin jauh. Kemudian, buaya tersebut akan datang ke dekat tambang karena para penambang membuang sampah makanannya langsung ke sungai atau kolam bekas tambang.

“Itulah yang menjadi daya tarik buaya untuk datang [ke lokasi tambang]. Dia tidak dapat pakan alaminya di sungai, [yaitu] ikan. Di jalan, ada buangan organik dari para penambang, maka dia tidak akan jauh dari lokasi [tambang],” kata Hellen.

Seorang penambang terjun tanpa ragu menuju rakitnya di tengah kolam bekas tambang yang dihuni oleh buaya. | Foto: Bayu Nanda/Garda Animalia
Seorang penambang terjun tanpa ragu menuju rakitnya di tengah kolam bekas tambang yang dihuni oleh buaya. | Foto: Bayu Nanda/Garda Animalia

Pengelola Tambang Wajib Ikut Serta

Kepala DLHK Bangka Belitung Fery Afriyanto mengatakan bahwa pihaknya dapat menindak kasus interaksi negatif buaya muara dan manusia serta pertambangan timah yang berada di dalam kawasan hutan lindung.

Akan tetapi, kasus-kasus yang terjadi di lokasi lain, khususnya di wilayah konsesi pertambangan, bukan menjadi wewenangnya.

Dapat dilakukan pihaknya, menurut Fery, adalah memberikan masukan kepada bidang ESDM baik pada tingkat Kementerian maupun Dinas untuk menindaklanjuti isu tersebut. 

“Untuk tambang logam kewenangannya ada di Menteri ESDM. Pak Gubernur juga [telah] menyampaikan ke Menteri ESDM supaya membuat arahan khusus terkait dengan kegiatan pertambangan yang dampaknya cukup besar [kepada] lingkungan, manusia, dan satwa liar,” kata Fery.

Garda Animalia telah mengundang Kepala Dinas ESDM Bangka Belitung Amir Syahbana dan Kepala Bidang Komunikasi PT Timah Anggi Siahaan sebagai tamu undangan pada Diskusi Publik. Namun, keduanya tidak merespons undangan tersebut.

Belakangan, PT Timah sebagai pemilik konsesi pertambangan terluas di Bangka Belitung sedang terlilit isu korupsi yang melibatkan 14 tersangka dari mantan jajaran direksi perusahaan negara tersebut.

PT Timah diduga melanggengkan kerja sama dengan penambang ilegal setelah mengetahui bahwa pasokan bijih timah mereka lebih sedikit daripada perusahaan swasta.

Akibat kasus ini, banyak lahan IUP PT Timah dibiarkan untuk ditambang secara ilegal dan tidak direklamasi. Diketahui pula terdapat beberapa aktivitas tambang ilegal di dalam kawasan hutan yang berkaitan dengan kasus korupsi ini.

Total kerugian lingkungan dari kasus korupsi PT Timah mencapai 271 triliun rupiah.

Lanskap konsesi PT Timah di Desa Telak, Kecamatan Parittiga, Kabupaten Bangka Barat yang diklaim sedang dalam tahap reklamasi, tetapi justru ditambang secara ilegal oleh masyarakat. | Foto: Finlan Aldan/Garda Animalia
Lanskap konsesi PT Timah di Desa Telak, Kecamatan Parittiga, Kabupaten Bangka Barat yang diklaim sedang dalam tahap reklamasi, tetapi justru ditambang secara ilegal oleh masyarakat. | Foto: Finlan Aldan/Garda Animalia

Degradasi Lingkungan dari Kacamata Sejarawan

Merespons degradasi ekologis akibat praktik pertambangan timah, sejarawan Bangka Belitung Akhmad Elvian menegaskan bahwa tidak ada rekam sejarah yang mengatakan masyarakat Bangka Belitung menjadi kaya raya karena timah.

Dirinya mengutip catatan para Residen Belanda yang mengatakan bahwa yang menyejahterakan rakyat adalah perkebunan smallholding.

“Jadi, tidak ada rakyat yang kaya karena timah. Tidak ada. Rakyat Bangka itu makmur sejahtera karena smallholding. Karena lada, karena karet, karena tanaman perkebunan lainnya,” jelas Elvian.

Elvian juga menekankan bahwa pelestarian habitat buaya muara merupakan bagian dari kearifan lokal masyarakat Bangka Belitung.

Beberapa di antaranya adalah larangan untuk mandi di muara dan kuala yang merupakan tempat tinggal buaya. Ada juga larangan membawa daging ayam ke sungai.

Selain itu, dahulu masyarakat lokal juga telah melakukan konservasi terhadap rabeng, kawasan hutan pesisir yang saat ini dikenal sebagai mangrove. Kini, rabeng justru disusupi oleh kegiatan pertambangan.

“Dulu orang Bangka tidak menambang, tidak merusak alam, tidak merusak lingkungan, tidak mengubah kearifan lokal menjadi kebiadaban lokal,” kata Elvian.

 

Artikel ini adalah ulasan dari Diskusi Publik Konflik Buaya Muara dan Manusia yang diselenggarakan pada 28 Februari 2024 di Universitas Muhammadiyah Bangka Belitung. 

5 2 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments
Harimau di Pusaran Jerat Pemburu
Ulasan

Gardaanimalia.com – Beberapa waktu lalu, tepatnya pada 17 Oktober 2021, seekor harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae) berjenis kelamin betina…