Gardaanimalia.com – Aliansi Mahasiswa Sambas dan masyarakat menggelar aksi damai pada Selasa (2/3/2021) di Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kalimantan Barat. Dalam aksi ini para mahasiswa dan masyarakat menuntut agar Jumardi (31), tersangka kasus jual beli satwa dilindungi, dibebaskan.
“Kami selaku mahasiswa tidak setuju atas tindakan yang diambil oleh BKSDA Kalbar atas penangkapan Jumardi dengan dasar tuduhan melakukan transaksi jual beli burung bayan walaupun satwa yang dilindungi,” kata Ketua Umum Ikatan Keluarga Mahasiswa Sambas (IKMAS) Pontianak, Iqbal Halim, sebagaimana dikutip dari laman Tribun Sambas.
Jumardi ditangkap oleh Polda Kalbar pada Februari lalu karena diduga memperniagakan satwa dilindungi yakni burung bayan (Psittaciformes). Pada saat penangkapan, petugas menyita sebanyak 10 ekor burung bayan.
Menurut masa yang melakukan aksi damai, tersangka tidak mengetahui bahwa burung yang dijual tersebut termasuk dalam satwa dilindungi. Sedangkan dari hasil pemeriksaan, Jumardi mengaku sudah tiga kali menjual burung dilindungi. Burung-burung tersebut didapatkan dari daerah Batu Ampar Kabupaten Kubu Raya.
“Sudah tiga kali dia (Jumardi) melakukan penjualan di media sosial,” ungkap Komandan SPORC BPPHLHK Kalimantan, Muhammad Siraj.
Ia juga mengatakan bahwa Jumardi menggunakan akun Facebook palsu untuk berjualan satwa dilindungi. Hal ini dinilai sebagai itikad yang tidak baik.
Baca juga: Polisi Amankan 2 Penjual Organ Tubuh Satwa Liar di Aceh
Menanggapi protes yang dilakukan untuk menuntut dibebaskannya Jumardi, Ratna Surya, Koordinator Advokasi Garda Animalia, menegaskan konsekuensi dari diterbitkannya suatu aturan hukum, masyarakat memang dipaksa untuk mematuhinya.
“Pada prinsipnya segala kejahatan yang dilakukan pasti akan berhadapan dengan proses hukum, itu konsekuensinya. Lagi pula di dalam teori hukum kita mengenal asas fiksi hukum dimana jika satu peraturan hukum itu telah diundangkan, maka setiap orang dianggap telah tahu hukum,” papar Ratna.
Ia menambahkan angka perdagangan ilegal satwa liar di Indonesia sangat tinggi, bahkan hari ini telah menempati posisi keempat sebagai kejahatan terbesar.
“Di dalam sistem hukum kita memang tidak dikenal alasan membebaskan pelaku kejahatan (yang telah terbukti di persidangan) karena pelaku tidak mengetahui telah melakukan kejahatan. Terlebih kalau kita berbicara terkait perdagangan ilegal satwa liar, kejahatan ini menempati posisi keempat sebagai kejahatan terbesar di Indonesia. Memerangi kejahatan ini merupakan hal yang tidak bisa ditawar lagi,” imbuhnya.
Terakhir, Ratna juga mengaku khawatir jika pelaku perdagangan satwa dilindungi dibebaskan oleh aparat penegak hukum, justru akan menjadi preseden buruk di masa mendatang.
“Saya khawatir jika aparat penegak hukum membebaskan pelaku hanya karena pelaku tidak tahu itu satwa dilindungi, akan menjadi preseden buruk di kemudian hari. Alasan yang serupa akan dengan mudah digunakan para pelaku agar mereka lepas dari jerat hukuman. Ini justru akan membuat upaya-upaya kita dalam memerangi kejahatan perdagangan ilegal satwa dilindungi menjadi semakin lemah,” pungkasnya.