Gardaanimalia.com – Sebagai upaya menjaga pelestarian burung serta habitatnya agar tidak terjadi kepunahan, Perhimpunan Pelestarian Burung Liar Indonesia (Burung Indonesia) kembali mengadakan kegiatan Asian Waterbird Census (ACW) 2023.
Kegiatan ini sebelumnya dilaksanakan selama dua hari, yakni pada 28 sampai 29 Januari 2023 kemarin, di Kawasan Suaka Margasatwa Pulau Rambut, Kabupaten Kepulauan Seribu, Provinsi DKI Jakarta.
Conservation Program Koordinator Burung Indonesia, Ferry Hasudungan menjelaskan, ACW 2023 merupakan kegiatan rutin setiap awal tahun. Hal itu untuk mengetahui kondisi dari tingkat perkembangan spesies burung, khususnya pada burung air yang menghuni Pulau Rambut.
Diketahui bahwa Kawasan Suaka Margasatwa Pulau Rambut, merupakan habitat bagi burung air dan darat untuk berkembang biak.
Ironisnya, tingkat perkembangannya mulai “diambang kepunahan” dan sangat memprihatinkan. Semua itu disebabkan karena berkurangnya habitat mereka untuk mencari makan.
Ferry mengatakan, sebelumnya para tim telah melakukan pelbagai kegiatan seperti pengambilan sampel feses burung untuk penelitian lebih lanjut. Hal itu bertujuan untuk mencari penyebab kendala yang sedang dihadapi para burung juga faktor ancamannya.
Lanjut dikatakan Ferry, dari hasil kegiatan tersebut diketahui ada 15 jenis kelompok burung air. Beberapa di antaranya adalah burung pecuk ular, pecuk padi, bangau bluwok, cikalang christmas, cangak abu, cangak merah, burung kowak malam, dan lainnya.
“Jadi dari hasil pantauan untuk populasi terbanyak masih didominasi oleh burung pecuk ular dan pecuk padi. Tercatat sekitar 106 burung dan ada kemungkinan bisa lebih karena mobilitas mereka masih terbilang cukup tinggi,” ujar Ferry, di Pulau Rambut, saat kegiatan Asian Waterbird Census 2023 (29/1/2023).
Dalam melakukan pemantauan burung, ada waktu tertentu yang dilakukan oleh tim, yaitu mulai pukul 5-6 sore. Hal itu dikarenakan rombongan burung-burung tersebut mulai beraktivitas keluar masuk kawasan Pulau Rambut.
“Kita juga melihat burung jenis pecuk ular sangat tinggi. Setelah kita cek dari menara, memang pecuk ular sebagian besarnya sedang breeding. Mereka banyak yang sedang bersarang dan sebagian kita lihat ada yang sudah menetaskan telurnya,” tukasnya.
Alih Fungsi Lahan Basah, Burung Air Sulit Cari Makan
Untuk saat ini, populasi dari spesies seperti burung air yang tinggal di Kawasan Suaka Margasatwa Pulau Rambut semakin berkurang.
Kencangnya pembangunan mengubah fungsi lahan basah yang sebelumnya adalah habitat para burung untuk mendapatkan sumber makanan. Kini, habitat mereka menjelma menjadi sebuah jalan dan gedung bangunan.
Seperti yang ada di daerah Pantai Indah Kapuk (PIK) Jakarta. Perubahan itu tentunya menjadi ancaman dan tidak menutup kemungkinan memaksa mereka pergi meninggalkan Pulau Rambut ke daerah lain yang memiliki lahan basah yang cukup.
Menurut Ferry, salah satu penyebab populasi mereka berkurang adalah sulitnya para burung mendapatkan makanan. Biasanya burung air tidak lepas dari lahan basah yang ada di daerah tersebut.
“Dari hasil pantauan, kami mendapatkan tidak sampai ada 100 ekor burung yang biasanya beraktivitas ke daerah sana. Kemungkinan tersebarnya para burung pindah ke Pulau Jawa. Semua itu disebabkan karena adanya perubahan tempat mereka mencari makan di daerah itu, yang nanti disebut calon PIK 3,” ungkapnya.
Lanjutnya, di sana sedang ada pembangunan jalan baru. Aktivitas menguruk beberapa lahan basah seperti tambak, rawa-rawa, dan rencana pembangunan perumahan masih terus berjalan. Hal itu kemungkinan yang bisa mempengaruhi pertumbuhan populasi burung di Pulau Rambut.
“Pulau Rambut dengan daerah tersebut memang tidak terlalu jauh. Ada kemungkinan mereka menjauh untuk mencari tempat makannya. Untuk jenis burung air yang belum berkembangbiak ada kemungkinan mereka bisa pergi, terkecuali indukan yang sedang bertelur dan yang sedang mengasuh anaknya, pastinya mau tidak mau akan kembali,” ucap Ferry.
Sejalan dengan ini, Conservation Partnership Adviser Burung Indonesia, Ria Saryanthi mengatakan, ancaman terbesar bagi para burung adalah kesulitan mencari makan. Apabila lahan basah sebagai tempat para burung bertahan hidup hilang, mereka pasti akan pergi.
Menurutnya, hampir semua burung air mencari makanan di tambak dan di hutan-hutan bakau. Jika habitat rusak, burung air yang terpaksa harus mencari makan berupa kepiting dan ikan di luar kawasan.
“Kalau semua itu hilang dan berubah, seperti menjadi lahan perumahan misalnya atau peruntukan lainnya. Mereka mau cari makan di mana lagi, mungkin akan lebih jauh mereka mencari makannya,” ujar Ria Saryanthi, saat ditemui di Pulau Rambut di kegiatan yang sama.
Ia menjelaskan, semua burung akan merasa aman jika pohon-pohon yang ada di kawasan tersebut masih tersedia. Biasanya, dalam berkembang biak burung air selalu hidup berkelompok karena lebih aman untuk mereka agar bisa saling menjaga.
Kabar baiknya, perkembangbiakan burung air masih terbilang cukup baik.
“Selama kegiatan ini dari tahun sebelumnya untuk peningkatannya di sini masih cukup baik dalam pengembangbiakan. Tapi secara umum, bisa kita lihat jika dihitung ada peningkatan. Mereka bertelur dua sampai tiga. Untuk yang menetas biasanya hanya satu saja dan sekarang bisa menetas semua” ungkap Ria Saryanthi.
Persoalan ini kemudian ditanggapi oleh Direktur Lingkungan Hidup, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Medrilzam.
Dirinya berpendapat, terkait kebijakan alih fungsi lahan basah, menurutnya merupakan fenomena yang sangat natural. Apabila ada pembangunan pasti berdampak ke hal lainnya, seperti burung-burung yang tinggal di Pulau Rambut.
“Dan itu pastinya berdampak, yang sekarang ini adalah mesti harus bisa dikelola dengan baik. Jika mereka sudah mengetahui itu dengan pembangunan seperti ini, sebenarnya harus bisa memahami itu. Saya sempat melihat dan kaget juga sih, begitu dekatnya antara PIK dengan Pulau Rambut, dan ini sangat dekat sekali,” ujar Medrilzam, saat ditemui di Pulau Rambut pada kegiatan Asian Waterbird Census (ACW) 2023, kemarin.
Ia menceritakan, kawasan yang sebelumnya merupakan tempat para burung-burung mencari makanan dulunya adalah sebuah rawa. Banyak burung-burung yang migrasi dari utara ke selatan, begitu pun sebaliknya.
“Sekitar 40 tahun yang lalu PIK itu masih berbentuk rawa. Hal ini tentunya bisa terbayangkan dengan perubahan yang signifikan seperti sekarang ini,” terang Medrilzam.
Menurutnya, apabila ada penurunan pada burung air itu merupakan fenomena yang sangat alamiah. Maka, tinggal bagaimana caranya untuk menangani persoalan itu.
Untuk saat ini, kata dirinya, yang terpenting dilakukan adalah menjaga kawasan Pulau Rambut terlebih dahulu. Apalagi jika melihat kawasan tersebut bersebelahan dengan Pulau Untung Jawa yang sudah berpenduduk.
Dalam pembangunan di PIK yang memaksa mengubah fungsi lahan basah menjadi tempat tinggal manusia, Ia menyarankan disediakannya ekosistem buatan. Seperti taman buatan atau menyediakan hutan mangrove.
“Untuk yang di PIK kalau saya melihat seharusnya dibuat ekosistem buatan. Harusnya sebelum memulai pembangunan Analisis Dampak Lingkungan (AMDAL) sudah terdeteksi dengan kondisi seperti yang ada saat ini. Saya juga tidak mengetahui AMDAL-nya seperti apa,” ungkap Medrilzam.
Upaya tersebut, menurut Medrilzam, bisa mengurangi dampak ancaman kepunahan. Artinya fungsi di sana itu mungkin harus dikuatkan.
“Jangan semuanya tiba-tiba jadi bangunan, jadi jalan dan sebagainya, namun fungsi ekosistemnya tidak berjalan dan harus dibuatkan sedemikian rupa,” tukasnya.