Menjarah
Menjarah
Menjarah
Edukasi

Cara Dokter Hewan Melacak Keadilan dari Bangkai Satwa Liar

99
×

Cara Dokter Hewan Melacak Keadilan dari Bangkai Satwa Liar

Share this article
Nekropsi seekor gajah sumatera yang diduga mati akibat terkena pagar listrik. | Foto: TPFF Aceh
Nekropsi seekor gajah sumatera yang diduga mati akibat terkena pagar listrik. | Foto: TPFF Aceh

Gardaanimalia.com – Belakangan, istilah “nekropsi” berjejalan di artikel pemberitaan seiring dengan maraknya kasus kematian satwa liar di penjuru Indonesia. Namun, istilah tersebut acapkali hanya menongol sepintas lalu tanpa ada uraian mendalam. Banyak orang sekadar tahu kalau ada tim ahli yang menggeledah bangkai hewan untuk proses pemeriksaan.

Padahal, nekropsi adalah kegiatan vital dalam proses penelusuran kejahatan terhadap satwa liar. Identifikasi alasan kematian satwa, pelacakan terduga pelaku, sampai penjatuhan hukuman di persidangan tergantung pada hasil kerja dokter hewan ketika melakukan nekropsi.

pariwara
usap untuk melanjutkan

Garda Animalia berkesempatan mewawancarai Rosa Rika Wahyuni, dokter hewan BKSDA Aceh, yang telah melakukan setidaknya 70 kali kegiatan nekropsi sejak 2010.

Ia juga sudah berulang kali menjadi saksi ahli dalam proses persidangan kejahatan terhadap satwa liar. Bersama Rosa, kami berbincang tentang tahapan proses nekropsi, kelihaian dokter hewan dalam membaca petunjuk di lapangan, sampai tanggung jawab saksi ahli di meja hijau.

Artikel ini berdampingan dengan liputan wawancara Garda Animalia bersama Rosa dengan judul “Daya Juang dan Tugas Moral Dokter Hewan Satwa Liar ” yang menelaah pergumulan sehari-hari seorang dokter hewan satwa liar.

Ragam Tahap Pemeriksaan

Tujuan nekropsi sederhana saja, yaitu mengetahui alasan kematian satwa. Namun, selalu ada motivasi lebih mendalam dari sebatas tahu alasan kematian satwa. Karenanya, nekropsi (atau autopsi, sama saja) dibagi menjadi tiga, yaitu nekropsi anatomi, nekropsi klinik, dan nekropsi forensik.

Nekropsi anatomi bertujuan untuk kegiatan edukasi, umumnya dilakukan di universitas dalam jenjang pendidikan dokter hewan.

Nekropsi klinik dilakukan untuk mengidentifikasi penyebab kematian satwa yang umumnya alamiah, misal pada satwa-satwa yang sakit selama masa perawatan atau pada satu populasi spesies yang mati bersamaan akibat suatu wabah.

Lalu, nekropsi forensik, adalah kegiatan nekropsi khusus yang berkaitan dengan kejahatan terhadap satwa, misal penyiksaan, perburuan, atau modus-modus lainnya. Tulisan ini akan fokus pada kegiatan nekropsi forensik.

Proses nekropsi dimulai bahkan sebelum jasad dibuka. Pertama, dokter hewan akan berkeliling melihat kondisi luar tubuh satwa. Apakah ada pendarahan di mulut? Pendarahan di bagian anus? Apakah ada luka tembak? Atau cucuk tombak? Setiap lubang, sayatan, dan gumpal darah bisa menjadi marka.

Dari pengecekan permukaan ini, dokter hewan dapat mulai menduga penyebab kematian satwa, walaupun proses kerja mereka masih sangat panjang untuk tiba ke kesimpulan.

Lalu, dibelahlah kulit sampai selaput dalamnya terlihat. Pada lapisan ini, dokter hewan bisa mengumpulkan informasi lanjutan. Misalnya, seberapa jauh perkembangbiakan belatung yang menggerogoti jasad. Laju pertumbuhan larva lalat bisa jadi rekam jejak perkiraan umur kematian satwa. Caranya adalah dengan menduga seberapa lama gerombolan lalat telah hinggap dan berkoloni di bangkai satwa. Dalam khazanah ilmu mayat, metode ini disebut sebagai entomologi forensik.

Setelah tuntas dengan lapisan ini, barulah dokter hewan berjelajah di antara organ-organ dalam rongga tubuh satwa. Rosa menegaskan, dokter hewan harus mengambil sampel organ sesempurna mungkin.

“Karena apa? Kita nggak akan balik lagi ke situ. Menuju [lokasi kematian satwa] saja sampainya sudah setengah hidup, bukan lagi setengah mati,” katanya.

Di Aceh, satwa mati di antah-berantah. Lembah-lembah curam, puncak perbukitan, pusat belantara. Beruntung, kata Rosa, jika satwa mati di tengah perkebunan sawit yang masih tertembus jalan setapak. Akan tetapi, kalau satwa mati di habitat aslinya di dalam rimba raya, hampir tidak mungkin tim bisa kembali ke lokasi untuk kedua kalinya.

Sampel organ yang dokter hewan ambil adalah material penting untuk mengetahui secara pasti musabab kematian satwa. Di laboratorium, sampel organ akan dijumput, diracik, dan ditelisik oleh para laboran.

Data yang keluar bisa berbagai macam, sesuai dengan pendekatan disiplin keilmuan apa yang mereka lakukan. Dalam histopatologi, yang dilacak adalah tingkat kerusakan jaringan yang diakibatkan oleh kehadiran zat invasif tertentu. Dalam toksikologi, ada pemeriksaan terhadap senyawa-senyawa beracun yang berpotensi membunuh satwa. Sementara, dalam mikrobiologi, berbagai wujud jasad renik diidentifikasi untuk mendukung dugaan alasan kematian.

Terakhir, ada pemeriksaan sampel DNA. Tujuannya untuk mengetahui kekerabatan satwa, apalagi jika ada lebih dari satu satwa yang mati di jarak yang berdekatan. Apakah gajah A dan gajah B berkerabat? Apakah harimau A dan harimau B adalah ibu anak? Yang bisa menjawabnya dengan pasti hanyalah uji DNA.

Mengobservasi Lokasi, Mengumpulkan Informasi

Proses observasi sampel di laboratorium adalah otoritas para laboran. Akan tetapi, dokter hewan tetap punya andil penting, yaitu menceritakan kondisi lapangan dari sampel yang akan dianalisis.

Penjelasan dokter hewan dapat meringkas durasi uji sampel yang normalnya bisa berlarut berbulan-bulan.

Rosa mencontohkan pada uji toksikologi. Mengikuti prosedur standar, laboran harus menguji 16 zat secara berurutan dengan total durasi analisis 1—2 bulan. Namun, jika dokter hewan dapat memberikan dugaan racun apa yang dia identifikasi di lapangan, proses analisis dapat dipangkas jadi 3—4 minggu.

“Misal, saya duga ini racun arsenik. Mereka (laboran) akan melakukan uji arsenik dulu. Padahal, kalau mereka mengikuti urutan, mungkin arsenik itu di urutan ke-10 (dari 16 uji toksikologi). Tetapi karena kita menduga dia arsenik, mereka langsung periksa. Uji yang lain tetap dilakukan, tetapi biasanya negatif,” terang Rosa, mengingat pengalamannya.

Meskipun dapat dipercepat, durasi ini tetap tidak bisa dikatakan singkat. Tidak mungkin mendapatkan hasil pasti dalam hitungan hari.

Durasi panjang ini pula yang menyebabkan informasi resmi tentang alasan kematian satwa terbit jauh setelah peristiwa terjadi. Kerap, Rosa ditanyai oleh para wartawan secara mendesak mengenai alasan kematian satwa. Hal ini tidak bisa ia lakukan. Yang mampu disampaikannya semata dugaan, entah itu karena racun, tertembak senapan, atau mati alami. Dugaan pun tidak selalu bisa ia sampaikan, apalagi untuk kasus-kasus yang rumit.

Persiapan nekropsi seekor harimau sumatera. | Foto: Andri Mardiansyah/Padang Viva
Persiapan nekropsi seekor harimau sumatera. | Foto: Andri Mardiansyah/Padang Viva

Tak Terbatas pada Tubuh Satwa

Prosedur nekropsi yang diuraikan di atas berlaku jika jasad satwa masih segar. Kulitnya masih kencang, organnya masih terpasang, tengkoraknya belum terpampang. Namun, kenyataannya, bangkai sering kali sudah membusuk. Jaringan lunaknya sudah meleleh. Organnya sudah dicabik predator setempat. Bahkan tidak jarang, yang tersisa tinggal putih tulang belulang.

Meskipun begitu, seperti pesan Rosa, dokter hewan harus tetap berusaha mengumpulkan sampel sebaik-baiknya, walaupun yang sebaik-baiknya itu kerap kali sudah jauh dari kata seadanya.

“Apa pun akan sangat berharga, walaupun tinggal helaian bulu,” kata Rosa.

Dari helai bulu itu, Rosa mengatakan, dokter hewan setidaknya dapat mengetahui galur genetik DNA-nya. Jika hanya tersisa belulang, dokter hewan paling tidak bisa mengidentifikasi perkiraan umur dan jenis kelaminnya. Himpunan tulang di lokasi juga bisa mengisyaratkan jumlah individu yang mati.

Kalau ada dugaan keracunan, tetapi tidak ada sampel organ yang layak untuk dikirim ke laboratorium, sampel tanah di sekitar bangkai satwa bisa diambil. Akan tetapi, prosedur ini hanya boleh dilakukan oleh tim penyidik kepolisian. Wewenang dokter hewan terbatas pada segala hal yang melekat pada tubuh satwa.

Tetap saja, dengan cakrawala yang lebih luas, yang bisa mengarahkan penyidik untuk mengambil sampel tanah tersebut adalah para dokter hewan.

Pada kasus-kasus seperti inilah jam terbang dokter hewan diuji. Derajat kepekaan mereka terhadap pengumpulan data berbanding lurus dengan sebanyak apa jasad satwa yang sudah mereka periksa.

Rosa, misalnya, pernah sampai mendorong pemeriksaan kuku tersangka yang diduga masih menyisakan zat racun yang dipakai untuk membunuh satwa.

“Kuku [tersangka] berwarna kebiruan, sementara racun ini warnanya agak keungu-unguan. Jadi memastikan bahwa zat itu sama dengan yang saya temukan di dalam organ pencernaan satwa,” terangnya.

Dengan bekal asam garam nekropsi, kepekaan seorang dokter hewan yang berpengalaman tidak terbatas pada gejala-gejala pada tubuh satwa saja, tetapi juga pada seluruh tanda dan pola tersembunyi di sekitar lokasi kejadian. Ranting patah, rerumputan yang tumbang, sisa bebuahan di tanah. Semuanya bisa jadi petunjuk penting. Seorang dokter hewan veteran bahkan hafal jenis-jenis selongsong peluru dan model senapan yang cocok dengan tanda luka pada tubuh satwa.

Karena sering berhadapan dengan kasus satwa yang mati keracunan, Rosa akrab dengan karakteristik berbagai jenis racun dan cara para pelaku menggunakannya. Untuk gajah, misalnya, dirinya paham kalau racun biasanya ditaruh di atas pohon dan diselubungi oleh buah-buahan berbau menyengat, seperti nangka dan cempedak yang mampu mengamuflasekan aroma racun.

Rosa juga tahu berbagai perilaku satwa ketika keracunan. Jasad gajah yang mati keracunan, katanya, lazim ditemukan di dekat sumber air. Sebabnya, setelah mengonsumsi racun, gajah akan merasakan sensasi sangat panas di sepanjang jalur pencernaannya.

Gajah juga ternyata bisa mati keracunan tanpa ada pihak yang secara sengaja ingin membunuhnya. Pupuk urea, contohnya, sangat disenangi gajah karena rasanya yang asin.

Rosa mengatakan, kalau dikonsumsi dalam jumlah sedikit, zat tersebut tidak akan berakibat fatal. Akan tetapi, gajah biasanya makan dalam jumlah besar sampai pada dosis mematikan. Pupuk urea yang ditaruh begitu saja di lahan perkebunan dapat jadi ancaman bagi nyawa gajah yang kebetulan lewat.

Nekropsi seekor gajah bernama Dwiki di Aek Nauli Elephant Conservation Camp. | Foto: Dokumen KSDAE
Nekropsi seekor gajah bernama Dwiki di Aek Nauli Elephant Conservation Camp. | Foto: Dokumen KSDAE

Tanggung Jawab atas Semua Keterangan

Urusan pupuk bisa jadi berlarut-larut di ruang sidang. Sebab, keterangan dokter hewan akan jadi sumber putusan untuk mendakwa seorang terduga pelaku.

Hukuman yang jatuh kepada seseorang akan berbeda jika pelaku sengaja meracuni gajah dengan bahan pupuk, atau sekadar teledor menyimpan bungkus pupuk sembarangan yang kemudian dikonsumsi gajah.

Di meja hijau, semua ucapan dokter hewan bisa jadi perpanjangan tangan nasib seseorang. Jika keterangan keliru, terduga pelaku bisa dinyatakan bersalah terhadap tuduhan yang sebenarnya tidak ia lakukan.

“Ada beban moral yang kita tanggung dari setiap keterangan yang kita beri, karena setiap keterangan akan memberi dampak kepada si pelaku,” jelas Rosa.

Contoh lain, terdapat kasus saat satu orang warga menemukan gajah yang sudah mati di kebunnya, lalu ia mengambil gadingnya. Hukumannya akan berbeda dengan seseorang yang dengan sengaja ingin mendapatkan gading dengan cara membunuh gajah. Adalah tugas dokter hewan untuk membedakan gading yang hilang dari gajah yang diburu dan dari gajah yang sudah lama mati secara alami.

“Kalau gajah sudah mati tiga hari ke atas, gadingnya kita bisa tarik langsung tanpa menggunakan alat berat,” kata Rosa.

Ini tidak akan terjadi pada gajah yang baru saja mati. Pada jasad yang masih segar, pelaku harus memakai parang, gergaji mesin, atau kampak untuk mendapatkan gading.

Kedua kondisi tersebut akan menghasilkan kenampakan yang berbeda pada bangkai. Jika dicabut langsung, gading akan menyisakan selubung mulus pada wajah gajah, sementara jika dicabut paksa, akan ada sisa kasar di sana. Dua simpulan ini dapat menjadi pembeda ekstrem terhadap penjatuhan hukuman pada pelaku.

Rosa menekankan, dalam kasus gajah mati dengan kondisi gading hilang, dapat dipastikan itu merupakan kasus tindak pidana.

Kasus kematian satwa liar punya banyak rupa. Perburuan, pembunuhan balas dendam, keteledoran, masing-masing punya ketentuan pidananya.

Kewajiban dokter hewan adalah mengutarakan keterangan objektif dalam proses persidangan agar keputusan hakim sesuai dengan fakta di lapangan. Keterangan objektif tersebut hanya bisa dicapai ketika proses nekropsi dilakukan dengan sebaik-baiknya.

Oleh karena itu, menurut Rosa, seorang dokter hewan satwa liar harus sering-sering terjun langsung untuk memahami tatanan konflik manusia dan satwa liar di lapangan.

“Saat kita menjelaskan di pengadilan, itu benar-benar dari pengalaman kita di lapangan, bukan hasil tebak-tebakan, bukan hasil duga-menduga, memang itu yang kita jalani,” kata Rosa, menekankan.

5 1 vote
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments
FATWA: Orangutan juga merantau! | Ilustrasi: Hasbi Ilman
Edukasi

Gardaaniamlia.com – Garda Animalia mengeluarkan FATWA (Fakta Satwa) pertama. Sebuah seri fakta singkat di dunia persatwaliaran. Yuk, simak!…