Mahkota Cenderawasih Bukan Untuk Cendera Mata

Gardaanimalia.com - Pada awal abad ke-16, kapal-kapal dagang bersandar di dermaga Cambay, India. Mereka baru saja mengarungi perjalanan panjang dari perairan paling timur Asia Tenggara sembari singgah di pulau-pulau dengan nama asing seperti Aru dan Tanimbar. Dari kapal-kapal itu, diturunkan kargo berisi barang-barang eksotik hasil transaksi dengan penduduk lokal. Di antaranya adalah tiga puluh potong pakaian dengan bulu-bulu kuning menyala dan satu tubuh burung awetan tanpa kaki dengan bulu yang sama kuningnya. Awetan burung itu memukau seluruh orang. Saking cantiknya, mereka mengira dia diturunkan langsung dari surga. Bird of paradise, sebut mereka.
Tomé Pires, seorang ahli obat Portugis, mencatat hal ini dalam bukunya Suma Oriental. Catatan ini menjadi bukti pertama perdagangan internasional burung cenderawasih.((Pires, T. 1944. The Suma Oriental of Tomé Piresof 1512-1515. McGill University Library (kontributor). London: The Hakluyt Society, 578 hal. Diakses dari https://archive.org/details/McGillLibrary-136385-182/page/n155/mode/2up pada 15 September 2021.)) Semenjak itu, permintaan bulu burung cenderawasih sebagai bagian dari mode terus meningkat.
Tren ini memuncak pada awal abad ke-20 ketika bulu cenderawasih menjadi busana kaum elit bagi orang Eropa dan Amerika Serikat.((Andaya, L.Y. 2017. “Flights of fancy: The bird of paradise and its cultural impact”. Journal of Southeast Asian Studies. 48(3): 372-389. DOI: https://doi.org/10.1017/S0022463417000546))((Kirsch, S. 2006. “History and the Birds of Paradise. Surprising Connections from New Guinea”. Penn Museum Expedition Magazine. 48(1): 15-21. Diakses dari https://www.penn.museum/sites/expedition/history-and-the-birds-of-paradise/pada 14 September 2021.)) Antara tahun 1905 dan 1920, 30.000 hingga 80.000 burung cenderawasih dibunuh setiap tahunnya untuk memenuhi permintaan pasar. Seluruh usaha untuk menghentikan kepunahan burung ini sia-sia. Namun beruntung, burung cenderawasih selamat karena tren busana bergeser dan permintaan pasar turun.((Andaya, L.Y. 2017. “Flights of fancy: The bird of paradise and its cultural impact”. Journal of Southeast Asian Studies. 48(3): 372-389. DOI: https://doi.org/10.1017/S0022463417000546))
Seratus tahun berselang setelah selamat dari kepunahan, kali ini burung cenderawasih bertemu ancaman baru. Tapi kali ini ancaman itu tidak datang dari negeri-negeri Eropa dan Amerika. Dia kebanyakan hadir dari orang-orang lokal yang tergiur dengan suvenir burung cenderawasih, baik dalam bentuk awetan maupun sebagai hiasan pada mahkota. Tidak sedikit cendera mata yang diselundupkan sebagai barang ilegal.((Tim Pembela Satwa Liar. 2021. “Karantina Pertanian Ternate Gagalkan Penyelundupan Awetan Cenderawasih”. Garda Animalia. Diakses dari https://gardaanimalia.com/karantina-pertanian-ternate-gagalkan-penyelundupan-awetan-cenderawasih/pada 15 September 2021.))((Tubaka, N. 2018. “Polisi Sita Puluhan Cenderawasih Awetan di Kepulauan Aru”. Mongabay. Diakses dari https://www.mongabay.co.id/2018/08/15/polisi-sita-puluhan-cenderawasih-awetan-di-kepulauan-aru/ pada 15 September 2021.))
Yang paling hangat adalah merebaknya isu kalau mahkota cenderawasih akan dijadikan cendera mata pada Pekan Olahraga Nasional (PON) XX yang dituanrumahi oleh Provinsi Papua pada awal Oktober mendatang.((co. 2021. “Beramai-ramai Tolak Mahkota Burung Cenderawasih sebagai Suvenir PON Papua”. Andryanto, S.D. (ed). Tempo. Diakses dari https://sport.tempo.co/read/1502394/beramai-ramai-tolak-mahkota-burung-cenderawasih-sebagai-suvenir-pon-papua pada 14 September 2021.)) Berbagai pihak secara tegas menolak ide ini. Penolakan berpusat pada kekhawatiran terhadap keberadaan cenderawasih yang sudah semakin langka. Gracia Josaphat Jobel Mambrasar, Duta Pembangunan Berkelanjutan Sustaniable Development Goals (SDGs) Indonesia, serta Tonny Tesar, Bupati Kabupaten Yapen, menyatakan bahwa populasi burung cenderawasih terus menurun dan pemberian hiasan cenderawasih sebagai cendera mata PON merupakan langkah yang tidak bijaksana.((co. 2021. “Beramai-ramai Tolak Mahkota Burung Cenderawasih sebagai Suvenir PON Papua”. Andryanto, S.D. (ed). Tempo. Diakses dari https://sport.tempo.co/read/1502394/beramai-ramai-tolak-mahkota-burung-cenderawasih-sebagai-suvenir-pon-papua pada 14 September 2021.)) Yang biasa dijadikan mahkota dan awetan, dengan bulu coklat dan ekor kuning-putih, adalah burung cenderawasih jenis Paradisaea. Jenis ini mencakup tujuh spesies yang di antaranya meliputi cenderawasih kuning-besar (Paradisaea apoda), cenderawasih kuning-kecil (Paraidsaea minor), dan cenderawasih raggiana (Paradisaea raggiana).((Irestedt, M., Jønsson, K.A., Fjeldså, A., Christidis, L., Ericson, P.G.P. 2009. “An unexpectedly long history of sexual selection in birds-of-paradise”. BMC Evolutionary Biology. 9: 235. DOI: https://dx.doi.org/10.1186%2F1471-2148-9-235))
Dalam IUCN Red List, diketahui bahwa seluruh spesies cenderawasih dalam jenis Paradisaea mengalami penurunan populasi. Tiga di antaranya masih berada dalam status kekhawatiran rendah (least concern), dua berada dalam status hampir terancam (near threatened), dan dua berada dalam status rentan (vulnerable). Status ini sebenarnya tidak memberikan gambaran yang utuh karena jumlah spesies cenderawasih sampai saat ini tidak diketahui secara pasti. Dengan tingginya perburuan, sangat memungkinkan kalau kondisi mereka jauh lebih buruk dibandingkan dengan yang dilaporkan. Pada Peraturan Menteri LHK No. P106 tahun 2018, seluruh spesies cenderawasih yang ada di Indonesia masuk ke dalam daftar hewan diindungi.((Republik Indonesia. 1990. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistem. Jakarta: Sekretariat Negara.))
Baca juga: Mengenai Pulau Jawa, Penjara Burung Terbesar di Indonesia
Sebenarnya sudah terdapat dua aturan pemerintah yang menegaskan bahwa transaksi produk cenderawasih tidak diperbolehkan. Yang pertama adalah UU 5/1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya yang diuraikan dalam Peraturan Menteri LHK No. P106 tahun 2018. Undang-undang ini menyatakan bahwa setiap orang dilarang untuk menyimpan dan memperniagakan hewan yang dilindungi baik dalam keadaan hidup maupun mati, termasuk cenderawasih di dalamnya. Aturan yang kedua adalah Surat Edaran Nomor 660.1/6501/SET tanggal 5 Juni 2017 oleh Provinsi Papua yang melarang penggunaan burung cenderawasih sebagai aksesoris dan cendera mata.((Suroto, H. 2021. “Kontroversi Mahkota Burung Cenderawasih Jadi Souvenir PON XX Papua”. detikTravel. Diakses dari https://travel.detik.com/travel-news/d-5712450/kontroversi-mahkota-burung-cenderawasih-jadi-souvenir-pon-xx-papua?_ga=2.179060525.841338112.1631610513-1456627288.1630390131pada 14 September 2021.)) Yang diperbolehkan dalam surat edaran ini hanya penggunaan burung cenderawasih asli dalam proses adat istiadat yang bersifat sakral.
Surga Itu Terancam Runtuh pada Sebuah Pekan Olahraga
Mahkota cenderawasih merupakan simbol kebesaran masyarakat adat Papua yang hanya boleh dikenakan oleh seorang tokoh adat wilayah pesisir atau kepala suku wilayah daerah pegunungan pada acara-acara tertentu saja.((Suroto, H. 2021. “Kontroversi Mahkota Burung Cenderawasih Jadi Souvenir PON XX Papua”. detikTravel. Diakses dari https://travel.detik.com/travel-news/d-5712450/kontroversi-mahkota-burung-cenderawasih-jadi-souvenir-pon-xx-papua?_ga=2.179060525.841338112.1631610513-1456627288.1630390131pada 14 September 2021.))((Mayor, R.J. 2021. “’Mahkota Cenderawasih Simbol Kebesara, Jangan Pakai Sembarangan di PON XX Papua’”. Merdeka. Diakses dari https://www.merdeka.com/peristiwa/mahkota-cenderawasih-simbol-kebesaran-jangan-pakai-sembarangan-di-pon-xx-papua.html pada 15 September 2015.)) Dahulu, bulu cenderawasih dipakai oleh prajurit-prajurit Papua sebagai simbol kekebalan. Oleh para wanita, bulu cenderawasih dikenakan sebagai lambang kesuburan.((Andaya, L.Y. 2017. “Flights of fancy: The bird of paradise and its cultural impact”. Journal of Southeast Asian Studies. 48(3): 372-389. DOI: https://doi.org/10.1017/S0022463417000546))
Namun, berawal dari interaksi suku Papua dengan bangsa Eropa, nilai dari seekor cenderawasih bergeser. Bulu burung ini awalnya dipakai sebagai hadiah kepada raja-raja Eropa. Lama kelamaan, dia dipakai sebagai alat tukar dengan barang-barang berharga lainnya. Dewasa ini, cenderawasih justru menjadi sekadar suvenir. Dalam kata-kata Rosaline Rumaseuw, Ketua Umum Cendikiawan Perempuan Papua, “mahkota ini telah hilang nilai budaya diganti dengan nilai ekonomi. Siapa saja dapat membelinya untuk digunakan pada festival-festival budaya.”((co. 2021. “Beramai-ramai Tolak Mahkota Burung Cenderawasih sebagai Suvenir PON Papua”. Andryanto, S.D. (ed). Tempo. Diakses dari https://sport.tempo.co/read/1502394/beramai-ramai-tolak-mahkota-burung-cenderawasih-sebagai-suvenir-pon-papua pada 14 September 2021.))
Jika mahkota cenderawasih benar-benar diberikan sebagai cendera mata, maka pemerintah seakan-akan mengaminkan kata-kata ini. Nilai kultural dan kesakralan dari mahkota cenderawasih akan jatuh hingga akhirnya pakaian ini hanya menjadi mode busana lainnya. Kita akan kembali pada abad di mana bulu cenderawasih sekadar menjadi jambul pada topi-topi bangsawan Eropa. Ironisnya, pemerintahlah yang bergerak sebagai promotor utama.
Lebih daripada itu, pemberian cendera mata akan memperlihatkan ketidakseriusan pemerintah terhadap usaha konservasi spesies yang dilindungi. Dengan menyebarluaskan produk hewan dilindungi, PON, sebuah acara nasional yang digelar oleh pemerintah Indonesia, akan melanggar peraturan yang dibuatnya sendiri.
Bisa jadi hanya akan ada satu atau dua mahkota yang disematkan selama PON XX berlangsung dan itu tidak mengganggu populasi cenderawasih secara langsung. Namun, ini tidak berarti masalah menjadi selesai. Dengan menampilkan cendera mata cenderawasih walaupun barang satu ekor, pemerintah memberikan lampu hijau kepada calon-calon oknum untuk memburu dan memperjualbelikan burung cenderawasih dengan lebih leluasa. Efek domino dari kegiatan ini seharusnya terlalu kentara untuk tidak dapat dilihat oleh para pemangku kebijakan.
Fakta bahwa beberapa spesies cenderawasih masih pada status kekhawatiran rendah (least concern) dalam daftar IUCN tidak dapat dijadikan alasan. Seperti yang telah dikatakan sebelumnya, rendahnya status burung cenderawasih dalam daftar IUCN lebih merefleksikan lemahnya penelitian cenderawasih ketimbang memperlihatkan populasi asli burung ini di alam liar. Lagipula, sebanyak apapun jumlahnya, hewan endemik seperti cenderawasih akan selalu lebih rentan punah karena mereka tersebar pada wilayah yang sangat terbatas.((Isik, K. 2011. “Rare and endemic species: why are they prone to extinction?”. Turkish Journal of Botany. 35(4): 411-417. DOI: http://dx.doi.org/10.3906/bot-1012-90))
Kabar baiknya, Bupati Jayapura, Mathius Awoitauw, menegaskan bahwa mahkota cenderawasih tidak akan diberikan sebagai cendera mata bagi peserta PON XX. Jika memang akan ada, yang akan diberikan adalah mahkota dengan bulu cenderawasih imitasi.((Wally, E. 2021. “Bupati Jayapura: Topi Cenderawasih tidak dikenakan pada tamu PON XX”. Jubi. Diakses dari https://jubi.co.id/papua-bupati-jayapura-topi-cenderawasih-tidak-dikenakan-pada-tamu-pon-xx/pada 15 September 2021.)) Namun, sampai benar-benar bisa dibuktikan bahwa mahkota cenderawasih tidak akan diberikan sebagai cendera mata, masyarakat dan pemerintah perlu tetap melakukan pengawasan agar tidak terjadi pelanggaran yang dapat membahayakan spesies burung cenderawasih manapun.
Ada kepercayaan di kalangan masyarakat adat Papua bahwa ketika sekarat, cenderawasih akan terbang ke arah matahari hingga dia kelelehan dan akhirnya jatuh ke Bumi.((Andaya, L.Y. 2017. “Flights of fancy: The bird of paradise and its cultural impact”. Journal of Southeast Asian Studies. 48(3): 372-389. DOI: https://doi.org/10.1017/S0022463417000546)) Jika kita tidak menghormati burung-burung surga ini, mungkin satu hari kita akan melihat mereka berbondong-bondong pergi ke sana. Sebagian akan mati dan jatuh kembali ke Bumi, sedangkan yang lainnya akan hangus terbakar dalam api. Mereka akan memilih untuk mati bersama-sama secara alami ketimbang dijerat dan dipereteli oleh tangan tamak manusia yang hanya melihat mereka sebagai pelumas gerigi ekonomi.
Surga akan runtuh di hadapan kita dan yang tersisa pada langit Papua hanya warna biru yang pucat pasi.

Tiga Ekor Kanguru Tanah Diselundupkan di Pelabuhan Jayapura
09/05/25
Tahap Kedua Pelepasliaran, 182 Ekor Kura-Kura Moncong Babi kembali ke Alam
30/04/25
FATWA: Satwa yang 'Bangkit dari Kepunahan'
17/03/25
Adakah Titik Imbang antara Pemanfaatan dan Perlindungan Kura-Kura Moncong Babi?
26/02/25
Petugas Gagalkan Penyelundupan Burung di Pelabuhan Laut Sorong
05/11/24
Barantin Gagalkan Penyelundupan 5 Satwa Dilindungi di Papua
26/09/24
Belum Disetujui Kejati, Tuntutan Kasus Penjualan Sisik Trenggiling di PN Kisaran Batal Dibacakan

Di Balik Layar "Lobi-Lobi Lobster", Merekam Kebijakan Tutup-Buka Ekspor BBL

Bagaimana, sih, Kondisi Burung di Indonesia Saat Ini?

Celah Menahun Pelabuhan Tanjung Perak, 19 Elang Paria Gagal Diselundupkan

Ingin Ungkap Penyalahgunaan Elpiji, Polisi malah Temukan 10 Satwa Dilindungi

Seorang Pria di Thailand Ditangkap karena Jual Dua Bayi Orangutan

Tanah Haram untuk Kawanan Gajah di Kebun Ban Michelin

Penjara Gajah di Tepi Kebun Karet Ban Michelin

Kasus Anak Gajah Tertabrak Truk di Malaysia, Pembangunan Tak Boleh Hambat Pergerakan Gajah

Seri Macan Tutul Jawa: Riwayat para Kucing Besar Tanah Jawa

FATWA: Burung Wiwik yang Enggan Menetaskan Telurnya

Seri Macan Tutul Jawa: Gunung Favorit Para Pendaki di Habitat Macan Tutul Jawa

Perdagangkan Siamang, Pelaku Ditangkap di Bojonggede

Tiga Ekor Kanguru Tanah Diselundupkan di Pelabuhan Jayapura

Telaga Paring, Orangutan yang Terjebak Banjir Besar di Kalteng Berhasil Dilepasliarkan

Sebelum Indonesia Merdeka, Ternyata Trenggiling Sudah Jadi Satwa Dilindungi

Tiga Individu Baru Badak Jawa Terdeteksi di Ujung Kulon

Ternyata Amir Simatupang Pernah Tawarkan Taring Harimau Seharga Rp50 Juta

Kabar Baik, Dua Ekor Harimau Lahir di Suaka Barumun!

Hampir setiap Malam Beruang Madu Berkeliaran di Kabupaten Abdya
