Gardaanimalia.com – Macan tutul jawa atau macan kumbang adalah salah satu satwa endemik Pulau Jawa yang terancam punah. Bernama latin Panthera pardus melas, Macan tutul jawa dan macan kumbang merupakan sub-spesies yang sama dengan variasi warna yang berbeda. Macan kumbang berwarna hitam dengan pola tutul yang sama dengan macan tutul jawa. Macan ini juga merupakan satwa identitas provinsi Jawa Barat.
Kucing besar ini tersebar di hutan tropis, pegunungan dan kawasan konservasi Pulau Jawa. Populasi satwa pemangsa ini pada tahun 2015 diperkirakan berjumlah sekitar 500 ekor di alam liar. Berdasarkan daftar IUCN Status Red List, kucing ini berstatus kritis/Critically endangered (CR), yang artinya hanya satu langkah lagi menuju kepunahan.
Habitat menjadi salah satu faktor yang paling berpengaruh terhadap status konservasi Macan tutul jawa. Hal ini didukung oleh pernyataan dari Peneliti Ahli Utama Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Badan Litbang dan Inovasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Prof. Ris. Dr. Hendra Gunawan yang menyatakan bahwa macan ini hidup di habitat yang padat yaitu 332 jiwa/km2.
Satu macan tutul jantan membutuhkan daerah jelajah dari 6,4 hingga maksimal 35 km2. Aktifitas manusia merambah hutan untuk dimanfaatkan sebagai daerah industri ataupun pertanian, menambah konflik antara manusia dan macan tutul jawa. Tercatat pada April 2020 ada 58 kasus konflik macan tutul-manusia yang terjadi.
Langkah pemerintah untuk mengakomodasi permasalahan ini sudah dituangkan dalam Peraturan Menteri Nomor P.56/Menlhk/Kum.1/2016 tentang Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Macan Tutul Jawa Tahun 2016–2026.
Kepunahan salah satu jenis kucing besar di Pulau Jawa yaitu Harimau jawa atau Panthera tigris sondaica pada tahun 1980 menjadi pukulan agar tiap elemen masyarakat dapat menyikapi konservasi satwa di Indonesia dengan lebih serius. Hilangnya top predator di dalam suatu ekosistem dapat memicu masalah baru dalam keseimbangan rantai makanan.
Berikut adalah beberapa fakta menarik tentang perilaku Macan tutul yang wajib diketahui:
Si Penyendiri
Macan tutul terkenal suka hidup menyendiri. Berbeda dengan jenis kucing besar lainnya seperti singa maupun harimau yang hidup dan berburu secara berkelompok, macan kumbang terkenal suka bekerja dan hidup sendiri kecuali saat kawin dan membesarkan anaknya.
Hewan Nokturnal
Macan kumbang banyak menghabiskan waktu untuk beraktivitas pada malam hari. Perilaku ini didukung dengan pendengaran dan penglihatannya yang tajam. Tercatat pendengaran macan kumbang 6 kali lebih tajam dari pendengaran manusia. Sedangkan pada siang hari, Macan kumbang akan memanfaatkan waktunya untuk beristirahat.
Suka “Nongkrong” di Pepohonan
Macan kumbang senang bersantai dan mengintai mangsa dari pepohonan yang berkanopi rendah. Selain itu, setelah berhasil menangkap buruannya, Macan kumbang akan kembali membawa makanannya ke atas pohon untuk dilahap. Hal ini didukung oleh karakternya yang pandai memanjat serta melompat dengan jarak 6m secara vertikal dan 3m horizontal.
Baca juga: 9 Jenis Kucing Hutan Dilindungi yang Tidak Boleh Dipelihara
Pembunuh Handal
Macan kumbang dikenal sebagai pemburu handal karena karakteristiknya yang hanya membutuhkan usaha sekali terkam untuk melumpuhkan mangsanya. Setelah menerkam mangsanya, macan kumbang langsung memburu bagian leher untuk dipatahkan yang akan menyebabkan paralisis sehingga mangsa segera mati. Macan kumbang biasa memangsa hewan lain seperti, kijang, tikus (rodentia), babi liar maupun kancil.
Berbagi Teritori dengan Saudara
Anak macan kumbang yang baru lahir memiliki berat kurang dari 1kg. Mereka mulai latihan berjalan setelah usia 2 minggu dan akan berani meninggalkan sarang setelah berusia 6–8 minggu. Penyapihan terjadi setelah berusia 3 bulan dan macan kumbang dapat hidup mandiri saat usia 20 bulan. Biasanya, walaupun sudah hidup mandiri, macan kumbang dan saudara-saudaranya akan tetap saling mempertahankan hubungan dan berbagi teritori di tahun-tahun awal sebagai macan independen.
Pada tahun 2019 lalu, macan tutul dan macan kumbang tertangkap oleh kamera trap yang terpasang di daerah Balai Taman Gunung Nasional Halimun Salak, Bogor, Jawa Barat. Berdasarkan pernyataan dari pihak TGNHS, tidak ditemukan perangkap perburuan dalam kurun waktu 3 tahun terakhir. Wah, semoga populasinya semakin meningkat ya!